-Kejujuran itu memang lebih baik daripada harus berbohong. Namun, keterpaksaanlah dengan ketidak tegaan yang menjadi alasannya saat ini.-
°°°
Kring!!!
"Ci, jadi?" tanya Adel yang sudah menyampirkan tasnya di bahu.
"Eh iya, bentar! Aku masukin ini dulu."
"Oh yaudah, aku tunggu di luar, ya" ucapnya seraya pergi keluar dari kelas tersebut.
Tak lama kemudian, Arashi pun ikut keluar dari kelasnya itu. Menghampiri Adel yang saat itu tengah menatap luaran kelasnya.
"Ayok!" ajaknya yang langsung saja diangguki oleh Adel. Akhirnya, mereka pun melanjutkan langkah mereka yang tertunda, menuju gerbang sekolah. Di mana, di sana telah ada mobil Akhram yang tengah menunggu mereka.
"Ayah," sapa Arashi pada Akhram yang baru saja keluar dari mobilnya.
"Gimana sekolah barunya? Rashi suka?" tanya Akhram dengan hangatnya.
"Suka, Yah. Sekolahnya bagus banget," jawab Arashi dengan antusiasnya.
"Alhamdulillah. Yaudah, kita pulang sekarang, ya." Akhram pun langsung membukakan pintu mobil untuk putri kecilnya itu, hingga memperlihatkan Adzfan yang saat itu tengah asik dengan gadget di tangannya.
"Em ... Yah," panggil Arashi menghentikan gerakan Akhram.
"Iya?" tanya Akhram dengan heran.
"Em ... apa boleh Adel pulang bareng kita? Kasihan, Yah. Dia pulang sendiri," pintanya kepada Akhram. Dan Akhram yang baru menyadari kehadiran Adel pun langsung menatap gadis kecil itu. Dan ternyata itu adalah anak tetangganya sendiri.
"Oh tentu saja. Yaudah, ayo!" setuju Akhram. Dan itu membuat Adel sangat bahagia.
"Adzfan, kamu duduk di depan, ya." pinta Akhram yang langsung ditanggapi malas oleh Adzfan. Namun, dengan terpaksa dia tetap untuk mengikuti permintaan ayahnya itu.
"Lo gak dijemput orang tua lo lagi?" tanya Adzfan sinis kepada Adel, sebelum dia benar-benar kembali duduk di dalam mobil. Dan pertanyaan itu benar-benar membuat Arashi bingung. Karena setahu Arashi, Adel itu tidak pernah dijemput oleh orang tuanya, dan itu adalah pernyataan dari Adel sendiri.
Adel yang mendengar pertanyaan Adzfan itupun seketika merasa gelagapan.
"Jangan terlalu serius, gue bercanda" ucap Adzfan kembali dengan dinginnya. Namun, berhasil membuat Adel merasa lega dan membuat Arashi tertawa kecil.
"Ternyata Bang Afan masih bisa bercanda, ya" ucapnya yang membuat semuanya sedikit tertawa, kecuali Adzfan yang hanya diam dengan perkataan Arashi tersebut.
Dan akhirnya, Akhram pun mulai melajukan mobilnya meninggalkan pelantaran sekolah anaknya. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai di kompleks perumahan mereka. Dan akhirnya mereka pun sampai.
"Makasih ya, Om" ucap Adel yang belum menghilangkan rasa bahagianya.
"Sama-sama," jawab Akhram dengan senyumannya.
"Hati-hati ya, Del!" ucap Arashi sambil melambaikan tangan ke arah Adel. Dan dijawab dengan gadis itu dengan anggukannya.
Setelah kepergian Adel, Arashi pun ikut memasuki rumah barunya itu dan langsung beralih untuk menuju kamarnya. Karena tidak menemukan siapa-siapa lagi di ruang tamu ini. Mungkin saja kedua orang tuanya tengah berada di kamar dan Adzfan sedang mengganti seragamnya di kamarnya, pikirnya.
Sesampainya di dalam kamar, Arashi langsung saja mengganti seragam sekolahnya tersebut. Lalu, membaringkan tubuhnya sejenak di atas kasurnya itu. Tepat pada matanya ingin terpejam, tiba-tiba saja pintu kamarnya dibuka dengan keras, membuat matanya terbuka kembali.
Dan pelakunya adalah Adzfan. Dia memang sengaja melakukan itu, gunanya untuk menganggu adik tirinya yang tengah beristirahat itu. Dia sudah menduga, jika gadis kecil itu akan beristirahat seperti sekarang ini, mangkanya Adzfan mengambil kesempatan untuk mengusik kehidupannya, guna membalaskan dendamnya.
"Ups, sorry!" ucap Adzfan merasa pura-pura bersalah.
"Bang Afan kenapa ke sini?" tanya Arashi dengan heran.
"Di luar dugaan gue," batinnya merasa gagal.
"Gue mau gangguin lo," ucap Adzfan dengan entangnya.
"Ooh ...," timpal Arashi yang kembali membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya yang terganggu tadi.
"Gitu doang?" batinnya lagi.
"Nih, kerjain PR gue. Gue tunggu sampai jam dua. Kalau PR gue belum kelar, liat aja!" ucapnya seraya melemparkan bukunya ke wajah Arashi yang berusaha untuk memejamkan matanya. Dan itu sontak membuat Arashi meringis karena ulah Adzfan.
Dia benar-benar merasa lelah saat ini, tapi lihatlah! Lelaki yang berstatus sebagai kakaknya itu malah membuatnya semakin meringis. Tapi, tidak apa. Perlahan-lahan Adzfan seperti sudah menerima kehadiran Arashi saat ini. Sebab, Adzfan yang selama ini tidak mau berbicara dengannya, sekarang sudah terlihat mau menerima dirinya. Walau perlakuannya kadang membuat Arashi harus bersabar.
"Hanya ini?" tanya Arashi seperti mengejek.
"Gak usah sok meremehkan lo. Lo coba aja kerjain tugas itu, awas kalau sampai salah!" ancamnya yang setelah itu meninggalkan kamarnya Arashi.
"Bang Afan, terus kaya gini, ya. Gak pa-pa, kalau Abang bersikap memaksa gini sama Cici. Cici lebih suka lihat Bang Afan kaya gini, daripada Bang Afan tidak berbicara sama sekali kepada Cici. Cici sayang Abang. Apapun akan Cici lakuin buat Abang. Supaya Bang Afan juga bisa merasakan bahagia sama seperti teman-temannya Abang." Tak terasa, cairan bening yang menampakan betapa tulusnya gadis itu keluar begitu saja.
Melihat Adzfan, Arashi seolah-olah melihat sosok ayahnya yang telah lama pergi meninggalkannya dan ibunya. Apalagi, di saat Arashi melihat mata elang yang sama persis seperti yang dimiliki oleh Adzfan itu sangat mirip dengan milik almarhum ayahnya.
Akhirnya, Arashi pun mengusap paksa bekas air matanya tersebut. Dan di langsung saja mengerjakan tugas Adzfan yang tadi diserahkan kepadanya. Dia mengerjakannya dengan begitu teliti. Sebab, dia hanya tak ingin Adzfan kecewa karena telah menyuruh Arashi mengerjakan tugasnya tersebut. Dan untung saja, menurut Arashi pelajaran ini tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Ditambah lagi dengan materi ini sepertinya sudah pernah dia temui di perpustakaan sekolah lamanya.
Dengan begitu khitmatnya Arashi pun mengerjakan tugas itu, sampai lupa akan waktu yang saat itu sudah menunjukkan pukul satu. Yang dengan artian dia sudah melewatkan waktu sholat dzuhur dan makan siangnya. Sampai pada akhirnya, pintu kamarnya itupun terbuka dan menampilkan Zahra di sana.
"Cici? Loh, kamu gak tidur? Tadi kata Adzfan kamu lagi tidur, loh?" tanya Zahra dengan bingung.
"Eh, Bunda. Hehehe ... tadi Cici memang mau tidur kok, Bun. Tapi, Cici teringat sama tugas sekolah. Mangkanya Cici bangun lagi dan ngerjain tugas sekolah, supaya nanti Cici bisa main ataupun istirahat."
"Ooh ... yaudah, kalau gitu makan siang dulu, ya. Bunda udah masakin dari tadi. Tapi, karena kamunya kata Adzfan tidur, Bunda jadi gak tega bangunin, mangkanya gak Bunda bangunin."
"Iya Bunda, gak pa-pa, kok. Ini juga Cici sudah selesai ngerjainnya kok. Sekalian, Cici juga mau sholat Dzuhur."
"Yaudah, kalau gitu Bunda ke supermarket dulu, ya. Kalau kamu udah mau makan, lauknya Bunda simpan di dalam lemari yang biasa. Kalau kamu gak bisa ngambil nasinya, nanti minta tolong Adzfan aja, ya."
"Iya, Bunda." Setelah itu, Zahra pun meninggalkan putrinya tersebut, namun menyempatkan diri untuk mencium puncak kepala putrinya tersebut.
"Maafin Cici ya, Bun" lirihnya setelah pintu kamarnya kembali ditutup oleh Zahra.
Sesuai dengan perkataannya tadi, akhirnya Arashi melaksanakan sholat Dzuhur-nya terlebih dahulu. Dan dilanjutkan dengan makan siangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gata (END)
Teen Fiction"Abang, kembaliin bonekanya Adel!" "Gak!" "Abang! Kembaliin!" "Kalau gue gak mau gimana?" "Kembaliin, cepat!" "Gak! Gue gak akan kembaliin ini boneka! Dan ini juga bukan boneka lo lagi kan, jadi bukan lo yang seharusnya mengemis kaya gini." "Kalau a...