22. Satu-satunya

67 3 0
                                    

-Kadang takdir pun harus disyukuri, sebab akan ada hikmah yang terjadi di sana. Baik secara sadar ataupun tidak. Namun, lambat laun pasti akan terkuak.-

°°°

Tok ... tok ... tok!!!

Pintu itu diketuk oleh Zahra yang saat ini di tangannya berada sebuah nampan, yang berisikan makan malam untuk putra tirinya.

"Aden, kita sarapan dulu, ya. Bibi bawakan sarapan kesukaan Aden," ucapnya seraya terus mengetuk pintu kamarnya Adzfan. Namun, sama sekali tidak ada jawaban dari dalam sana.

"Aden, Bibi masuk, ya?" ucapnya lagi. Namun, tetap saja tidak diberikan respon oleh Adzfan.

Dengan berat hati, Zahra memutar knop pintu kamarnya Adzfan dan menelusuri kamar putranya itu.

Gelap. Itulah yang terjadi saat ini di kamar Adzfan. Tidak ada sedikit pun cahaya di sini.

Zahra yang merasa agak khawatir, akhirnya mencari saklar lampur kamarnya Adzfan. Setelah menemukannya, langsung saja ia menghidupkannya. Dan ia malah mendapati sosok Adzfan yang saat ini tengah meringkuk seperti kedinginan di atas kasurnya.

"Yaa Allah, Aden!" ucapnya khawatir. Dengan cepatnya, Zahra langsung menghampiri Adzfan dan menyelimuti pria itu.

"Aden kenapa bisa gini?" tanyanya khawatir seraya memperbaiki posisi tidurnya Adzfan.

Hingga tak lama kemudian, Akhram pun datang. "Ada apa Zahra?" tanyanya dengan khawatir.

"Ini Mas, Adzfan badannya tiba-tiba panas," jawab Zahra seraya menempelkan tangannya di kening Adzfan.

Mendengar itu, Akhram langsung saja memasuki kamar putranya itu dan menghampiri Adzfan yang saat ini tengah menggigil kedinginan di balik selimutnya.

"Adzfan, ada apa, Nak?" tanya Akhram dengan begitu terpukulnya melihat kondisi putranya saat ini. Akhram yakin, ini semua pasti disebabkan kejadian kemarin. Adzfan belum bisa melepaskan adiknya, maka dari itu, hal inilah yang membuat dia sakit saat ini.

"Ci-ci," lirihnya dengan mulut yang bergetar. Adzfan dan Zahra yang mendengar itupun hanya mampu menatapnya dengan sendu.

"Aden, Aden harus bisa ikhlas. Aden gak bisa kaya gini. Kalau Aden kaya gini, Cici pasti bakalan sedih," ucap Zahra menenangkan seraya mengelus lembut kepalanya Adzfan yang tengah memejamkan matanya.

Hingga tanpa terasa, air mata Adzfan mengalir begitu saja dari pelupuk matanya.

"Zahra, kamu jaga Adzfan dulu, biar saya panggilkan dokter," putus Akhram yang langsung saja beranjak dari posisinya.

Di saat dokter yang dimaksud Akhram telah datang, dokter itupun langsung memeriksa kondisi Akhram.

"Bagaimana, Dok?" tanya Akhram ketika dokter tersebut telah selesai memeriksanya.

"Keadaan pasien saat ini tidak terlalu buruk. Dia hanya kelelahan. Jadi, pasien haru banyak-banyak istirahat saat ini, dan jangan buat pasien stress untuk beberapa hari ini dulu, karena itu bisa memperburuk keadaan pasien," jelas dokter itu yang langsung di angguki oleh Akhram dan Zahra.

"Ya sudah, ini resep obatnya, nanti bisa ditebus di apotek terdekat. Kalau ada misalkan nanti kondisi pasien semakin buruk, cepat bawa ke rumah sakit, ya Pak. Kalau gitu saya pamit dulu," jelas dokter itu lagi.

"Baik Dok, mari saya antar ke depan," ucap Akhram yang diangguki oleh dokter itu. Dan akhirnya, mereka pun beranjak dari kamarnya Adzfan tersebut, meninggalkan Zahra bersama dengan Adzfan yang masih setia memejamkan matanya.

Zahra pun mulai mendudukan dirinya di pinggiran kasur Adzfan. Menatap sendu wajah yang tengah tertidur pulas itu. Perlahan-lahan, membuat tangan Zahra mengusap lembut kepalanya Adzfan.

"Sebegitu sayangnya kamu kepada anak saya, Adzfan. Sampai-sampai, kamu tidak bisa rela dengan kepergiannya," lirihnya seraya terus mengusap lembut kepala Adzfan.

Lagi-lagi, tanpa ada penyebabnya, air mata Adzfan mengalir begitu saja. Membuat Zahra langsung mengusap air mata itu dengan penuh kasih sayangnya.

"Hanya kamu yang saya miliki saat ini Adzfan, saya harap seiring berjalannya waktu, kamu bisa menerima saya sebagai ibumu. Walaupun itu baru bisa saya dapatkan setelah enam tahun berlalu." Setelah mengucapkan itu, Zahra pun memberikan kecupan hangatnya pada kening Adzfan, seiring dengan tetesan air mata yang menetes begitu saja ke pipi Adzfan.

Merasakan ada sesuatu hal yang mengusiknya, Adzfan sayup-sayup membuka matanya dengan sayu.

"Bi-bi," lirihnya dengan sangat lemah. Mendengar dirinya di panggil, Zahra pun tersenyum hangat.

"Aden sudah bangun? Mau minum?" tanyanya dengan lembut. Namun, hanya direspon dengan gelengan oleh Adzfan.

Akhirnya, Zahra pun merasa bingung untuk melakukan apapun saat ini. Namun, beda halnya akan Adzfan yang sontak membuat Zahra terkejut karena ulahnya.

Tiba-tiba saja, Adzfan memeluk perut Zahra yang berada di sampingnya.

"Bi, Cici di sana lagi ngapain, ya?" tanyanya lemah, seraya menatap lurus ke luar jendela.

Zahra yang merasa terkejut, akhirnya perlahan-lahan kembali mengusap kepalanya Adzfan dengan lembut.

"Cici di sana sudah tenang, Den. Aden gak perlu khawatir lagi. Ada Allah yang akan selalu melindungi Cici di sana," jelas Zahra yang lagi-lagi berusaha untuk menahan tangisannya.

"Cici jahat banget ya, Bi. Dia ninggalin kita semua di sini, sedangkan dia bahagia di sana," ucap Adzfan lagi dengan tersenyum kecutnya.

"Enggak, Den. Cici gak jahat, tapi ini mungkin memang sudah takdirnya yang mengharuskan dia pergi meninggalkan kita semua di sini," jelas Zahra lagi.

"Itu namanya jahat Bi, dia gak sayang gue lagi." Mendengar kata-kata itu, benar-benar membuat Zahra tak kuasa lagi untuk menahan isakannya.

"Aden, Aden gak boleh bicara kaya gitu. Kalau Cici dengar, dia pasti bakalan sedih. Aden gak mau kan, liat Cici sedih?" hiburnya mencoba untuk semakin kuat.

"Bi, jika misalkan suatu saat nanti gue pergi kaya Cici, apa dia bakalan temuin gue di sana?" tanyanya yang membuat Zahra seketika bungkam. Begitu halnya juga dengan Akhram yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar itu.

Melihat datangnya Akhram di depan pintu kamar Adzfan, membuat Zahra langsung memberikan kode agar memberikan mereka waktu untuk saat ini. Akhram yang seolah mengerti, akhirnya kembali keluar dari sana.

"Aden, kenapa bicara kaya gitu? Jangan bicara kaya gitu lagi, Bibi gak suka."

"Bi, gue pengen tidur di sini sebentar, ya." Tanpa meminta persetujuan dari Zahra, Adzfan langsung saja memperbaiki posisi tidurnya menjadikan paha Zahra sebagai bantalnya dan mulai menutup matanya kembali.

Gata (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang