━╍ 8 🦇

205 51 10
                                    

Saat ini (Name) tengah duduk di atas sofa bersama Wakasa, memandangi api lilin di meja yang nampak bergoyang karena angin. Ngepet? Iya. Dan si Wakasa jadi babinya.g

Kembali ke narasi.

Pria pemilik surai ikal perak itu duduk tepat di sebelah si gadis merah. Bersandar pada punggung sofa dengan netra yang memandang sayu langit-langit gelap plafon.

Tanah kering masih diguyur hujan dengan begitu deras. Siluet petir berkali-kali mendatangkan gemuruh hebat hingga membuat jantung (Name) kerap kali berdebar tak karuan.

Hening menyelimuti seluruh ruangan. Tak ada percakapan karena keduanya sama-sama diam. Si gadis merasa canggung sedangkan Wakasa nampak biasa-biasa saja.

"Baik, hm?"

Batin Wakasa berbunyi. Sedikit tersenyum miring saat ia kembali mengingat ucapan si gadis beberapa menit lalu.

Pria itu masih merasa bingung dengan perasaan gadis di sebelahnya. Apakah ia takut terhadapnya ataukah tidak?

Namun yang jelas, untuk saat ini Wakasa tidak ingin bertanya lebih jauh lagi.

"Jadi, apa yang mau di bicarain?"

Wakasa berbunyi. Membuat gadis itu sedikit berjingit kaget sebelum beralih menatap manik lilac yang menyala secara gagap.

"O-oh, soal itu..."

"Jangan bilang lupa." Suara Wakasa rendah. Mengandung jengah.

Bukan jengah secara batin, itu memang ciri khasnya pria itu sedari lahir.

"Hah? Ya nggak lah."

Wakasa melirik sekilas gadis di sana. Lalu kembali menatap langit plafon dengan bosan.

"Yaudah, ngomonglah,"

(Name) mengatur detak jantung. Berusaha berpikir jernih di tengah rasa takut yang menjalari diri.

"Nggak penting kok, cuma mau bilang makasih."

"Buat?"

"Buat yang kemarin."

Seketika Wakasa teringat akan dirinya yang menyelamatkan gadis itu di jalan lantaran hendak pingsan.

"Ga masalah,"

"Dan lagi,"

"Ada lagi?"

"Ya, aku minta maaf karena udah nuduh kamu yang enggak-enggak."

"Soal apa?"

"Soal kamu yang bakal bunuh aku,"

Manik Wakasa melebar.

Apa ini? Gadis ini meminta maaf setelah kejadian sore tadi? Setelah Wakasa dengan terang-terangan ingin menikam dirinya?

Harusnya Wakasa lah yang meminta maaf. Harusnya Wakasa yang memohon untuk dimaafkan. Bukan gadis ini. Karena ia tidak salah. Wakasa lah yang salah.

"Kau tidak keberatan soal yang tadi?"

Dari pada ia menerima pengakuan tidak jelas itu, lebih baik ia meluruskan permasalahan yang tadi. Dan meminta maaf setelah semuanya jelas.

"Maksudmu yang sore tadi?"

Pria itu mengangguk.

"Awalnya emang takut si. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kau ini kan vampir? Pasti butuhin darah buat minum. Sekalipun kau bilang gak bakal ngebunuh aku, pasti ada kalanya kamu merasa khilaf dan berakhir kayak tadi. Gapapa, aku maklumi kok!"

"..."

"T-tapi bukan berarti aku mau nyerahin darah aku ke kamu ya! Enak aja!"

Ucapan itu mengundang tawa kecil pria di samping. Wakasa merasa lega. Hatinya lega karena gadis ini sudah tidak takut lagi padanya. Dengan ini ia tidak perlu merasa sungkan lagi. Ia bisa berbicara normal seperti biasanya.

𝗜𝗥𝗜𝗗𝗘𝗦𝗖𝗘𝗡𝗧╵ʷ.ⁱᵐᵃᵘˢʰⁱTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang