17. Keputusan Kita

504 28 0
                                    

“Kalau kamu tidak kasih izin Galih menikahi Rania, setidaknya kamu jangan mempersulit Galih, Ellea. Tugas seorang suami itu berat. Harus cari nafkah buat kamu sebagai istrinya. Ini, kok, malah aneh. Sudah dapat pekerjaan tetap, gaji besar, malah disuruh keluar.”

Aku diam seribu bahasa. Suasana hatiku mendadak tidak bersahabat. Ucapan-ucapan nyelekit Ibu bagaikan garam yang menabur tepat di luka yang masih menganga.

“Bu, aku bisa cari kerjaan di tempat lain. Lagian aku kurang cocok kerja di restoran Rania.”

“Tapi restoan yang Doni dirikan itu nyaris bangkrut, Galih! Rania sampai drop karna bolak-balik ke restoran dan rumah sakit buat urus kasus itu dan urusin Varo.”

“Ya, menurut aku wajar, Bu. Dia seorang single parent. Kalo bukan dia yang urus Varo sama resto mau siapa lagi? Aku, Mbak Diara, dan Kak Reyhan nggak punya wewenang karna kami ini cuma iparnya. Lagian salah Rania juga nggak mau sewa pengasuh.”

“Kamu ....”

Ibu tampak gemas dengan jawaban Mas Galih. Beliau sampai tidak melanjutkan ucapannya. Bahkan, sekarang air mukanya semakin tak enak dilihat. Keruh sekali.

“Bu, maaf, kenapa Mas Galih yang disalahin?”

Aku tidak habis pikir kenapa Ibu berpikiran sesempit itu. Apa jika Alvaro sakit pun salah Mas Galih? Ya, Allah, aku jadi ngeri sendiri jika sampai Mas Galih benar-benar menjadikan Mbak Rania sebagai maduku.

“Karena kalau Galih tetap di sana, minimal sampai Varo keluar dari rumah sakit, ini semua tidak akan terjadi, Ellea. Rania tidak akan jatuh sakit, restoran bakalan keurus, dan mungkin tidak akan ada karyawan yang korupsi.”

Kedua mataku terpejam sebentar. Rasanya aku semakin gemas dengan jawaban Ibu. “Bu, itu udah bagian dari garis takdir Allah.”

Ibu berdecak. “Kamu ini malah nasihatin orang tua. Tidak sopan. Sudahlah, Ibu mau pulang saja. Lama-lama di sini bikin sakit hati saja.”

“Bu, maaf kalo aku nggak sopan, tapi—”

“Ayo pulang, Dzul,” kata Ibu seraya menatap Kak Dzul, lalu melirik Mas Galih, “Ibu pulang dulu, Lih.”

Ibu berlalu begitu saja. Beliau tak menghiraukannya permintaan maaf daan uluran tanganku yang akan mencium takdzim tangannya. Entah untuk yang ke sekian kalinya, aku merasa salah di mata Ibu.

“Sabar. Ibu memang begitu,” kata Kak Dzul padaku.

Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Ibu hanya begitu padaku saja, kok. Kepada yang lain, Ibu ramah bagaikan mertua idaman.

“Lih, Kakak pulang dulu. Kalian baik-baik di sini.”

“Iya, Kak. Hati-hati di jalan. Nanti kalo udah sampe kabarin aku.”

***

Setelah Ibu berlalu, Mas Galih menepati janjinya untuk mengantarku ke sebuah tempat. Di mana di sana terdapat gundukan tanah merah. Terdapat papan nisan mungil bernamakan namanya yang indah.

Mas Galih tidak pernah cerita kalau makam Almira bersebelahan dengan pembaringan terakhir Ibuku. Setiap kali aku bertanya, dia hanya menjawab ‘nanti, besok, tunggu kamu sehat dulu’ atau jawaban membosankan lainnya.

Usai mengaji dan mengirimi mereka doa, aku menaburkan kelopak bunga mawar merah dalam keranjang. Kutatap makam Ibu, Bapak, dan Almira secara bergantian. Rasa rindu pada mereka rasanya semakin mendalam.

“Pulang, yuk?” ajak Mas Galih memecah kesunyian.

***

Astaghfirullah al-adhim. Ponsel yang sedari tadi dimainkan kusimpan kasar di kasur. Kujambak rambut yang kebetulan sedang dibiarkan tergerai. Air mataku pun ikut terurai.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang