Buru-buru Ica menekan tombol hijau.
"Halo, ini dengan Marisha?" Suara dari dalam ponselnya.
"Uhuk,,,uhuk,,, uhuk" Ica tersedak mendengar suara bosnya.
Jujur, Ica masih takut dengan suara itu. Suara orang yang telah merebut kesuciannya. Namun ia sedikit bersyukur bahwa laki-laki itu masih mengingatnya.
Arland dengan sabar menunggu jawaban.
"Uhuk,,, iy,, iya,, be,, betul saya Marisha Pak,, uhuk,, uhuk" jawab Ica kesulitan.
Mendengar suara itu seketika Arland merasa sangat lega. Beban berat dalam hati dan pikirannya seakan menguap begitu saja.
"Minum dulu Ca" ucap Arland halus. Ia lega mendengar suara Ica masih hidup. Namun ia khawatir juga mendengar Ica terbatuk-batuk.Ica gelagapan mencari segelas air. Memang seringnya ia akan minum setelah selesai makan, jarang sekali tersedak ketika makan.
Setelah selesai minum Ica kembali menjawab panggilan.
"Maaf Pak, iya betul saya Marisha uhuk-uhuk" jawab Ica kembali, masih batuk namun kini jawabannya lebih lancar.
"Kamu masih hidup?" Tanya Arland yang kemudian menutup mulut dan memukul pelan kepalanya. Ia heran kenapa malah pertanyaan aneh itu yang keluar dari mulutnya.
"Iya masih hidup Pak" jawab Ica heran, memang kalau tidak hidup dia bisa menjawab telepon? Namun tetap ia jawab karena itu pertanyaan dari bosnya."Kamu dimana sekarang?"
"Di kamar kos Pak" jawab Ica polos.
Arland menepuk jidat. Bukan itu jawaban yang ia mau, entahlah mungkin pertanyaannya yang salah.
"Share lokasimu, saya mau bertemu" perintah Arland tanpa basa-basi lagi.Ica berpikir sejenak, tempat kosnya yang sekarang tidak mengizinkan laki-laki untuk berkunjung. Selain itu, kalau Arland menemuinya disini bisa tersebar berita yang tidak-tidak di sini. Ia tidak mau diusir lagi seperti di tempat kos sebelumnya.
"Ca?" Panggil Arland karena lama tidak ada jawaban.
"Emm,, kita bertemu di restoran seafood jaya saja ya Pak" jawab Ica ragu-ragu. Ia ingat ada sebuah restoran tak jauh dari tempatnya. Meski belum pernah masuk kesana namun Ica memberanikan diri menyebut restoran itu. Tidak mungkin juga ia mengajak orang sekelas Arland ke warteg di pinggir jalan."Oke, tunggu 20 menit saya sampai sana" ucap Arland mengakhiri panggilan telepon nya.
Ia cukup kenal restoran tersebut karena beberapa klien sering mengajak bertemu disana.Arland bersiap dan kembali melakukan panggilan telepon. Bukan menelepon Ica, tapi menelepon Deny, supirnya.
"Den, sorry nih. Tolong balik kesini ya, saya perlu ke suatu tempat" Ucap Arland buru-buru"
"Baik Pak" jawab Deny singkat.
Deny baru saja sampai di rumah kontrakannya ketika mendapat telepon itu. Ia pun segera mengeluarkan motor untuk kembali ke apartemen bosnya.Agak menyebalkan memang, baru sampai rumah sudah harus kembali lagi. Namun tidak merasa keberatan, Deny segera melajukan motornya karena sang bos terdengar buru-buru.
Di sebuah meja Ica sedang gemetar. Ia takut bagaimana reaksi Arland nanti. Apakah ia akan disuruh menggugurkan, atau ia diberikan uang untuk tutup mulut kalau itu anak Arland. Atau malah dia disuruh melahirkan dan anak itu nanti akan dibawa bosnya.
Ia takut dan bingung, karena tidak mungkin bos besar itu mau mengakuinya yang hanya seorang karyawan biasa.Seorang pelayan memberikan daftar menu, Ica hanya tersenyum dan memesan minuman yang paling murah. Ia menjadi semakin tidak selera melihat daftar harga makanan yang satu porsinya saja sama dengan setengah gajinya setiap bulan. Satu minuman yang ia pesan ini setara dengan harga rames dan es teh. Namun bagaimana lagi, ia tidak mungkin bertemu Arland di kos, tidak mungkin juga bertemu di warung makan pinggir jalan.
Jalanan cukup macet, setengah jam Arland baru bisa sampai tempat pertemuan. Ia harus menunggu Deny sampai dan melintasi kemacetan. Dalam hatinya berharap semoga Ica tidak putus asa karena terlalu lama menunggu. Ini sudah lebih seminggu dari pesan terakhir Ica yang bilang mau mengakhiri hidupnya. Bagaimana jika Ica sudah terlalu drop dan putus asa. Pikiran itu yang terus berputar di kepala Arland.
Berjalan di pintu masuk restoran Arland langsung melihat sosok yang ia cari. Senyum tipis terpampang diwajahnya sebagai penggambaran hatinya yang lega. Sosok itu masih cantik seperti ketika ia sandera dulu, hanya saja terlihat lebih kurus.
Ica memang duduk di dekat pintu. Kakinya saja sudah berat masuk ke restoran dengan kesan sangat mewah itu. Jadi ia duduk di tempat terdekat yang ia temui."Sudah lama nunggu Ca?" Arland langsung duduk di depan Ica.
"Emm,, baru Pak" jawab Ica agak takut. Jujur pikirannya dipenuhi ketakutan akan disuruh aborsi.
Arland melihat meja dan hanya menemukan segelas minuman.
"Kamu ngga makan?" Tanya Arland yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Ica.Arland memanggil pelayan dan bertanya pelan pada pelayan itu. Ica tidak terlalu mendengar pembicaraan mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Sungguh, ia sangat takut dan tidak rela jika disuruh abo*si. Tapi ia juga bingung bagaimana bertahan dengan bayinya.
"Mari saya antar" ucap pelayan itu dengan ramah. Pelayan itu cukup familiar dengan wajah Arland karena memang beberapa kali berkunjung.
"Ayo Ca" ajak Arland yang melihat Ica masih bingung.Ica beranjak dari tempat duduknya. Ia bingung minumannya harus dibawa atau tidak. Namun ia segera meninggalkan meja beserta minumannya untuk mengikuti Arland dan pelayan restoran.
"Silahkan Pak" ucap pelayan itu di depan sebuah ruangan.
"Oke terimakasih" jawab Arland sambil memberikan uang tip.
Pelayan itu berterimakasih dan berpamitan.
Ica melihat lembaran berwarna biru berpindah dari tangan Arland ke tangan pelayan.
Ica jadi berpikir apakah ia harus parttime saja di restoran itu agar bisa menambah pemasukan.
Yang Ica tidak tahu, jarang juga orang yang dermawan seperti Arland."Ayo masuk Ca" ucap Arland membuyarkan lamunan Ica yang masih berdiri di depan pintu.
Deg. Kekhawatiran Ica semakin bertambah, betul saja Arland mengajak ke sebuah ruangan. Ia pasti akan disuruh menggugurkan kandungan. Makanya Arland memilih ruang tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengandung Bayi Bos
RomanceArland yang patah hati memaksa Ica untuk bermalam bersama, menjadikan Ica mengandung bayi mereka Mohon maaf ini cerita dewasa ya