2. Restu

573 33 1
                                    

Selamat pagi, semangat pagi, semoga waktu kita selalu dalam lindungan-Nya. Jangan lupa sholawatnya.

Met baca. Jan lupa vote, komen, dan follow. Makasih banyak. :-D

***

“Assalamu'alaikum, Bu. Saya sama keluarga mau pamit pulang.”

Bukan hanya perhatian Ibu saja yang beralih, tapi perhatian aku dan Mas Galih pun. Di depan sana, wanita setengah baya seusia Ibu menyibak tirai. Terdapat seorang bayi dalam gendongannya.

“Waalaikumussalam. Wah, alhamdulillah, ya. Katanya mau nanti sore, Bu?” Ibu balik bertanya. Nada bicaranya terdengar ramah, berbanding terbalik saat berbicara denganku.

“Iya. Tapi katanya boleh pulang pagi ini. Anak saya sudah tidak betah, Bu. Anak Ibu kapan pulangnya?”

Aku segera mengalihkan pandangan saat Ibu melirikku dengan tatapan sinis seperti biasa.

“Oh, dia menantu saya. Entahlah, mungkin dia masih betah di sini.”

Tangan yang berada dalam genggaman Mas Galih segera kutarik kasar. Tega nian Ibu berbicara seperti itu kepada orang lain dan di depanku sendiri. Aku semakin yakin kalau Ibu memang tidak menyukai menantunya yang dinikahi Mas Galih.

Setelah penghuni ranjang sebelah berlalu, Mas Galih menegur Ibu karena selalu asal dalam bicara, dan itu khusus untukku. Namun, Ibu mengabaikannya. Ibu malah membangga-banggakan ipar-iparku yang lain karena meskipun melahirkan secara sesar, putra putri mereka selamat dan sehat-sehat. Beliau seakan-akan tidak peduli dengan hatiku yang menjerit kesakitan.

“Bu, udahlah. Jangan bikin gaduh suasana,” pinta Mas Galih lagi.

Ibu merebut spaghetti yang dipegang Mas Galih dan menggantinya dengan masakan yang beliau bawa. “Bikin gaduh suasana katamu? Kalo istrimu tidak terima, ya, salahkan saja dirinya sendiri. Suruh siapa saat hamil susah dibilangi? Akhirnya apa? Anak kamu mati, Lih. Mati.”

Ada bagian yang tercubit di dalam dada kala kata ‘mati’ itu terdengar begitu tegas. Rasanya aku tak terima, tapi sialnya diri tak bisa berbuat apa-apa. Entah aku yang terlalu lemah karena selalu diam saat Ibu berkata seperti itu atau bodoh karena saat ini malah air mata yang kembali tumpah.

***

Kuterima uluran tangan Mas Galih saat diri hendak turun dari brankar. Hari ini, dokter memperbolehkan aku pulang. Trombosit dan tensi darahku sudah stabil. Hanya saja, sakit, perih, dan ngilu di perut bagian bawah masih terasa. Kata dokter wajar, jadi aku tidak perlu begitu sukar.

“Mas, kita tinggal di rumah aja, ya? Jangan di rumah ibu,” pintaku seraya mengeratkan genggaman pada lengan kekarnya.

“Aku nggak mau kamu kecapean, Yang. Jadi please, kamu mau tinggal sama ibu, ya? Biar aku tenang.”

Hatiku mencelus kecewa. Dulu, ketika Mas Galih berucap seperti itu, hatiku senang bukan main, apalagi kalau dia menyebut panggilan kesayangan seperti barusan. Aku merasa disayangi, diperhatikan, dan dicintai segenap hati.

Dulu, setiap ada rencana akan menginap di rumah Ibu, aku selalu antusias menyambutnya. Namun untuk sekarang, rasanya tak lagi sama.

Semenjak sadar diperlakukan berbeda oleh Ibu, aku jadi enggan satu atap dengan beliau. Bukan karena enggan mengurus orang tua, tapi Ibu terlalu cerewet menjadi mertua. Apa yang aku lakukan selalu salah di matanya. Jadi untuk berjaga-jaga dari bahayanya dosa yang bisa mengantarkan makhluk-Nya pada neraka, aku memilih menjaga jarak sambil belajar memperbaiki diri.

Kalau bisa, aku ingin menyendiri di tempat sepi. Bukan di tempat ramai seperti ini, di mana terdengar suara-suara makhluk kecil menggemaskan. Namun, terasa menusuk-nusuk gendang telinga.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang