Mual-Mual

22.7K 656 3
                                    

Malam ini Ica dapat telepon dari Bapaknya di kampung.
"Bagiamana kabar Ica?" Bunyi suara dalam telepon.
"Alhamdulillah baik Pak" jawab Ica singkat. Tidak seperti biasa, kini ia tidak semangat menjawab panggilan Bapaknya. Ada rasa bersalah atas apa yang telah terjadi.

Meski bukan keinginannya. Tapi Ica merasa telah mengecewakan Bapaknya karena tak bisa menjaga kesucian sebelum menikah.

"Terimakasih atas kirimannya, Bapak jadi bisa berobat dengan lancar, sekolah adikmu juga sudah lunas. Tapi kalau boleh tahu kamu dapat uang sebanyak itu dari mana?" Tanya Bapak Ica penasaran.

"Emm,,," Ica bingung menjawab. "Itu dari kerja sampingan Ica dan beberapa bantuan dari teman Pak" perempuan itu menjawab dengan menggigit bibir bawah. Ia jarang sekali berbohong. Jadi ia sangat ketakutan jika kebohongannya terbongkar. Apalagi masalah ini cukup besar.

"Alhamdulillah kalau begitu. Kamu semangat kerjanya ya, gausah kirimin uang ke kesini lagi. Kesehatanmu dijaga" pesan Bapaknya.
"Iya Pak"
Ica menutup telfonnya tak mampu lagi melanjutkan pembicaraan. Ia menangis tersedu-sedu.

Di kantor.
"Ca, kok Lu pucet banget sih" tanya Raina heran.
"Iya semalam ga tidur" jawab Ica.
Raina mengelus punggung Ica, ikut sedih dengan keadaan temannya namun tak bisa banyak membantu.

"Sakit Ca?" Tanya Bu Yuni yang juga teman satu tim Ica.
Ica hanya menjawab dengan senyuman.

Sebelum jam istirahat Ica merasa sangat mual. Ia pun muntah-muntah di toilet divisi.
"Lu masuk angin deh kayanya Ca" ucap Raina.

Perasaan Ica tak karuan. Ia sudah menyadari, kejadian satu bulan lalu begitu memungkinkan hadirnya bayi dalam rahimnya. Bukan sekali dua kali Arland memaksanya berhubungan.

Sore ini Ica memutuskan untuk langsung pergi ke dokter.
Benar saja, usia kandungannya sudah memasuki minggu ketika.

Ica menangis dibawah kran yang mengalir, ia mengelus perut ratanya yang sudah tumbuh janin. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Di kantor
"Permisi Bu, mohon maaf mengganggu" Ica di depan ruang kepala divisi.
"Kenapa Marisha? Akhir-akhir ini kinerjamu menurun sekali ya" Ucap Bu Diah kepala divisi.
"Mohon maaf Bu, saya boleh minta nomornya Pak Arland" Ica tahu dia lancang. Namun kondisinya sekarang sangat mendesak.
Bu Diah menatap lekat, belum pernah ia menemukan anak buah yang lancang begitu. Ia saja tak punya nomornya Pak Arland.
Setelah diomeli panjang lebar Bu Diah memberi tahu untuk minta nomor Pak Arland ke Pak Dody dari divisi sebelah yang sering berkomunikasi dengan sekretaris Pak Arland.

Seminggu ini Pak Dody tidak tugas di kantor. Ica merasa gelisah, bingung harus bagaimana.
Beberapa kali Ica mencoba ke apartemen Pak Arland namun selalu terlihat sepi. Terpaksa ia harus menunggu Pak Dody kembali.

Ruang Pak Dody
"Permisi Pak, mohon maaf mengganggu waktunya" Ucap Ica agak takut.
"Silahkan masuk? Kamu dari divisinya Bu Diah ya kalau tidak salah?" Ucapnya.
"Iya Pak"
Ica mengutarakan keinginannya minta nomor Pak Arland. Reaksi Pak Dody sangat heran.
"Nomor Pak Arland itu ga sembarang orang bisa punya lo" ucapnya tegas.
Namun Ica memohon-mohon dengan sangat hingga Pak Dody merasa kasihan.

Beberapa hari ini Arland pindah ke apartemen lain untuk menghindari Arula yang selalu datang mengganggu.
"Yang tolong jangan tinggalin aku" Arula memohon.
"Kita udah ga ada hubungan. Jangan panggil gwe sayang. Arland merasa jijik dengan panggilan itu.
"Aku udah abo**i bayiku yang, plis terima aku lagi" ucap Arula tanpa dosa.
"Lu bunuh bayi lu sendiri dan lu bangga?" Arland tak habis pikir dengan wanita di depannya ini.

Bagaimana dulu ia bisa mencintai orang yang bahkan tega membunuh darah dagingnya sendiri.

Mengandung Bayi BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang