-Ingatlah, memaafkan lebih indah daripada harus bergelayut akan amarah.-
°°°
Waktu semakin berlalu. Hingga akhirnya, malam haru pun hadir. Dan saat ini keluarga kecil itu tengah menikmati makan malam mereka. Namun, ada yang kurang untuk saat ini.
"Bunda," panggil Arashi kepada Zahra yang sedang menyuap nasi.
"Iya?" jawab Zahra lembut.
"Abang?" tanyanya dengan heran.
"Di kamarnya," jawab Zahra singkat. Lalu, kembali menikmati makan malamnya.
"Bunda," panggil Arashi lagi merasa ada yang aneh.
"Kenapa Sayang?" tanya Akhram dengan lembut, mengganti Zahra yang saat ini berada dalam kondisi tidak baik-baik saja. Ya, dia sudah tahu semuanya semenjak tadi siang. Oleh karena itu, sedari pulang menjemput Adzfan tadi, Akhram tidak kembali ke kantornya.
Zahra sudah menceritakan semuanya kepada Akhram dan itupun dengan paksaan Akhram sebelumnya. Jujur saja, Akhram merasa sangat bersalah pada wanita itu saat ini.
"Ayah, ada apa? Abang kenapa?" tanya Arashi dengan raut khawatirnya.
"Tidak apa-apa, Sayang" alibi Akhram yang hanya tidak ingin membuat Arashi khawatir. Arashi yang merasa ada kebohongan, langsung saja bangkit dari duduknya dan berlalu dari meja makan itu dan menuju kamarnya Adzfan.
"Rashi, mau ke mana kamu, Nak?" tanya Akhram dengan heran. Dan begitu juga dengan Zahra.
"Cici mau ketemu abang. Abang pasti butuh Cici," ucapnya yang langsung saja berlari sebelum kedua orang tuanya itu menghentikan dirinya.
"Abang," panggilnya seraya menggedor-gedor pintu kamar Adzfan.
"Abang, bukain pintunya! Cici pengen ketemu Abang!" ucapnya yang terus menggedor-gedor pintu kamar Adzfan itu.
"Abang! Abang udah janji sama Cici, kan? Abang, bukain ya!" ucapnya yang tidak menyerah sama sekali. Sampai pada akhirnya suara pintu terbuka pun terdengar.
Ceklek.
"Abang," ucapnya yang langsung saja masuk ke dalam pelukan Adzfan.
Adzfan yang mendapatkan pelukan dadakan itupun langsung terkejut. Dengan mata sembabnya, dia pun melepaskan pelukan itu. Lalu, membawa Arashi masuk ke dalam kamarnya.
"Abang, Abang kenapa? Ada masalah apa? Kenapa bisa kaya gini?" tanya Arashi bertubi-tubi. Namun, sejenak berhasil membuat Adzfan terkekeh kecil mendengarkan celotehan gadis itu.
"Lo kalau nanya gak bisa satu-satu, apa?" tanyanya seraya mengusap sudut matanya.
"Enggak, soalnya Cici khawatir," jawabnya polos. Mendengar jawaban itu, spontan membuat Adzfan langsung mencubit pipi tembem adiknya itu.
"Gue gak pa-pa, lo gak perlu khawatir," alibinya dengan tersenyum simpul.
"Abang gak bisa bohong. Kenapa harus bohong? Tadi Ayah juga bohong sama Cici," ucapnya dengan kecewa.
"Gak pa-pa. Oh iya, gimana luka lo?" tanyanya mengalihkan.
"Abang, jangan ngalihin pembicaraan," ucapnya tidak setuju.
"Terus besok lo mau masuk sekolah?" tanya lagi mengalihkan pembicaraan.
"Abang!" kesal Arashi. Adzfan yang paham dengan perasaan Arashi pun akhirnya memeluk gadis itu dari samping.
"Maaf, ya. Tapi, gue gak pa-pa, kok. Lo selalu ada buat gue aja, udah buat gue merasa agak nyaman. Seolah-olah, gue memiliki sebuah alasan untuk bisa sabar," ucapnya yang masih memeluk Arashi.
"Abang, Cici sayang Abang. Dan Cici gak mau Abang sampai kenapa-kenapa. Kalau ada apa-apa, Abang cerita aja sama Cici, siapa tahu dengan Abang cerita dengan Cici semuanya bisa terasa lega," ucap Arashi dengan tulusnya.
"Makasih, Ci." Pelukan itupun terlepas.
"Udah, Abang gak boleh nangis lagi. Cengeng ih, masa cowok nangis," ejeknya yang diakhiri akan kekehan mereka.
Tanpa sepengetahuan mereka, ternyata di balik pintu kamarnya Adzfan, Zahra dan Akhram mengintip di balik pintu kamar itu. Ada sedikit rasa lega dan bahagia di dalam hati mereka, ketika melihat sosok Akhram mampu luluh dengan kehadiran Arashi.
"Anakmu hebat, Zahra" puji Akhram dengan senang hati.
"Alhamdulillah," ucapnya bersyukur. "Bunda harap, kamu bisa mengembalikan sosok Adzfan seperti sebelumnya Ci," lirihnya di dalam hati dan tak lupa dengan senyuman yang terukir.
...
"Jagain adek kamu Adzfan," ucap Akhram mengingatkan putranya. Adzfan yang diingatkan itupun hanya diam dan pergi begitu saja tanpa pamit, berbeda dengan Arashi yang sebelumnya sudah berpamitan dan sekarang melambaikan tangannya ke arah Akhram.
"Ingat pesan gue, kan?" tanya Adzfan yang saat ini berjalan di samping Arashi.
"Iya, Abangnya Cici."
"Coba ulangi apa yang gue katakan?" ucapnya.
"Cici gak boleh dekat-dekat dengan siapapun. Cici harus terus berada dalam kawasan Bang Afan, terutama saat istirahat dan pulang sekolah. Dan kalau ada yang jahatin Cici langsung bilang ke Bang Afan," ucap Arashi seraya menirukan gaya bicara Adzfan padanya semalam.
"Pintar. Sudah, sana masuk!" usirnya begitu saja.
"Iya, Abang."
Arashi langsung saja memasuki kelasnya dan berjalan menuju tempat duduknya yang sebelumnya duduk bersama Adel. Namun, baru saja dia akan meletakkan tasnya, sebuah tas sudah dulu dilemparkan oleh seseorang ke kursi yang ingin Arashi tempati.
"Eh," sentaknya kaget.
"Ini tempat duduk gue. Kalau lo mau duduk, duduk di pojokan sana," ucap siswi yang baru saja melemparkan tasnya tadi. Dan itu langsung saja mendapatkan tertawaan dari semua orang.
Tanpa mempedulikan mereka semua, Arashi langsung saja duduk di pojokan kelas. Lebih tepatnya pada meja yang terlihat banyak debu. Dan bahkan, kursi yang ada di saja pun seperti sudah rapuh untuk ditempati.
Melihat kelakuan dari teman-teman sekelasnya ini, ntah mengapa membuat Arashi merasa ada yang aneh saat ini. "Apa yang sudah terjadi sebenarnya?" monolognya dengan heran, seraya menatap keseluruhan teman-temannya yang seolah-olah menatapnya dengan aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gata (END)
Teen Fiction"Abang, kembaliin bonekanya Adel!" "Gak!" "Abang! Kembaliin!" "Kalau gue gak mau gimana?" "Kembaliin, cepat!" "Gak! Gue gak akan kembaliin ini boneka! Dan ini juga bukan boneka lo lagi kan, jadi bukan lo yang seharusnya mengemis kaya gini." "Kalau a...