23. Terjebak Mantan

558 33 4
                                    

“Boleh, ya, Pa?”

Aku dan Riyan saling bersitatap. Lalu, aku memutuskan pandangan lebih dulu. Kemudian, aku melirik Zahra dan Fatih yang masih mendongak karena menanti jawaban mungkin.

Ini salah satu alasan yang aku takutkan dari pertemanan bersama mantan. Mana statusnya sudah duda lagi. Aku tak mau kedua bocah polos itu beranggapan kalau aku calon ibu sambungnya.

Ya, ampun, bagaimana caranya aku menjelaskan kepada mereka. Aku yakin, permintaan-permintaan Zahra dan Fatih itu salah satu perasaan nyaman yang belum bisa mereka ungkapkan dan artikan.

“Aduh, Papa bingung jawabnya. Zahra sama Fatih tanya tantenya langsung aja, ya?”

Kepalaku refleks mendongak menatap Riyan. Heh! Apa-apaan lelaki beranak dua itu? Kenapa dia malah tersenyum lebar tanpa menjelaskan kalau aku tidak mungkin bisa mengabulkan.

“Yan,” desisku seraya melemparinya dengan tatapan tajam.

Tangan kiriku diguncang Zahra. Gadis kecil sang mantan itu merengek agar aku segera memberikan jawaban. Sementara papanya hanya tertawa di saat aku dilanda kebingungan.

“Ehm, gini aja, kita makan siang dulu, yuk? Papa laper banget tadi pagi sarapannya cuman dikit.”

“Yah, Papa.”

Aku bersyukur karena Riyan langsung mengalihkan topik pembicaraan. Namun, di tengah-tengah perasaan lega ini, rasanya aku ingin tertawa karena melihat bibir kecil Zahra yang mencebik lucu. Sementara si tampan Fatih masih bersikap biasa seperti tadi.

***

Aku termangu saat membaca sederet kalimat itu. Jantungku mendadak berdegup lebih cepat. Bukan karena salam atau pertanyaannya, melainkan karena ujung nomor ponselnya mirip dengan tanggal dan tahun lahirku.

Ah, aku ini kenapa, sih? Mana mungkin nomor itu milik Mas Galih. Meskipun selama berpisah kami tidak pernah berkirim pesan, tapi nomornya masih bisa kuingat dengan baik.

Lagi pula, dia tahu dari mana nomorku, sedangkan tak ada satu pun orang dikenal yang aku beritahu. Baik itu Mbak Rania, Mbak Diara, ataupun Mbak Milda, kami tidak pernah berhubungan.

“Ell, malah bengong. Makannya abisin.”

Aku segera memasukkan ponsel kembali pada tas, tanpa membalas pesannya. Tatapanku beralih pada Riyan yang sudah menyelesaikan makan siangnya paling awal. Perasaan curiga tiba-tiba saja dirasakan hati, apa saat acara reuni dia memberikan nomor ponselku pada Mas Galih, ya?

“Yan, kamu nggak sebarin nomor aku, kan?”

“Ngapain nyebarin nomor kamu, kayak gak ada kerjaan.”

Aku mengangguk pelan hingga beberapa kali. Rasanya, Riyan tidak mungkin memberikan nomor ponselku kepada Mas Galih mengingat acara berlangsung saja mereka tidak kelihatan bertegur sapa. Lalu, orang yang mengirimiku pesan itu siapa?

Aku memijat alis kiri saat pemikiran yang terlambat datang ini serasa menamparku. Mas Galih tidak mungkin akan mengejar-ngejarku seperti dahulu. Dia bisa mencari perempuan yang jauh lebih baik di luar sana. Atau bisa saja dia sudah menikah dengan Mbak Rania. Waktu kami pertama kali bertemu saja dia menggendong anak laki-laki. Bisa saja, kan, anak itu anaknya bersama Mbak Rania.

Ah, aku benci dengan pemikiran ini! Kenapa aku jadi sewot sendiri, sedangkan di sana mungkin Mas Galih sedang tertawa bersama keluarga barunya.

Sendok dan garpu aku silangkan. Aku mendadak tidak selera makan. Kalau aku dihantui pemikiran yang belum tentu kepastiannya ini, bisa-bisa nanti malam kedua mata tak bisa terpejam.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang