3. Jalan Terbaik

450 26 3
                                    

Masih ada yang baca, kah? 😢
Yuk, jangan lupa kasih vote, komen, sama follow tentunya. Biar aku makin semangat. Hehe

***

“Semuanya, kita kan tau, kalau makan sambil bicara itu nggak baik. Jadi aku minta dengan sangat, pembahasan ini ditutup sampai di sini,” kata Kak Reyhan yang merupakan kakak kedua Mas Galih.

Mas Galih menggenggam erat tanganku yang terkepal. Ibu jarinya mengusap punggung tanganku. Mungkin, dia tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja, kalau aku sudah bermasalah dengan Ibu, Mas Galih selalu terlihat bimbang dalam mengambil sikap. Beda halnya jika aku berurusan dengan orang lain, Mas Galih bisa tegas tak tertandingi.

“Terserah kamu saja. Ibu cuman membicarakan faktanya.”

“Tapi aku berani bersumpah, Bu. Malamnya, Almira memang nendang-nendang.” Kutatap Mas Galih yang kembali mengeratkan genggaman. “Mas, sewaktu kamu usap perut aku, kamu ngerasain gerakan Almira, kan, Mas?”

Mas Galih mengangguk dengan wajah lesu.

“Tapi tetap saja, Ibu lebih percaya ucapan dokter. Lebih masuk di akal daripada ucapan wanita yang tidak benar-benar dalam menjaga janinnya.”

Aku lekas berdiri setelah mengempaskan tangan Mas Galih. Kutatap Ibu dengan perasaan kecewa yang semakin dalam. “Bu, selama ini aku menjaga Almira dengan baik. Tapi kehendak Allah nggak bisa aku tawar. Aku juga nggak mau Almira meninggal.”

“Ell, udah. Duduk.” Mas Galih mengguncang pelan tanganku, mungkin karena dia merasakan suasana di meja makan yang begitu tegang. Namun, aku menepis tangan Mas Galih dengan air mata yang berderai. “Bu, aku mohon, jangan memperkeruh keadaan.”

“Ternyata benar apa kata orang tua zaman dulu. Kunci sukses seorang suami itu ada pada istrinya. Kalau istrinya tahu sopan santun, pintar, berbudi luhur, maka suaminya pun akan sukses, tidak akan sengsara seperti kamu, Galih.” Ibu menjeda ucapannya seraya melirikku dengan lirikan sinis. Lalu, Ibu menatap tajam Mas Galih, kemudian melirikku lagi. “Percuma pakai pakaian kayak ustadzah, ikut pengajian sana sini, kalau akhlak sama penampilan berbeda jauh.”

Aku sudah bosan mendengar kata-kata tersebut. Di antara banyaknya orang yang ditemui, Ibu yang paling sering menyindirku. Tak jarang beliau berkata, ‘Yang berjilbab tidak menjamin hatinya baik’ atau kalimat semacamnya. Ibu seakan-akan lupa atau tidak mau mengakui kalau jilbab itu hukumnya wajib bagi perempuan Islam yang sudah baligh, bukan sekadar simbol agama, apalagi simbol sholihah-nya seorang hamba. Memang, yang berjilbab belum tentu sholihah. Namun, bukankah wanita-wanita sholihah itu sudah pasti berjilbab?

Setelah berhijrah mengenakan pakaian longgar dan jilbab lebar, aku juga jadi merasa aman dari tatapan lapar lelaki bermata liar di luar sana. Tatapan yang aku temui selama berhijrah terkesan sopan, tidak berpusat ke suatu titik seperti dulu.

Aku jadi ingat dengan amanat mendiang ayah mertua. Sewaktu masih ada, beliau pernah mewanti-wantiku agar jangan lepas jilbab. Ibu dan anak mantu yang lain pun pernah beliau mintai untuk memperbaiki diri dari segi pakaian. Katanya, ayah hanya ingin melindungi semua anggota keluarga dari pedihnya siksa api neraka. Namun, Ibu dan yang lain masih seperti dulu, berjilbab pun di acara tertentu saja.

Aku berdeham sekali agar sesak di dada sedikit beranjak, lalu menjawab, “Bu, Ibu boleh caci maki akhlakku, tapi Ibu nggak boleh menyalahkan pakaianku, apalagi majelis ta’lim yang sering aku ikuti.”

Sepertinya, bukan sabar dan ikhlas atas kepergian Almira saja yang harus dipraktikan, tapi tentang istiqomah dalam hijrah pun. Aku merasa ada yang aneh dengan diri sendiri. Aku yang biasa abai akan ucapan nyinyir seseorang, sekarang malah mempermasalahkannya.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang