15

22.6K 2.9K 391
                                    

Mark bangkit dengan kedua mata yang terus mengedar waspada, meneliti area sekeliling taman dengan napas yang masih terengah-engah. Keduanya masih ditaman, lebih tepatnya bersembunyi dibalik kursi panjang ditengah taman.

Setelah memastikan situasi aman, Mark kembali duduk di atas hamparan rumput hijau. Menyandarkan punggung lebarnya sembari mengatur napas. Ah~ sial, rasanya benar-benar hampir mati tadi.

Wajah tampannya berpaling, memandang wajah memerah Haechan yang juga sedang mengatur napas karena masih ngos-ngosan, bahkan sampai sedikit terbatuk-batuk akibat lari seperti orang kesetanan tadi. Melihat itu entah kenapa menyulut emosi Mark.

"Yak, kan udah saya bilang buat pergi kenapa kamu malah nyamperin!"

Haechan menoleh, menatap tak terima omelan sang guru. "Ya terus masa saya biarin saem dipukulin gitu aja! Gak bisa!" Balasnya sewot. Orang ditolongin bukannya berterima kasih malah ngomelin, bingung Haechan!

"Tapi kamu bisa dalam bahaya kalo nolongin saya!" Mark tatap lekat wajah Haechan. "Gimana kalo tadi kita gak bisa kabur dan kamu di apa-apain sama mereka! Kamu pernah mikir sampai sana!" Bentak Mark murka. Karena sungguh, Mark hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Haechan.

Haechan terdiam, berkedip pelan akan bentakan Mark. Ini pertama kalinya guru itu membentaknya keras dan ternyata cukup membuat detak jantungnya berhenti sejenak. Wajah manisnya menunduk, menatap rumput dibawahnya sendu.

"Ta-tapikan kita sekarang berhasil kabur" Cicit Haechan dan kembali melanjutkan. "Dan kalaupun nanti endingnya gagal kabur juga.. Saya bakal tetep dateng buat nolongin Mark saem" Lirihnya dengan wajah yang terangkat pelan, menatap takut wajah keras sang guru.

"Yak! Kamu-" Tunjuk Mark marah dan langsung berpaling cepat, menghembuskan napas kasar guna menahan emosinya. Ini susahnya kalo ngomong sama remaja puber.

Haechan mencebik, menatap sisi wajah Mark yang tak mau menatapnya. "Mark saem" Panggilnya pelan namun sang guru hanya bergeming.

Haechan geser tubuhnya, menjadi lebih dekat dengan sang guru dan menarik ujung jaket Mark. "Mark saem marah sama saya? Mark saem? Mark saem!"

Hening, sama sekali tak ada respon dari si tampan membuat Haechan makin menarik-narik kuat ujung baju itu. "Maelk saem.. Melk saem? Milk saem! Mark saem Jangan diemin sayaaaaaa"

Mark tepis tangan Haechan dari jaketnya dan langsung bangkit, mengabaikan Haechan membuat remaja itu makin mewek nahan tangis. Haechan engga suka di diemin!

Haechan bangkit, berniat mendekati sang guru namun langsung jatuh terduduk saat kakinya tiba-tiba terasa perih. "Ahkk.. Aww" Ringisnya sambil memegang pergelangan kakinya.

Mark langsung menoleh dan berjongkok panik didepan Haechan, terdiam kala melihat goresan darah membentang dibawah mata kaki tan si remaja, bahkan aliran darah itu telah turun dan menodai kaus kaki pendeknya.

"Kok kaki kamu bisa luka?" Haechan menggeleng, ikut bingung kenapa ada luka gores di kakinya. "Saya juga engga tahu-" Si remaja terdiam saat teringat sesuatu.

"Ah! Kayaknya kena botol kaca yang ada di dalam drum!" Haechan ingat, dia sempat berjengit saat Mark menjatuhkan drum kaleng dan tanpa sengaja kakinya terkena ujung botol yang pecah. Dan dia sama sekali tak merasakan sakitnya karena terlalu sibuk berlari.

Mark panik, matanya mengedar guna mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menutup luka Haechan dan tak ada. Dengan tergesa-gesa dia angkat jaketnya, berniat merobek kaus polosnya namun segera dihentikan Haechan.

"Jangan saem! Di tas saya ada saputangan Daddy, pake itu aja" Cegah Haechan sambil melepaskan ransel di punggungnya.

Dengan cepat Mark raih ransel hitam itu dan langsung mengambil sebuah saputangan berwarna navy. Dia seka perlahan darah yang mengalir turun dengan ujung saputangan lalu segera melipat si kain, mengikat pergelangan kaki Haechan dengan penuh hati-hati, mencoba menutup luka sekaligus menghentikan pendarahan.

DI CULIK? | MarkHyuck☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang