7. Aku tidak Gila

300 21 0
                                    

Selamat pagi~
Langit Purwakarta mendung. Gimana sama langit di tempat kalian? Ah, mendung, panas, hujan, atau apa pun itu, semoga kalian sehat selalu, ya. Aamiin.

Met baca. :-D

***

Beberapa hari terakhir ini, Mas Galih terkesan sering mengalah dan sabar. Di rumah kami jadi tidak ada derai air mata karena bertengkar. Kalau menangis karena rindu Almira, menurutku termasuk jawar.

Mas Galih juga sering bersikap romantis. Tanpa kuminta, dia membelikan buket bunga mawar, cokelat, dan pernah membelikan cincin. Seharusnya, aku senang dengan Mas Galih yang lebih perhatian dari sebelumnya. Namun, tak jarang hati merasa biasa-biasa saja saat Mas Galih melakukan hal-hal romantis layaknya sepasang pengantin baru.

Terkadang, naluriku sebagai seorang istri terusik karena sikap baru Mas Galih. Ada rasa takut akan perubahan singkat itu. Aku hanya tidak mau rumah tangga kami seperti di film-film. Di mana si istri pertama tidak bisa memberikan apa yang suaminya minta, lalu suaminya tiba-tiba bersikap romantis karena menyembunyikan pernikahan keduanya bersama perempuan lain.

Ah, aku ini kenapa, sih! Kenapa malah berpikir macam-macam. Mas Galih itu setia. Sampai kapan pun juga, dia tidak akan mendua, aku yakin.

Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Mas Galih yang membawa sepiring berisi ... entah apa.

“Nah, liat, Sayang ... aku udah bikin menu sarapan spesial buat kita. Makan bareng, ya?”

“Mas, aku belum laper. Buat kamu aja, ya?”

Nafsu makanku memang sering menghilang dan ini entah sejak kapan. Seingatku, nafsu makan dan mood sering berubah-ubah semenjak melahirkan Almira. Dulu, aku paling hobi makan ini dan itu, apalagi yang pedas-pedas.

Namun untuk saat ini, hanya beberapa macam buah dan olahan kentang sebagai pengganti karbohidrat yang masuk ke perut, itu pun dalam porsi sedikit, dan atas paksaan Mas Galih. Kalau makan nasi, paling hanya beberapa sendok yang masuk. Semua ini entah salah satu efek pasca operasi sesar atau karena aku belum bisa terlepas dari belenggu kesedihan. Rasanya, tak ada hal sekecil apa pun yang mampu menarik perhatian.

“Ayo dikit aja. Buka mulutnya ... aaa.”

Aku membuang wajah kala Mas Galih menyodorkan segarpu pisang dengan topping keju, meses, dan susu kental manis. “Aku nggak mau, Mas.”

Tak lama berselang, aku dibuat kaget karena merasakan sesuatu. Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang benar adanya, terasa ada yang bergerak di dalam perut.

“Mas, kamu pegang perut aku. Ada gerakan nyikut, Mas.”

Kuambil alih piring berisi pisang goreng tersebut, lalu meraih tangan Mas Galih agar dia ikut merasakannya. Namun, Mas Galih mematahkan kebahagiaanku. Dengan sikapnya yang begitu, dia sama saja tidak memercayai perasaanku.

“Sarapan dulu, ya, biar kamu nghak halusinasi.”

“Tapi aku serius, Mas. Tadi ada yang gerak.”

“Ya, bisa aja luka bekas sesar kamu, kan? Gini aja, gimana kalo kita sarapan di sofa? Sambil liat ujan. Pasti seru. Yuk!”

Aku mengembuskan napas kasar. Sepertinya, Mas Galih juga tidak akan percaya dengan apa yang kurasa. Menjelaskan pun percuma, sudah tidak ada dan belum ada lagi janin di dalam sana, dan mungkin untuk waktu yang cukup lama.

Aku beralih menatap sofa yang tadinya disimpan di sudut kamar, sekarang sudah berpindah ke dekat jendela. Semenjak bertengkar beberapa hari yang lalu, Mas Galih memindahkan box dan perlengkapan bayi ke gudang. Aku jadi tidak bisa melihatnya lagi. Katanya, supaya benda-benda tersebut tidak kotor. Padahal, dia tinggal berterus terang saja kalau aku tidak boleh melihat benda-benda itu lagi.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang