"Sorry Ar, gua kalut" jawab Arland sambil menciumi wajah kecil bayi pertamanya. Bayi itu tersenyum sumringah berada di dekapan sang ayah. Seolah menghibur hati ayahnya yang ditutupi kegelapan.
"Anak pintar" ucap Januar sambil mengelus pipi gembul bayi itu. Meski belum genap 3 hari namun ia sangat lancar meminum susu formula, jadi pipinya sudah terlihat agak gembul. Jauh dibandingkan ketika baru keluar dari rahim Ica, meski besar tapi belum gembul.
Kini Arland sudah berada di ruang rawat inap VIP. Januar menunggui sahabatnya sambil menggendong bayi yang sangat mirip dengan sang ayah hanya dalam versi mini.
Arland yang berada di atas tempat tidur sedang berusaha menelan makanan. Sebenarnya mulutnya tidak selera dan lambungnya seolah menolak diisi. Beberapa kali ia menahan muntah ketika menelan makanan. Tapi bisa tidak bisa tetap ia paksa makan. Melihat sosok bayi kecil yang seolah tahu kondisi sulit yang dialami orang tuanya, ia begitu tenang, minum susu formula pun tidak rewel. Tetap tenang meski digendong siapapun. Arland jadi merasa bersalah dan kembali semangat untuk melanjutkan hidup.
Benar, meskipun dia tidak ada sahabat-sahabatnya akan ikhlas merawat bayinya namun kasih sayang seorang ayah tak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Betapa egoisnya dia jika memilih mengakhiri hidup dan membiarkan anaknya hidup sendiri. Anaknya bisa saja sebatangkara seperti dirinya saat ini.
Masih ada harapan juga jika Ica dan kembaran bayi itu akan sehat kembali. Arland tidak akan tega membayangkan Ica berjuang membesarkan dua anak mereka sendiri.
Arland merutuki kebodohannya yang ingin mengakhiri hidup tadi. Jika Januar tidak segera datang mungkin kini ia sudah kehabisan darah.
"Yakin lu makan sendiri Land? Ga mau gua suapin aja?" Tanya Januar yang meliha Arland makan dengan agak kesulitan.
"Ogah, lu pikir gua bayi mau disuapin" tolak Arland.
"Ya bukannya bayi, kan lu lagi sakit sih" lanjut Januar lagi.
"Ngga,, ngga,, gua titip anak gua aja tolong jagain" ucap Arland dengan kembali memaksakan makanan masuk ke mulutnya. Meski masih sama, susah payah ia menahan rasa ingin muntah. Mungkin lambungnya merajuk karena 3 hari tidak diisi.
"Tenang aja itu mah. Anak lu udah gua anggap anak sendiri. By the way, ini namanya siapa? Masa mau dipanggil baby terus? Dia kan cowok, yakali namanya baby" Tanya Januar karena bingung mau memanggil bayi dalam pangkuannya ini dengan sebutan apa.
"Gua belum mau kasih nama tanpa persetujuan Ica. Kemarin-kemarin kami udah diskusi tapi masih bingung beberapa pilihan" Arland menjawab lesu. Dadanya kembali nyeri mengingat kondisi Ica masih seperti itu.
"Yaudah sementara gua panggil boy dulu ya" Januar memberi saran. Dari pada Arland kembali terhanyut dengan kondisi Ica, takutnya kalut lagi.
Cklek
Pintu ruangan terbuka dan menampilkan sosok tinggi tegap Chiko.
"Waah,, keren lu Ar bisa bujuk Arland opname bahkan sampai mau makan sendiri. Lu janjiin apa?" Kata Chiko dengan bangga. Senang sekali melihat kondisi sahabatnya sedikit segar padahal sebelumnya sangat rapuh dan layu."Bukan gua yang bujuk, ini si boy kecil yang bujuk" jawab Januar dengan kepala menunjuk ke bayi yang dipangkunya.
"Ha? Dibujuk bayi?" Chiko merasa bingung. Namun sepertinya tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Tangan Chiko terulur ingin menggendong bayi menggemaskan itu.
"Eiiitss,,, cuci tangan dulu kalau mau pegang. Lu dari luar banyak kumannya" peringat Januar pada temannya yang asal saja mau gendong.
"Ck,, iya iya. Udah kaya bini gua aja lu kalau masalah bayi" Chiko berdecak heran namun tetap melangkah ke wastafel untuk membersihkan diri.
Si boy sudah berada dalam gendongan Chicko. Januar beranjak menghampiri Arland yang wajahnya mulai ditekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengandung Bayi Bos
RomanceArland yang patah hati memaksa Ica untuk bermalam bersama, menjadikan Ica mengandung bayi mereka Mohon maaf ini cerita dewasa ya