4. Teman Baru

94 9 0
                                    

-Sebenarnya sederhana saja, tetapi waktu memperpanjang segalanya.-

°°°

Saat ini, Arashi tengah berada di depan halaman rumahnya. Menatapi halaman rumah yang terlihat begitu asri untuk dipandangi. Seraya memeluk boneka beruangnya, Arashi terlihat sangat bosan dengan situasi saat ini. Sebab, tidak ada teman ataupun siapa pun yang menemaninya saat ini.

Zahra saat ini tengah pergi bersama dengan Akhram. Sedangkan Adzfan, anak itu tengah asik di dalam kamarnya bersama dengan Play Station. Maka, jadilah dia sendirian di sini.

Namun, beberapa menit kemudian, seorang gadis kecil yang sepertinya seumuran dengan Arashi lewat di depan rumahnya bersama dengan ibunya.

"Ma, itu siapa?" tanya gadis itu kepada ibunya.

"Em ... sepertinya anak tiri dari om Akhram, Sayang."

"Ooh ... Adel boleh ngajak dia main, Ma? Kasihan, dia kayanya gak punya teman."

"Yaudah, tapi jangan lama-lama, ya."

"Iya, Ma. Yaudah, Adel main sama dia dulu, ya. Bye, Mama!" Setelah itu, gadis kecil berambut kepang dua itupun berlari kecil ke arah di mana Arashi berada.

"Hai!" sapanya pada Arashi yang masih menatap bosan ke depan.

"Eh, h-hai!" timpal Arashi gugup.

"Kenalin, aku Adel!" ucap gadis kecil yang bernama Adel itu seraya mengulurkan tangannya dan tersenyum ramah kepada Arashi.

"Cici," timpal Arashi seraya membalas uluran tangan Adel dengan senyuman yang sedikit canggung.

"Anak tiri om Akhram, ya?" tanya Adel.

"E-em, iya."

"Ooh ... santai aja, gak usah gugup gitu. Oh iya, aku juga tinggal di dekat sini. Rumah aku, ada di sebelah. Kalau kamu mau main ke sana, main aja." Arashi yang mendengar itupun hanya bisa tersenyum kecut karenanya.

"Eh, bang Adzfan mana? Kan kamu adeknya sekarang, masa dibiarin sendirian di sini?" tanya Adel heran.

"Ada di dalam," jawab Arashi.

"Loh, kok malah ngebiarin kamu bosan kaya gini, sih."

"Gak pa-pa," timpal Arashi seraya tersenyum.

"Oh iya, Adel mau main sama aku, gak?" ajak Arashi ketika teringat sesuatu hal.

"Boleh," timpal Adel dengan senang hati.

"Yaudah, kita main di dalam, yuk!" Dan diangguki oleh Adel. Lalu, mereka berdua pun langsung memasuki rumah tersebut. Dan Arashi pun mengajak Adel untuk bermain boneka bersamanya di ruang tamu.

Lama setelah mereka bermain, tiba-tiba saja Adzfan keluar dari kamarnya. Dia menatap ke arah ruang tamu yang saat ini tengah dihiasi oleh tawaan Arashi dan Adel. Melihat itu, Adzfan jadi memikirkan sesuatu hal, sehingga membuat anak itu tersenyum licik menatap mereka berdua.

"E-eh?" terkejut Arashi di saat dia melihat Adzfan menendang-nendang boneka milik Arashi.

"Abang!" teriak Arashi tidak terima. Sedangkan Adzfan, anak itu seolah-olah tidak peduli dengan teriakan Arashi.

"Ih ... Abang! Itu punya Cici! Jangan ditendang kaya gitu! Nanti boneka Cici bisa kotor. Abang! Berhenti!" teriak Arashi lagi yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Adzfan. Dan gadis itu terus saja berusaha merebut bonekanya, namun tidak berhasil.

Sedangkan Adel, gadis itu hanya mampu terpaku malu-malu menatap Adzfan yang saat ini tengah menganggu permainan mereka.

"Abang! Cici bilang berhenti!"

"Abang, berhenti!"

"Berhenti, Abang!"

"Abang!!!" Dan pada akhirnya, Adzfan pun menghentikan aktivitasnya, namun langsung menangkap boneka yang tadi dia tendang ke arah atas.

"Kenapa? Lo gak suka?" tanya Adzfan dengan seringainya.

"Ya-iyalah Cici gak suka, Abang udah ganggu waktu main Cici. Dan Abang juga udah buat boneka Cici kotor!" bentak Arashi dengan tidak terima.

"Why? Terus bagaimana dengan kehidupan gue yang selama ini diganggu oleh ibu lo itu, ha?" bentak balik Adzfan seraya mendorong tubuh kecil Arashi. Dan untung saja Arashi mampu menyeimbangi tubuhnya, jadi dia tidak terjatuh ke lantai.

"Bunda bukan pengganggu!" bentak Arashi yang saat ini sudah mulai menitikkan air matanya.

Melihat gadis kecil itu yang saat ini sudah menangis, membuat Adzfan sedikit merasa sakit pada dadanya. Dengan begitu, dia langsung saja melemparkan boneka Arashi ke sembarang arah dan meninggalkan gadis itu, tanpa peduli seperti apa keadaan Arashi saat ini.

Berbeda dengan Arashi, Adel yang sedari tadi menatapi Adzfan, sampai saat ini tak kunjung beralih dari pandangannya terhadap Adzfan yang keluar dari rumahnya itu. Dia masih saja terpaku dengan Adzfan dan tidak mempedulikan Arashi yang saat ini terluka.

"Adel, sepertinya kita lanjut besok saja. Cici pengen istirahat sekarang," ucapnya. Lalu, mengemasi boneka-bonekanya itu dan meninggalkan Adel sendirian di ruang tamu itu.

Menyadari hanya dirinya yang saat ini tinggal di sini, membuat Adel akhirnya memutuskan diri untuk pulang saja ke rumahnya, tanpa berpamitan sedikit pun.

Di kamarnya, Arashi terus saja menangis. Dia benar-benar sedih. Bukan, bukan sedih dengan sikap Adzfan terhadap dirinya. Namun, ini karena bagaimana Adzfan menganggap ibunya yang selalu menjadi penganggu dan perusak keluarga kakak tirinya itu.

Arashi yakin, ini semua bukan karena ibunya, tetapi memang sudah menjadi takdir jika semuanya berakhir seperti ini. Arashi benar-benar tidak kuat kalau perihal ibunya yang dicaci dan difitnah seperti itu. Tapi, dia juga tidak tega dengan Adzfan yang terlihat terluka dengan ini semua. Ingin sekali rasanya Arashi bisa menjadi seorang adik di mata Adzfan. Tapi, Adzfan seolah-olah menganggapnya bagaikan orang asing yang tidak diundang.

"Abang, Abang kapan bisa nerima Cici. Cici juga pengen bisa jadi adik Abang. Cici gak ingin lihat Abang kaya gini. Bunda bilang, Abang itu orangnya baik. Tapi, kenapa Abang gak mau anggap Cici ada?" isaknya seraya memeluk boneka beruang miliknya.

"Tapi, Cici janji sama Abang! Cici bakalan buat Abang sayang, Cici! Dan Cici gak bakalan biarin Abang terluka lagi. Cici janji, Bang!" ucapnya tiba-tiba bersemangat. Dan tak lama kemudian, sebuah senyuman pun terbit di wajah cantik gadis itu. Membuat siapapun yang melihatnya akan merasa gemas dengan pemandangan ini.

Gata (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang