-Seberapa jauh meminta untuk dimengerti, namun tetaplah hanya beberapa orang yang mampu mengerti akan semua itu.-
°°°
"Ci," panggil Zahra seraya membuka pintu kamar Arashi dan membawa sebuah nampan di tangannya.
"Kita sarapan dulu, ya." Arashi hanya mengangguk setuju.
"Abang kamu ngapain tadi?" tanya Zahra seraya mulai menyuapi putri kecilnya itu.
"Em ... tadi bang Afan ngambil bukunya yang ketinggalan kok, Bun. Dan juga, tadi bang Afan juga pamit buat berangkat ke sekolah," jelasnya dengan mulut yang berisi.
"Kamu sudah baikan dengan Adzfan?" tanya Zahra merasa agak lega mendengar penjelasan putrinya.
"Udah Bunda. Bang Afan sayang Cici dan Cici juga sayang abang." Terlihat senyuman bahagia pada sudut bibir Arashi tatkala mengucapkan kata itu. Hatinya benar-benar bahagia saat ini. Karena akhirnya, dia bisa merasakan kasih sayang dari sosok kakak. Walaupun itu adalah dari kakak tirinya.
Beda halnya dengan Arashi. Saat ini Adzfan tengah menyusuri koridor sekolahnya. Menyusuri setiap tatapan yang tertuju pada dirinya.
"Fan, lo mau ke mana, sih?" tanya Digo heran.
"Kelas 3A," ucapnya singkat. Lalu, melanjutkan langkahnya menuju tujuan awalnya tadi. Hingga akhirnya mereka pun sampai di sana.
"Di mana Adel?" tanyanya dingin kepada salah satu siswa kelas 3A itu.
"Ada, di dalam, Bang" jawab siswa tersebut seraya menunjuk posisi duduk Adel yang tengah tertawa girang dengan teman-temannya.
Tanpa menunggu lagi, Adzfan langsung saja masuk ke dalam kelas itu dan berjalan dengan tatapan tajamnya ke arah Adel.
Brak!
Gebrakan meja itupun seketika membuat Adel mengalihkan atensinya kepada Adzfan.
"Eh, Bang Adzfan? Ada apa, Bang?" tanyanya dengan manis.
"Gak usah sok manis lo. Gue ke sini cuma mau peringatin lo. Lo jauhin adik gue! Dan jangan pernah lo dekatin adik gue demi dapatin hati gue. Karena gue gak akan pernah sudi buat suka dengan lo. Camkan itu!" ucapnya, lalu kembali meninggalkan kelas itu yang saat ini benar-benar hening karena ulah Adzfan barusan.
Sedangkan Adel yang mendapatkan perlakuan seperti itu langsung saja mendengus kesal. Dia yakin, ini semua pasti gara-gara Arashi. Gadis itu benar-benar membuatnya malu saat ini. "Liat aja lo, Rashi!" ucapnya dengan marah.
...
"Fan, lo ngapain sih, pakai acara ngelabrak anak 3A? Kalau nanti wali kelasnya tau, lo bisa kena sanksi," ucap Digo dengan heran.
Namun, bukannya menjawab, Adzfan malah meninggalkan Digo sendirian. Membuat Digo menghela napasnya pasrah seorang diri dan kembali melanjutkan langkahnya mengikuti Adzfan.
Jam pelajaran pun akhirnya dimulai. Dan semua siswa-siswi pun mulai melaksanakan rutinitas mereka sebagai murid, yaitu mendengarkan perkataan dan mengikuti perintah guru mereka di depan kelas.
Adzfan yang saat ini tengah belajar matematika itupun bukannya fokus dengan materi yang diberikan oleh gurunya di depan sana, namun malah memikirkan hal lain.
"Fan," tegur Digo yang menyadari kebengongan sahabatnya itu. Sontak, Adzfan pun mengalihkan pandangannya. "Kenapa?" tanyanya datar.
"Adzfan! Kamu bisa mengikuti pelajaran saya?" tanya Bu Henny dengan tegas.
"Bi-bisa, Bu" ucapnya gelagapan yang langsung membuka buku dan memperhatikan Bu Henny. Sedangkan Digo yang berada di sampingnya itupun hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.
Sampai pada akhirnya, bel pulang pun berbunyi. Membuat semua siswa dan siswi langsung berhamburan untuk keluar dari kelas mereka masing-masing.
Sama halnya dengan Adzfan. Bocah itu langsung saja beranjak dari kelasnya dan menuju gerbang sekolah. Di depan sana, ternyata Akhram sudah menunggunya. Langsung saja ia menghampiri mobilnya Akhram dan masuk ke dalam mobil tersebut.
"Gimana harinya?" tanya Akhram ramah.
"Biasa aja," ucapnya cuek.
"Oh iya, Ayah lupa bilang. Tadi Bunda kamu nelepon Ayah, dia bilang bahwa besok dia akan menikah dengan calon suaminya. Dia berharap Ayah dan kamu bisa hadir di acara itu," ucap Akhram yang fokus dengan jalanan.
"Bunda nikah?" ucap Adzfan menyerngit tak percaya.
"Iya," jawab Akhram simpel.
"Adzfan gak mau datang," ucapnya datar. Lalu, beralih untuk menatap jalanan yang saat ini mereka lalui.
"Kenapa?" tanya Akhram heran.
"Ayah dan bunda gak ada bedanya. Kalian sama-sama egois! Kalian gak mikirin hati Adzfan!" ucapnya begitu saja. Hingga akhirnya mereka pun sampai di halaman rumah. Langsung saja Adzfan turun dari mobilnya Akhram dan berlari begitu saja memasuki rumahnya.
Melihat kelakuan putranya itu, hanya mampu membuat Akhram menghela napasnya pasrah. Ini semua dia lakukan juga karena putranya itu, namun putranya sama sekali tidak mengerti dengan maksudnya.
Dirasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di dalam mobil, Akhram pun ikut untuk menyusul Adzfan ke dalam rumah.
"Di mana Adzfan?" tanyanya pada Zahra. Zahra yang ditanyai itupun langsung menjawab, "Barusan dia masuk ke kamar, Mas. Dia kenapa, Mas?" tanya Zahra khawatir.
"Huh ... seperti biasa," ucap Akhram seraya memijit pelipisnya.
"Ya sudah, lebih baik Mas istirahat dulu, biar aku yang coba bujuk, ya." Akhram pun langsung mengangguk dan beralih untuk pergi ke kamarnya guna mengistirahatkan tubuhnya.
Sesuai dengan perkataannya, Zahra langsung saja menuju kamarnya Adzfan.
"Aden!" panggilnya dengan lembut.
"Aden, boleh Bibi masuk?" tanyanya lagi, namun tetap saja tidak ada sahutan.
"Bibi masuk ya, Den." Lalu, Zahra pun membuka pintu kamar putra tirinya itu dan masuk ke dalam kamar yang bernuansa abu-abu tersebut. Di sana, Zahra melihat sosok Adzfan yang tengah terduduk di bawah kasur kamarnya dan dengan posisi membelakanginya.
"Den Adzfan, Aden kenapa?" tanya lembut, seraya menghampiri Adzfan.
Perlahan, Zahra pun ikut duduk di samping Adzfan dan menggerakkan tangannya untuk mengusap bahu Adzfan dengan lembut.
"Aden kenapa nangis?" tanyanya lagi. Namun, sama sekali tidak ditanggapi oleh Adzfan. Anak laki-laki itu masih saja menitikkan air matanya dengan tatapan marahnya.
"Aden, kalau ada apa-apa, Aden bisa cerita ke Bibi. Karena bagaimana pun, Aden udah seperti anak kandung Bibi sendiri," ucap Zahra lagi.
"Diam!" sentak Adzfan begitu saja dan langsung menjauhkan tubuhnya dari Zahra. Lagi-lagi dia menatap Zahra dengan marah.
"Lo gak akan pernah bisa jadi ibu bagi gue! Bagaimana pun, lo tetaplah wanita perusak rumah tangga keluarga, gue!" bentaknya begitu saja tanpa mengingat bahwa Zahra lebih tua darinya.
"Pergi!!!" sentaknya lagi yang menyadarkan Zahra yang terdiam akan perkataan dirinya.
"A-adzfan, se-sebegitu hinakah saya di mata kamu?" tanyanya dengan lirih dan air mata yang telah merembes deras.
"Iya! Lo adalah wanita yang paling hina di dunia ini! Gue bilang, pergi!" bentaknya sekali lagi. Dan pada akhirnya berhasil membuat Zahra memutuskan untuk meninggalkan kamar itu.
Untuk saat ini, Adzfan benar-benar telah kehilangan kendalinya sebagai seorang anak. Dia benar-benar marah dengan tindakan kedua orang tuanya. Menurutnya, kedua orang tuanya sama egois. Mereka hanya mementingkan kesenangan mereka saja, namun tidak memikirkan dirinya yang jelas terluka saat ini.
__________
Seorang anak hanya butuh kasih sayang dari orang tuanya. Mereka mungkin memang tidak terlalu butuh uang berlimpah yang orang tua mereka berikan, namun keberadaan orang tualah yang begitu diharapkan.
---cintaanak•rehi
KAMU SEDANG MEMBACA
Gata (END)
Teen Fiction"Abang, kembaliin bonekanya Adel!" "Gak!" "Abang! Kembaliin!" "Kalau gue gak mau gimana?" "Kembaliin, cepat!" "Gak! Gue gak akan kembaliin ini boneka! Dan ini juga bukan boneka lo lagi kan, jadi bukan lo yang seharusnya mengemis kaya gini." "Kalau a...