3. Kemarahan Adzfan

115 9 0
                                    

-Bukan tentang rasa cinta dan kasih sayang, tetapi bagaimana kecewa itu hadir.-

°°°

Malam ini, keluarga baru itu tengah menikmati makan malamnya, yang sudah disiapkan oleh Zahra sebelumnya.

Tak ada keceriaan di wajah Adzfan, melainkan hanya ada kemarahan yang terpendam di sana. Berbeda dengan Arashi yang mana gadis itu saat ini tengah begitu menikmati santapan malam ini.

"Bunda, Cici suka dengan ini. Kapan-kapan Bunda buat lagi, ya!" ucao Arashi dengan antusiasnya.

Zahra yang mendengar itupun hanya tersenyum mendengarkan celotehan putri kecilnya itu.

"Adzfan, kamu mau nambah, Nak?" tanya Zahra dengan lembutnya.

Adzfan yang sejak tadi benar-benar merasa muak akan situasi inipun langsung menatap Zahra dengan tajam.

"Jangan berlaku sok baik di depan gue!" bentak Adzfan begitu saja. Lalu, bangkit dari kursinya itu.

"Adzfan!" bentak Akhram seketika. Namun, Adzfan sama sekali tidak peduli. Bahkan dia langsung melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana.

"Beginikah cara kamu bersikap dengan ibumu?" sentaknya lagi. Mendengar itu seketika Adzfan langsung menghentikan langkahnya.

"Dia bukan ibu Adzfan! Dia adalah wanita perusak keluarga kita! Adzfan benci Bi Zahra!" bentak Adzfan balik. Lalu, berlari dari ruangan itu untuk menuju kamarnya. Zahra yang mendengar itupun hanya mampu memejamkan matanya sedih. Tuduhan itu selalu saja dia dengar dari mulutnya Adzfan. Bahkan, dia sama sekali tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari bocah kecil yang saat ini sudah menjadi anaknya itu.

"Adzfan!" bentak Akhram benar-benar marah. Sedangkan Arashi, gadis itu langsung memeluki Zahra yang berada di sebelahnya.

"Sudah, Mas!" bela Zahra menenangkan suaminya itu.

"Huh ... anak itu jika dibiarkan, dia akan terus kurang ajar," ucap Akhram frustasi. Berkali-kali dia hanya mampu menghela napas lelahnya karena kelakuan Adzfan.

...

Waktu pun kini telah berlalu. Malam telah berganti akan pagi yang terlihat begitu ceria. Senyuman indah terbit begitu saja di wajah anggunnya Arashi. Saat ini, gadis itu tengah menggunakan gaun cantik pemberian dari Akhram tempo hari. Bando kecil yang bertengger di kepalanya pun seolah-olah menambah kesan kecantikkan gadis ini.

"Bunda," panggilnya kepada wanita yang saat ini tengah menyiapkan hidangan sarapan pagi itu.

"Iya, kenapa?" tanya Zahra tanpa mengalihkan pandangannya.

"Cici boleh gak, main sama anak tetangga sebelah? Cici pengen punya teman Bunda," ucap Arashi dengan sedihnya.

"Em ... boleh. Tapi, Cici jangan jauh-jauh kalau main. Kalau bisa, Cici mainnya di rumah aja, sekalian ajak bang Adzfan-nya."

"Kalau bang Afan gak mau, Bunda?"

"Yaudah, Cici aja yang main, tapi di rumah aja, okay!"

"Okay, Bunda!" Zahra pun hanya tersenyum menanggapi ucapan putri kecilnya itu.

"Yaudah, sekarang kita sarapan. Kamu tunggu di sini, Bunda mau ke atas bangunin ayah dan abang kamu." Arashi mengangguk dan Zahra pun langsung berlalu dari harapan gadis kecil itu.

Zahra pun memanggil Akhram yang saat ini sudah berstatus sebagai suaminya itu, untuk sarapan ke bawah. Lalu, dilanjutkan dengan Zahra membangunkan putra tirinya itu.

"Aden Adzfan, ayo bangun! Bunda sudah siapkan masakan kesukaan Aden," ucap Zahra seraya memasuki kamarnya Adzfan dan beralih untuk membuka tirai kamar Adzfan.

"Eugh!" erangnya yang tak kunjung membuka mata, melainkan semakin menenggelamkan wajahnya di balik selimut yang menutupi tubuhnya.

"Aden, ayo bangun, Sayang!" ucap Zahra lembut seraya duduk di samping kasur Adzfan dan mencoba untuk menyingkirkan selimut yang menutupi wajah Adzfan.

"Berisik!" bentak Adzfan yang semakin mengeratkan pegangan selimutnya.

"Aden, ini sudah siang. Gak baik kalau Aden masih tidur di jam segini," jelas Zahra kembali membujuk Adzfan.

"Lo bisa diam gak, sih? Jangan caper kaya gini sama gue, bisa? Ingat! Posisi lo di mata gue tetaplah wanita perusak keluarga gue. Dan gue akan selalu benci lo!" bentak Adzfan yang langsung saja bangkit dari posisinya dan meninggalkan Zahra yang saat ini terdiam dalam posisinya. Setetes kemudian, cairan bening lulus begitu saja dari pelupuk matanya.

"Saya tau, kamu belum bisa menerima saya, Adzfan. Tapi, saya janji, saya akan membuat kamu menganggap saya sebagai ibumu. Saya janji, Adzfan." Setelah itu, Zahra langsung saja memberesi tempat tidur Adzfan dan beranjak keluar dari kamar putra tirinya itu. Sebelum menuju tangga, Zahra menyempatkan dirinya untuk menghapus jejak air matanya itu dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja, agar tidak ada yang curiga akan apa yang barusan saja terjadi.

Namun, ternyata tanpa Zahra ketahui. Akhram melihat istrinya itu yang keluar dari kamar putranya dan mengusap sudut matanya. Membuat Akhram tahu, jika itu semua karena ulah dari putranya itu.

...

Pagi ini, sarapan pun berlangsung. Namun, dengan suasana hening, tidak seperti biasa yang Adzfan rasakan ketika ada sosok Qisha di sisinya.

"Adzfan," panggil Akhram setelah dirinya meneguk segelas air putih.

Adzfan yang dipanggil pun hanya menatap Akhram dengan datar, tanpa menyanggupinya dengan suara.

"Besok, kamu dan Rashi sudah bisa sekolah. Dan Rashi juga akan Ayah sekolahkan di sekolahmu," jelas Akhram yang hanya mampu membuat Adzfan memutar bola matanya malas. Dia yakin, ini benar-benar akan menyulitkannya. Satu sekolah dengan gadis manja seperti Arashi, sungguh menyusahkan bagi Adzfan.

"Jadi, Ayah minta, kamu jadi adik kamu baik-baik. Kalau ada yang menyakiti dia, kamu langsung lindungi adik kamu. Paham?" ucap Akhram dengan tegasnya.

"Dia bukan adik Adzfan. Adzfan gak pernah punya adik!" sela Adzfan yang terus melanjutkan sarapannya dengan malas.

"Adzfan! Jaga bicara kamu! Dia itu adik kamu sekarang! Kamu harus bisa menerima Rashi!" bentak Akhram yang benar-benar marah dengan sikap anaknya ini.

"Terserah!" ucapnya, lalu beranjak dari kursinya itu dan melenggang pergi dari sana. Malas untuk berdebat dengan keluarga yang menurut tidak pernah peduli lagi dengan dirinya.

"Adzfan!" bentak Akhram sekali lagi. Namun, sama sekali tidak dipedulikan oleh Adzfan. Zahra yang melihat kemarahan di mata Akhram itupun hanya bisa menenangkan Akhram melalui usapan lembut pada tangan pria itu, seraya berkata,"Sudah, Mas. Adzfan mungkin masih butuh waktu. Enggak apa-apa, kok. Kamu tenang saja, suatu saat nanti dia pasti akan bisa menerima ini semua." Akhram yang mendengar itupun hanya mampu merasa bersalah terhadap Zahra yang hatinya jelas-jelas tidak seperti yang Adzfan katakan.

Gata (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang