9. Pelukan

72 6 0
                                    

-Cinta seseorang itu akan terlihat apabila dia khawatir. Akankah acuh atau malah sebaliknya.-

°°°

Waktu pun semakin berlalu. Sejak kejadian sore tadi, Adzfan tak pernah keluar dari kamarnya. Dia mengunci dirinya sendiri di dalam kamar. Hingga membuat Zahra dan Akhram merasa khawatir dengan anak lelaki itu.

"Adzfan, kamu kenapa, Nak? Ayo, makan! Bunda Zahra sudah menyiapkan ayam kesukaan kamu. Buka pintunya, Adzfan!" ucap Akhram dari luar kamarnya.

"Adzfan!" panggilnya sekali lagi karena tidak mendapatkan respon dari siapapun.

"Mas," lirih Zahra mencoba untuk menenangkan Akhram. Akhram yang ditenangkan itupun hanya mampu menghembuskan napasnya pasrah. Anak laki-lakinya ini memang sulit untuk ditebak dan dinasehati.

"Ayah tunggu kamu di bawah," ucapnya pada akhirnya, sebelum Akhram benar-benar meninggalkan pintu kamar anaknya itu.

Adzfan yang sedari tadi mendengar panggilan dan perkataan ayahnya di kamar itupun hanya bisa bermenung dan berdiam diri di atas kasur kamarnya dengan bertumpuan bantal.

"Bunda, Adzfan kangen! Bunda sekarang di mana? Kenapa Bunda gak temui Adzfan lagi?" ucapnya dengan sendu.

Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya Adzfan pun bangkit dari duduknya. Lalu, keluar dari kamarnya itu dan berniat untuk turun ke bawah guna melaksanakan makan malam.

"Adzfan," panggil Akhram di saat menyadari kehadiran putranya itu.

Adzfan yang dipanggil itupun hanya bersikap acuh. Namun, selang beberapa detik terlihat seperti mencari seseorang.

"Ada apa, Den?" tanya Zahra dengan heran.

"Cici?" ucapnya terlihat tengah bertanya.

Zahra yang paham dengan perkataan Adzfan pun langsung tersenyum. "Cici sedang istirahat di kamar," ucap Zahra dengan lembutnya.

Adzfan yang mendengar itupun langsung bangkit dan meninggalkan kursi meja makannya. Dan berlari menuju lantai atas kembali.

"Adzfan, mau ke mana kamu?" tanya Akhram yang lagi-lagi dibuat heran dengan tindakan Adzfan. Adzfan yang dipanggil itupun sama sekali tidak menjawab pertanyaan ayahnya.

Tok ... tok ... tok ...

"Ci," panggilnya dari balik pintu kamar Arashi.

Arashi yang baru saja ingin memejamkan matanya itupun kembali terbangun, ketika mendengar panggilan seseorang dari luar kamarnya.

"Masuk aja, pintunya gak Cici kunci," ucapnya yang masih berbaring di atas kasur.

Adzfan langsung saja membuka pintu kamar Arashi dengan sangat pelannya. Dan pada akhirnya, dia pun melihat Arashi yang saat itu tengah berbaring di atas kasurnya.

"Eh, Abang. Ada apa, Bang? Oh iya, Cici lupa ngasihin buku Abang. Bentar, ya!" ucap Arashi tanpa jeda dan langsung saja bangun dari tidurnya itu dengan bersusah payah, sebab perih dari lukanya belum hilang.

"Bukan," ucap Adzfan menghentikan langkah payah Arashi.

"Terus?" tanya Arashi dengan heran.

"Maafin gue, Ci." Sontak, Arashi pun membulatkan matanya mendengar kata-kata yang Adzfan keluarkan barusan.

"Gara-gara gue lo kaya gini. Gue akui, gue udah salah bersikap sama lo. Gue udah jahat banget sama lo. Padahal, lo sayang banget sama gue. Maafin gue, ya."

Seketika, Arashi mencubit lengannya sendiri. "Aw!!!" jeritnya kesakitan. Namun, semburat bahagia pun langsung timbul pada wajahnya.

"Boleh?" tanyanya pada Adzfan dengan merentangkan kedua tangannya ke arah Adzfan. Adzfan yang seolah mengerti itupun langsung menghampiri Arashi dan memberikan dekapan hangat pada gadis kecil itu.

"Cici sayang Abang. Jadi, Cici gak akan biarin Abang terluka. Karena Abang adalah orang yang mengingatkan Cici dengan Ayah. Cici kangen Ayah dan Cici gak mau kehilangan Abang yang sangat mirip dengan Ayah." Di saat mengatakan itu, tanpa diminta, air mata Arashi menetes begitu saja, hingga membasahi baju yang dipakai oleh Adzfan.

"Apa yang buat gue mirip dengan ayah lo?" tanya Adzfan seraya mengusap lembut punggung adik tirinya itu.

"Mata Abang, gaya berbicara Abang, dan gaya hidup Abang. Cici ingat, bagaimana waktu terakhir kali ayah peluk Cici sama seperti Abang peluk Cici sekarang. Cici kangen Ayah, Bang." Tangisan Arashi pun semakin pecah, membuat Adzfan merasa tidak tega lagi untuk bertanya padanya.

"Udah, jangan nangis. Sekarang gue adalah Abang lo. Gue bakalan jaga lo. Dan lo hanya boleh dekat-dekat dengan gue tidak dengan laki-laki lain. Karena gue gak mau lo terluka karena seorang laki-laki brengsek. Udah, ya. Sekarang lo tidur lagi, supaya luka lo bisa cepat sembuh."

Arashi pun tersenyum. Dia bahagia kali ini. Pada akhirnya, Adzfan bersikap manis padanya. Dan usahanya selama ini tidaklah sia-sia.

"Abang temanin, ya!" pintanya.

"Yaudah, tapi lo harus tidur. Gak boleh nangis lagi."

"Iya," jawabnya seraya tersenyum manis. Dan akhirnya, Adzfan pun membawa Arashi untuk kembali ke kasurnya dan menemani gadis itu di sana sampai Arashi benar-benar terlelap di dalam mimpinya.

...

Pagi ini, Adzfan telah siap dengan seragam sekolahnya. Langsung saja dia turun ke lantai bawah untuk melaksanakan sarapannya. Sama seperti semalam, hanya ada Akhram dan Zahra di meja makan itu.

Untuk pagi ini, acara sarapan berjalan dengan lancar. Hingga akhirnya Akhram memutuskan untuk berangkat sekarang juga. "Adzfan, ayo!" ajak Akhram.

"Sebentar," ucapnya yang langsung bangkit dan berlari dari meja makan menuju lantai atas.

"Kenapa, Nak?" tanya Akhram heran. Namun, Adzfan sama sekali tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya.

Sampai pada akhirnya, dia pun sampai di depan kamarnya Arashi.

"Ci," panggilnya pelan. Gadis yang tengah duduk bersandar pada kepala kasur itupun menoleh.

"Bang Afan? Ada apa?" tanyanya heran.

"Buku gue semalam di mana?" tanyanya lembut.

"Oh itu, bentar!" ucapnya hendak ingin bangkit dari posisinya.

"Eh, enggak! Lo di sana aja, biar gue yang ambil. Lo tinggal bilang tempatnya," cegah Adzfan dengan mempertegas ucapannya.

"Yaudah. Abang lihat di atas meja belajar Cici. Di sana ada buku tebal banget, gak?" titahnya yang langsung membuat Adzfan melangkahkan kakinya menuju meja belajar milik Arashi.

"Iya, terus?" tanya Adzfan.

"Nah, Abang angkat itu, di bawah buku hijau itu ada buku Abang," ucapnya sekali lagi.

"Oke, makasih."

"Iya Abang. Oh iya, Abang udah mau berangkat?" tanyanya yang tak pernah luput dari senyuman.

"Iya. Gue pergi dulu, ya. Lo baik-baik di rumah dan jangan bangun dari atas kasur kalau lo gak ada kepentingan banget. Paham?!" tegas Adzfan. Dan itu lulus membuat Arashi tersenyum begitu bahagia. Ternyata Adzfan adalah tipe orang yang begitu perhatian, ya walaupun terkadang terkesan memaksa bagi siapapun, namun itu semua adalah demi kebaikan Arashi sendiri.

"Iya, Abang. Yaudah, Abang yang rajin belajarnya dan jangan khawatirin Cici. Semangat Abang!" ucapnya menyemangati dan hanya ditanggapi acungan jempol oleh Adzfan. Dan dia pun langsung saja pergi dari sana setelah memasukkan bukunya tadi ke dalam tasnya.

Gata (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang