-Kadang, bukan takdir yang jahat. Tapi, tentang bagaimana takdir itu sudah dituliskan.-
°°°
Saat ini Adzfan benar-benar kehilangan harapannya. Apalagi melihat Arashi yang semakin tidak berdaya tadinya.
Dan sekarang, di sinilah dirinya bersama dengan Zahra dan Akhram yang baru saja datang.
Zahra yang mengetahui jika putrinya terjatuh dari gedung kelas 10 langsung saja menjadi syok. Namun, untung saja Akhram bisa menenangkannya.
Namun, tidak dengan Adzfan yang sejak tadi malah mutar-mutar tidak jelas di depan pintu ruangan UGD bersamaan dengan tetesan air mata yang begitu mendesak untuk keluar.
Tak lama kemudian, pintu ruangan itupun terbuka. Menampilkan sosok dokter dengan raut yang sangat sulit untuk di deskripsikan saat ini.
"Bagaimana, Dok?" tanya Adzfan to the point.
Dokter itupun menggeleng pelan. Menandakan jika dunia Adzfan telah berhenti untuk saat ini.
Melihat respon dokter itu, membuat Adzfan seketika terpaku. Badannya tiba-tiba saja tidak dapat digerakkan, selain terasa lemas begitu saja. Sampai pada akhirnya, tubuh tegap itupun luruh begitu saja.
"Gak, ini gak mungkin!" tolaknya dengan tidak yakin.
"Mas?" lirih Zahra yang saat ini berada di dalam dekapan Akhram yang sama terkejutnya.
"Katakan ini gak benar," ucapnya seraya mulai menitikkan air mata.
"Zahra, kamu harus kuat!" ucap Akhram yang kembali menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.
"Gak! Lo gak boleh pergi, Ci! Gak boleh!" ucap Adzfan yang seketika membabi dan menerobos untuk masuk begitu saja. Diikuti oleh Zahra yang sama halnya dengan Adzfan.
Sesampainya di dalam, mereka langsung saja menghampiri tubuh kaku Arashi yang sudah tertutupi oleh kain putih.
"Ci-ci," lirih Adzfan begitu tidak sanggup untuk melihat adiknya itu. Kondisi tubuh yang telah siap untuk dikembalikan ke perut bumi kini harus bisa dia ikhlaskan. Namun, sampai kapan pun, itu akan sangat menyiksanya.
"Bercandaan lo gak lucu," lirihnya lagi seraya menahan isakan.
"Lo tega banget, Ci!"
"Lo gak sayang gue lagi, ya?"
"Kenapa lo malah ninggalin gue sendirian?"
"Lo jahat Ci, lo jahat!" histerisnya yang perlahan-lahan mulai memeluk tubuh kaku itu. Beda halnya dengan Zahra yang saat ini benar-benar tidak mampu untuk menatap jasad putri kecilnya itu.
...
Pemakaman Arashi telah berlangsung. Namun, tidak dengan keterlukaan yang berbekas pada hati Adzfan.
Dia benar-benar kecewa dengan keadaan. Kenapa takdir begitu jahat padanya. Sampai-sampai dia tidak pernah dibiarkan untuk merasakan kebahagiaan lebih lama.
"Ci, kalau lo pergi gini, terus gue cerita sama siapa lagi, Ci?" ucapnya seraya mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Arashi Putria Azzahra itu.
"Lo gak takut apa, gue tinggalin sendirian di sini?" tanyanya lagi seraya terkekeh geli sendiri. Namun, tidak dengan air mata yang terus saja mengalir.
"Kita pulang lagi yuk, Ci! Gue janji, gue bakalan beliin lo es krim yang banyak. Dan gue gak akan larang-larang lo lagi buat mainin handphone gue."
"Ayo, Ci! Gue kangen peluk lo lagi!" lirihnya yang setelah itu mencium batu nisan itu dengan penuh kasih sayang. Seolah-olah, dia tengah memberikan kecupan hangat pada Arashi secara langsung.
"Aden, kita pulang sekarang, ya! Kasihan Arashi kalau kita tetap di sini, apalagi kalau liat Aden kaya gini," hibur Zahra yang sebenarnya juga tidak bisa mengikhlaskan kepergian putrinya itu.
"Kalian duluan aja, gue masih mau di sini. Cici pengen ditemani gue. Dia gak mau gue pergi," ucapnya begitu saja yang membuat semua orang di sana langsung merasa kasihan dengan kondisi Adzfan saat ini.
"Adzfan, anak pemberaninya Ayah. Kita pulang dulu, ya. Nanti, kita ke sini lagi," bujuk Akhram. Namun, langsung ditepis oleh Adzfan.
"Adzfan masih mau di sini, Yah!" jawabnya yang masih setia untuk memeluk batu nisan itu.
"Aden, Aden pasti ingat apa yang pernah Cici bilang dulu, bukan?" tanya Zahra seraya berusaha menahan tangisnya di depan Adzfan.
"Abang, jika seandainya suatu saat nanti nasib Cici sama kaya ayah. Cici minta Abang jangan pernah lama-lama dikuburan Cici, ya. Apalagi sampai nangis terisak-isak, karena itu akan nyiksa Cici nanti, Bang. Cici sayang Abang. Dan Cici gak mau lihat Abang sedih," jelas gadis kecil itu di dalam dekapan Adzfan yang tengah sibuk bermain play station.
"Ayo, Den! Kita pulang sekarang, ya?" bujuk Zahra lagi. Dan baru kali ini, akhirnya Adzfan menuruti perkataan Zahra. Bahkan, tidak ada penolakan sedikit pun di saat Zahra merangkulnya di saat pergi dari pemakaman Arashi tersebut.
"Gue pulang dulu, Ci" lirihnya di dalam hati, seraya menatap sekilas pemakaman Arashi, lalu memasuki mobil milik Akhram.
...
Ketika tiba di rumah, Adzfan langsung saja memasuki kamarnya, tanpa berkumpul terlebih dahulu bersama dengan keluarganya yang hadir di pemakaman Arashi.
"Adzfan, kamu mau ke mana, Nak?" tanya Akhram pada putranya itu.
"Ke kamar," jawabnya singkat tanpa menghentikan langkahnya.
Sesampainya di kamar, Adzfan langsung saja membaringkan tubuhnya di atas kasur. Lalu, menyambar sebuah bingkai foto yang berada di atas nakas kamarnya.
Menatapi bingkai foto tersebut, dan mengamati setiap inci wajah sosok gadis yang baru saja telah dikembalikan ke bumi-Nya Allah.
"Ci, lo baik-baik aja kan, di sana?" lirihnya seraya mengusap lembut bingkai foto itu dan sesekali mengecupnya.
"Gue pengen nemanin lo di sana, Ci. Karena gue gak mau lo ketakutan. Gue tau lo itu takut kegelapan, kan? Dan gue yakin, di sana pasti gelap banget. Dan lo juga pasti bakalan ketakutan dengan itu," ucapnya lagi.
"Ci, lo ingat gak, dulu gue pernah bilang. Kalau apa yang terjadi pada lo, itu juga harus terjadi pada gue, kan? Nah, gue juga pengen itu terjadi, Ci. Lo bujuk malaikat mautnya ya, biar gue bisa temanin lo di sana."
"Dan jujur, gue sebenarnya gak bisa ikhlas dengan ini. Tapi, gue gak bisa juga marah-marah karena lo pergi duluan. Dan cuma satu aja yang harus lo lakuin supaya gue bisa bertahan gK marah-marah. Lo harus bawa gue juga, Ci. Lo tau sendiri kan, kalau gue gak bisa tanpa lo. Gue sangat butuh lo di samping gue. Terus, kalau lo pergi, gue sama siapa? Dan gue gak bisa curhat lagi berarti, Ci." ucapnya yang diakhiri dengan tetesan air mata lagi. Sampai pada akhirnya, matanya sayup-sayup tertutup. Menutup akhir dan usai hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gata (END)
Teen Fiction"Abang, kembaliin bonekanya Adel!" "Gak!" "Abang! Kembaliin!" "Kalau gue gak mau gimana?" "Kembaliin, cepat!" "Gak! Gue gak akan kembaliin ini boneka! Dan ini juga bukan boneka lo lagi kan, jadi bukan lo yang seharusnya mengemis kaya gini." "Kalau a...