20. Mantan Istri

630 36 3
                                    

Aku menelisik mata yang semasa bersama selalu menjadi candu. Mata itu selalu menghipnotisku. Memenjarakanku agar tak berpaling darinya. Namun, kenyataan di hari ini benar-benar menamparku hingga menghadirkan rasa nyeri di hati. Mas Galih enggan menatapku lagi.

Banyak pertanyaan yang menuntut jawaban. Tentang kenapa mereka ada di sini, apakah mereka menikah setelah aku dan Mas Galih berpisah, dan masih banyak lagi. Namun, aku tidak mungkin bertanya selancang itu. Aku cukup sadar diri dengan posisi saat ini.

“Apa kabar, Mas, Mbak?” tanyaku setelah bersalaman dengan Mbak Rania. Beberapa tahun tak bertemu, ternyata Mbak Rania sudah hijrah berpakaian muslimah. Wajah cantiknya semakin terlihat enak dipandang.

“Baik.”

Mendengar jawaban singkat Mas Galih, rasanya ada yang tercubit di dalam dada. Dia tidak balas menanyakan kabarku. Ah, jangankan bertanya kabar, melihatku saja sepertinya dia tak sudi.

“Alhamdulillah baik, Ell,” jawab Mbak Rania, “kamu sendiri?”

“Aku baik.”

Aku melirik Mas Galih yang tengah membenarkan posisi balita yang tampaknya berusia tiga tahunan dalam gendongannya. Dalam hitungan menit, jadi banyak pikiran negatif yang mengendap di kepalaku. Tentang siapa balita itu, apakah dia anak Mas Galih dan Mbak Rania, atau ....

Seharusnya, rasa tak rela diperlakukan dingin seperti ini bisa aku utarakan. Namun, lagi dan lagi status di antara kami berhasil membungkamku lebih awal.

Sadar, Ellea!

Waktuku sudah mepet. Namun, rasanya aku enggan beranjak. Aku masih ingin melihat Mas Galih lebih lama lagi. Aku ingin mendengar suara yang selama ini mengusik malam-malamku.

Ah, Mas Galih, apa aku sudah tidak berarti lagi dalam hidupmu?

“Ya, udah kalo gitu, aku pamit dulu, ya.”

“Buru-buru banget, Ell?” Alis Mbak Rania berkerut saat pertanyaannya terlontar. “Makan dulu, yuk? Biar nanti Mbak yang masakin. Spesial.”

Aku tersenyum kecil. Aku hanya tak ingin denyut ngilu di hati yang sudah tak tahan dirasa ini bisa dilihat lewat ekspresiku. “Iya, Mbak, kapan-kapan. Aku udah lama juga di sini.”

Tak lama berselang, tatapanku beralih pada seseorang yang berlalu dari hadapan. Dia berlalu tanpa pamit. Tak menoleh seperti dulu pula.

Ya, Allah, kenapa hatiku malah mencelus sakit melihatnya?

Aku menghela napas dalam. Lalu, menyalami Mbak Rania lagi. “Aku pulang, ya, Mbak. Assalamualaikum?”

“Waalaikumussalam, hati-hati, ya.”

“Pasti. Mbak juga. Salam buat ibu, Mbak Diara, sama Mbak Milda, ya?”

Aku bergegas membalikkan badan. Rasanya aku tidak bisa menjamin akan kuat berlama-lama di sini. Belum sempat kaki ini melangkah jauh, suara seseorang berhasil menghentikan langkahku.

“Ran, si bungsu bangun, tuh. Dia sama Varo nyariin kamu.”

Tubuhku membeku. Hancur sudah harapanku. Sepertinya antara aku dan Mas Galih sudah tidak lagi bisa bersatu.

***

Malam ini mataku tak bisa terpejam. Pikiranku melayang pada kejadian tadi siang. Dalam satu hari ini, aku bertemu dua mantan sekaligus. Satu mantan pacar sewaktu SMA, satu lagi mantan suami yang masih kucinta.

Pertemuan dengan Riyan memang bikin hatiku senang. Dari teman menjadi mantan, lalu setelah mantan kembali menjadi teman. Hal yang mustahil terjalin memang, tapi inilah kenyataannya.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang