47. Baikan {REVISI}

356 35 1
                                    

Malam ini cuaca begitu dingin. Gemericik air hujan masih terdengar di luar sana. Dua anak manusia dalam sebuah ruangan masih terpaku satu sama lain.

Haura yang sudah bergemul dalam selimut tatapannya fokus pada Arzan yang tengah duduk di tepi ranjang.

Kedua mata itu saling bertemu saat Arzan turut serta menatap matanya. Haura langsung memutus kontak mata itu secara sepihak lalu memiringkan tubuhnya ke arah kanan.

Arzan menghebuskan nafasnya. Ia tak bisa seperti ini terus. Di diamkan oleh Haura lebih menyakitkan dari apapun itu.

Arzan beranjak naik ke tempat tidur. Tubuhnya ia senderkan pada penyangga tempat tidur. Tangannya perlahan mengelus puncak kepala sang istri.

Haura yang merasakan hanya bisa memejamkan mata. Sesak itu kini menjadi kembali. Rasa bersalah karena meninggikan suara tadi di hadapan  Arzan juga semakin menjadi tapi sayangnya egonya lebih tinggi dari segala hal yang terjadi.

“Ra, maafin saya,”ucap Arzan. Entah sudah berapa kali Haura mendengar kalimat itu terucap dari mulut suaminya.

“Jangan diamin saya kaya gini, sayang. Diam kamu lebih menyakitkan dari apapun,”ucap Arzan lagi

“Pukul saya kalau kamu mau, tampar saya kalau itu bisa ngeluapin semua emosi kamu, but please don't silence me, Ra.”

Haura tak bisa seperti ini. Sejujurnya ia pun tak tega mendiamkan Arzan. Semua tak akan selesai jika ego tak di turunkan.

Haura bangkit dari tidurnya lalu ia langsung memeluk tubuh kekar suaminya. Menghirup wangi tubuh itu yang sudah lama tak ia temukan wanginya.

Haura menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Arzan. Biar lah semua berkata jika Haura perempuan lemah tapi memang ini lah sifatnya.

Hei, kenapa nangis lagi?”tanya Arzan. Arzan memegang bahu Haura, menghadapkan wajah istrinya ke arahnya.

Arzan menangkup wajah Haura lalu mengusap air mata yang jatuh dengan ibu jari miliknya.

“Haura minta maaf,kak,”ucap Haura dengan suara parau. “Maafin Haura karena meninggikan suara Haura di depan kakak. Haura takut menjadi istri yang durhaka kepada suami,” ucap Haura air matanya terus saja meleleh membasahi pipinya.

Arzan begitu takjub pada istrinya. Allah begitu baik padanya memberikan Haura sebagai pelengkap agamanya. Terima kasih Ya Rabb.

Haura betul-betul tak tenang setelah ia meninggikan suara tadi pada Arzan. Haura terus teringat dengan sebuah ceramah yang pernah ia dengar.

"Apa hukum wanita yang meninggikan suaranya kepada suaminya dalam kehidupan suami istri?," seorang perempuan bertanya pada saat sesi pertanyaan di buka.

Ustadz tersebut menjawab bahwa  asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah pernah berkata,

"Kami katakan kepada wanita ini bahwa meninggikan suara kepada suaminya termasuk ADAB YANG JELEK.

Seorang wanita seharusnya memuliakan suaminya karena suami adalah penanggungjawabnya, pemimpinnya.

Oleh karena itu, hendaknya dia memuliakan sang suami dan berbicara kepadanya dengan adab. Hal ini bisa merukunkan keduanya dan melanggengkan pergaulan antara keduanya.

“Saya memaafkan mu, Ra. Istri saya bukan istri yang durhaka, istri saya ini istri yang sholehah, Insyaallah,”ucap Arzan sembari tersenyum simpul.

“Maafin saya juga ya Ra, maaf atas semua kesalahan saya,”ucap Arzan. Tatapannya begitu dalam pada Haura.

Mengagumimu Dalam Diam {TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang