24. Permintaan

74 3 0
                                    

-Sampai kapan pun, batin orang tua dengan anaknya akan kuat, walaupun itu dipisahkan oleh jarak.-

°°°

Hari-hari berlalu, namun tidak dengan luka yang semakin hari semakin memperparah keadaan Adzfan.

Saat ini, Adzfan benar-benar terlihat tidak berdaya sedikit pun. Bahkan, untuk makan saja dia sering untuk menolaknya.

Sedangkan Akhram dan Zahra yang melihat kondisi Adzfan saat ini benar-benar merasa tidak tega. Sebegitu sayangnya dia kepada Arashi, sampai-sampai memberikan dampak buruk atas dirinya.

"Aden, kita makan dulu, ya? Habis itu kita minum obat," kata-kata yang selalu Zahra berikan ketika memasuki kamar itu dengan membawa sebuah nampan di tangannya. Namun, respon yang selalu ia berikan adalah gelengan.

"Bibi suapin," bujuk Zahra lagi yang telah duduk di pinggiran kasur Adzfan.

Selama dirinya sakit, Zahra tidak pernah berhenti henti untuk menjaga dan merawat Adzfan, layaknya putra kandungnya sendiri. Mulai dari mengompresi Adzfan sesekali, memasakkan pria itu bubur, membantu pria itu untuk ke kamar mandi, dan bahkan membantu Adzfan ketika dirinya tengah muntah.

"Gak enak, Bi" lirihnya dengan bibir yang makin hari semakin pucat.

"Sedikit saja, ya?" mohon Zahra lagi. Dan lagi-lagi Adzfan menggelengkan kepalanya.

"Ya sudah, Bibi bawakan roti, Aden mau?" tawarnya. Dan kembali Adzfan menggelengkan kepalanya tidak mau.

"Aden, Aden harus mengisi perut, kalau kaya gini, Aden gak bakalan bisa sembuh," nasehatnya yang selalu saja dia lontarkan kepada Adzfan.

Namun, Adzfan yang memang kehilangan selera makannya pun hanya bisa mendengarkan nasehat yang selalu saja keluar dari mulut Zahra tersebut.

"Minum," lirihnya seraya menatap gelas yang Zahra bawa tadi dengan nampan.

"Sebentar!" Zahra pun meletakkan nampan itu di atas nakas samping tempat tidur Adzfan. Lalu, membantu Adzfan untuk berada dalam posisi duduk. Dan membantu pria itu untuk meneguk air hangat tersebut.

Setelah selesai meminum air tersebut, entah mengapa tiba-tiba saja Adzfan kembali merasa mual seperti sebelumnya.

"Aden, kenapa?" tanya Zahra panik. Dan tak lama kemudian, air yang baru saja ia teguk kembali keluar besertakan darah yang langsung membasahi selimutnya.

"Astaghfirullah, Yaa Allah!" terkejut Zahra yang langsung meletakkan gelas tadi ke atas nampan.

"Mas!!!" teriaknya seraya mengambil tisu yang juga tergeletak di atas nakas tersebut. Dan membersihkan sisa muntahan darah Adzfan tadi pada mulutnya. Lalu, menyingkirkan selimut yang telah dinodai oleh muntah darah Adzfan barusan.

"Ada apa?" tanya Akhram yang baru saja datang.

"Mas, kita bawa Adzfan ke rumah sakit saja ya, saya takut dia kenapa-kenapa, Mas!" pinta Zahra seraya mengusap lembut kepada Adzfan yang saat ini terlihat begitu lemas.

"Ja-jangan, Bi!" gumamnya dengan tidak berdaya.

"Adzfan, kita ke rumah sakit ya, Nak!" bujuk Akhram.

"A-adzfan gak pa-pa," jawabnya lagi.

"Aden, gak pa-pa. Kita ke rumah sakit ya, Nak?" bujuk Zahra yang entah ke berapa kalinya.

"Adzfan cuma pengen Bunda," lirihnya yang tiba-tiba membuat Akhram tersentak. Setelah sekian lama, tiba-tiba saja Adzfan meminta Bundanya untuk kembali.

"A-ayah, Adzfan mohon bawa Bunda ke sini sekali aja, Adzfan pengen ketemu Bunda," pintanya yang membuat Akhram merasa tidak tega untuk melihat kondisi putranya ini.

"Sayang, Ayah gak tau Bunda kamu sekarang ada di mana, Nak. Adzfan ke rumah sakit aja, ya!" bujuknya lagi. Namun, Adzfan hanya menggeleng tidak setuju.

"Baiklah, Ayah akan cari Bunda kamu, tapi Adzfan janji sama Ayah! Adzfan harus sembuh setelah bertemu Bunda dan Adzfan mau ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan terbaik!" ucap Akhram membuat janji. Dan itu hanya diangguki oleh putranya tersebut.

"Ya sudah. Zahra, saya titip Adzfan sebentar. Jaga dia baik-baik!" titahnya yang langsung diangguki oleh Zahra.

Sebenarnya, ada rasa sakit di dada Zahra, ketika mendengar permintaan putra tirinya itu. Namun, untuk kali ini, Zahra tidak bisa egois. Dia harus bisa menerima ini demi kesembuhan Adzfan.

...

Sejak tadi, Akhram tiada hentinya untuk mencari-cari keberadaan Qisha, bunda kandung Adzfan. Dia mendatangi setiap kenalan Qisha yang dia ketahui dahulu. Mulai dari keluarganya, hingga ke para klien-klien yang mengenal mantan istrinya itu.

Namun, sejak tadi, dirinya tak kunjung mendapati kabar mengenai Qisha, termasuk dari keluarganya yang saat ini terlihat seperti tidak berminat untuk membahas mengenai wanita itu.

Dan saat ini, hanya ada satu tempat lagi yang perlu Akhram kunjungi, yaitu rumah teman dekatnya Qisha.

"Yaa Allah ... bantu hamba!" pintanya kepada Rabb, seraya terus melajukan mobilnya di jalan raya.

Hingga tak lama kemudian, akhirnya Akhram pun sampai di sana. Dengan cepat, ia langsung turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah itu beberapa kali.

Tak lama kemudian, Sang Pemilik rumah pun membuka pintunya dan terlihatlah sosok wanita yang sudah lama tidak Akhram temui semenjak perceraiannya dengan Sang Mantan Istri.

"Tuan Akhram?" tanyanya wanita berhijab itu.

"Ada keperluan apa?" tanya wanita itu dengan heran.

"Saya ingin bertemu Qisha," jawabnya singkat.

"Qisha? Loh, bukannya kalian sudah berpisah?" tanya wanita itu lagi dengan bingung.

"Anak saya mencarinya," jawab Akhram seadanya.

"Adzfan? Pasti anak itu sudah besar sekarang. Oh iya, bagaimana kabar Tuan dengan Adzfan?" tanya wanita itu lagi.

"Baik. Tolong beritahu saya, di mana Qisha sekarang?" tanyanya mendesak.

"Siapa itu Tris?" tanya seseorang tiba-tiba dari dalam sana. Akhram yang merasa familiar dengan nama itu langsung saja mengalihkan pandangannya bersamaan dengan wanita yang baru saja dipanggil Tris tersebut.

Trisya atau yang biasa dipanggil Tris, adalah sahabat lama dari Qisha. Jadi, tidak heran apabila Akhram bisa berharap pada tempat ini setelah dia mengunjungi semua tempat yang ia kenal.

"Ini," tunjuk Trisya kepada Akhram yang saat ini tengah menatap Qisha.

"Ma-mas Akhram?" lirihnya terkejut.

"Dia mencari kamu, Qi." Mendengar itu, Qisha melayangkan tatapan herannya kepada Akhram. Kenapa setelah 6 tahun baru mau mencarinya?

"Ada apa?" tanyanya dingin.

"Adzfan membutuhkanmu saat ini," jawab Akhram tak kalah dinginnya.

"Maksudnya?" tanyanya bingung.

"Dia sedang sakit, dan hari ini dia meminta saya untuk membawamu ke rumah dan bertemu dengannya," jawab Akhram.

"Sakit apa?"

"Ceritanya panjang. Dan saya memohon demi putra saya, agar kamu bisa ke rumah bersama saya saat ini," jelas Akhram tak ingin buang waktu.

Qisha yang belum mendapatkan jawabannya seutuhnya, langsung saja berpikir keras, menimang pilihan yang harus dia berikan. Lalu, mencoba meminta pendapat Trisya. Dan hanya ditanggapi oleh Trisya dengan anggukan untuk meyakinkan Qisha.

"Baiklah, tunggu sebentar!" Qisha pun kembali masuk ke dalam rumahnya Trisha. Lalu, tak lama kemudian dia kembali keluar dengan membawa tas selempang yang dia sampirkan di bahu.

"Ayo!" ucapnya. Dan Akhram langsung saja melangkah menuju mobilnya tanpa berpamitan.

"Aku pergi dulu, Tris!" pamitnya.

"Iya, hati-hati!" Dan mereka pun langsung pergi dari sana, setelah keduanya memasuki mobilnya Akhram.

"Semoga semuanya baik-baik saja," gumamnya di dalam hati sebelum menutup pintu rumahnya kembali.

Gata (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang