26. Gugup

448 80 4
                                    

"Gugup?" tanya Valent pada Auris yang duduk di sebelahnya. Saat ini, keduanya sedang duduk menunggu giliran mereka untuk naik ke arena.

Mendengar pertanyaan Valent, Auris menggelengkan kepalanya dengan ekspresi kosong. Namun setelah beberapa saat, ia mengangguk, membuat Valent tertawa kecil. Baiklah, Aurisnya selalu bisa membuatnya tertawa sendiri.

"Jadi, apakah gugup atau tidak?" tanya Valent lagi sembari menahan tawanya.

"Lumayan," jawab Auris singkat.

Bagaimanapun juga, ia takut kalau ia tidak sengaja membongkar penyamarannya selama bertarung nanti. Berkat pikirannya yang dipenuhi oleh kecemasan itu, dia tidak menyadari bahwa mantan seniornya itu tengah menahan tawa atas kelakuannya yang ragu-ragu saat ini.

"Tenang saja," ucap Valent sambil menepuk pelan kepala Auris untuk menenangkannya.

"Kalau ragu, serahkan saja padaku, oke?" ucapnya kemudian mengacak pelan surai hitam pendek milik Auris.

"Aku tahu," jawab Auris sambil menatap Valent. "Jadi, berhentilah mengacak rambutku, Kak!" lanjutnya kemudian.

Valent tertawa kecil saat melihat raut muka Auris yang kesal. Setelah mengacak rambut gadis yang sedang menyamar menjadi seorang pemuda itu untuk beberapa saat, ia akhirnya berhenti mengacaknya. Tapi, sungguh. Sangat sulit bagi Valent untuk menghentikan dirinya agar tidak mengacak surai hitam itu. Mau Auris dengan penampilan aslinya ataupun dalam samarannya, rambutnya selalu sangat lembut.

Auris sendiri memukul punggung tangan seseorang tertentu yang selalu mengacak rambutnya. Walaupun ia menampilkan raut muka kesal, namun dalam hatinya ia lega. Bagaimanapun juga, berkat Valent, kegugupannya sudah banyak berkurang. Sekarang, semua yang harus ia lakukan nanti hanyalah lebih berhati-hati dan awas terhadap sekitar.

Auris bahkan mulai meragukan kalau Valent mengganggunya dengan sengaja. Tentu ini hanya pikirannya sendiri.

Waktu berlalu selama mereka menunggu nama mereka dipanggil. Setelah sekian lama, Auris akhirnya mulai bosan dam berhasil keluar dari tumpukan rasa cemas yang sempat membuatnya tenggelam. Valent yang menyadari perubahan suasana hati Auris hanya tersenyum diam-diam. Masih sama, Aurisnya masih sama seperti gadis yang ia kenal. Valent bersyukur bintang kecilnya tidak berubah banyak.

"Kak, menurutmu, apa aku harus menemui Helen setelah ini?" tanya Auris tiba-tiba. Ia sudah memikirkan hal ini beberapa kali sejak keluar dari unit kesehatan saat itu.

"Itu terserah padamu saja," jawab Valent. Ia menatap arena di depannya dengan tangan terlipat di dada. Sesekali, pemuda itu akan melirik kesampingkannya, memperhatikan Auris yang kini duduk dengan kedua kaki bertumpuk satu sama lain, sementara kepalanya bertumpu pada telapak tangan kanannya yang ditopang oleh tangan kiri yang terletak di atas kakinya.

"Kupikir, aku tidak akan menemukannya untuk saat ini," gumam Auris.

Valent tersenyum. "Apapun keputusanmu, kamu bisa melakukannya. Tidak perlu ragu," ucapnya.

"Mhm."

Sementara kedua orang itu menghabiskan waktu dengan tenang, di sudut yang tidak diketahui oleh keduanya, enam pasang mata memperhatikan keduanya dengan mata terbelalak. Baiklah, saat diskusi mereka mungkin tidak terlalu merasakannya. Tapi sekarang? Bukankah ini terlalu jelas??

"Aku akhirnya yakin kalau Xafier dan Val sudah saling kenal sejak lama," ucap Louis. Keinginannya untuk bergosip saat ini tengah berkobar dan disambut oleh seseorang dengan senang hati.

"Mhm, mhm, aku setuju! Apa mereka teman masa kecil?? Atau apa mereka saudara sepupu?? Atau, atau, mereka--"

"Stop sampai di sana! Jangan lanjutkan!" kecam Grace memotong imajinasi Shia.

Serius deh, ada apa sih dengan temannya yang satu itu? Imajinasinya sangat kaya. Ia bahkan memiliki imajinasi kalau guru sejarah mereka sebenarnya bukan manusia, tapi jiwa yang tersesat ribuan tahun yang lalu mengingat bagaimana guru sejarah itu sangat mengenal sejarah. Tentu, Grace mengacuhkannya detik itu juga.

Jika ada yang bertanya pada Grace tentang profesi yang cocok untuk Shia, gadis itu dengan senang hati akan menjawab penulis.

"Tehe~"

Helen memutar bola mata jengah. Apa sih yang dipikirkan oleh kedua orang ini? Ada-ada saja mereka. Untung saja Rael dan Sean tidak ikut-ikutan. Tapi segera, Helen dibuat speechless dengan pikirannya. Ah, dia berharap terlalu jauh ternyata. Gadis itu akhirnya sadar untuk tidak berharap banyak pada teman di sekitarnya. Karena..., begitulah, tak ada gunanya. (╯︵╰,)

"Tapi serius, mereka terlalu dekat," ucap Rael mengomentari.

"Yah, Val juga terlihat sangat memperhatikan Xafier, bukan? Atau hanya perasaanku saja? Bahkan Xafier sangat tenang di sekitar Val," Sean ikut memberikan komentarnya. Jangan-jangan, kedua orang itu sebenarnya kakak adik lagi? Tapi kalau iya, kenapa Xafier atau Val tidak pernah menyebutkannya??

"Benar, 'kan? Aaahh, sayang sekali! Kedua pangeran itu mungkin membuat banyak gadis-gadis muda sepertiku patah hati," Shia mengeluh pelan.

"Kau? Patah hati? Memangnya kamu pernah patah hati?" sindir Grace.

Shia hanya tersenyum simpul, yang tentunya tidak disadari oleh Grace yang saat ini memperhatikan dua pangeran sekolah, Xafier dan Val. Gadis berambut mahogany itu meringis dalam hati. Bagaimana mungkin ia tidak pernah patah hati?

Dia patah hati saat keluarganya mengatur pertunangannya tanpa mengabarinya sedikitpun. Dia mengajukan permohonan pada mereka sembari memegang harapan kecil bahwa mereka akan mendengarkan pendapatnya pribadi. Namun, apa hasilnya?

Tentu tidak ada! Ia bahkan diancam akan dijadikan tahanan rumah! Memangnya, apa lagi hal yang bisa membuat Shia kabur dari rumah dan masuk ke Akademi Rouge dalam keadaan menyamar seperti ini? Tentu tidak. Tidak ada alasan lain yang lebih parah baginya hingga ia bisa bersikap sembrono seperti itu.

"Kalian, hentikan. Bukankah lebih baik kita langsung menghampiri mereka dan memberi mereka dukungan?" ucap Helen yang mulai jengah dengan aksi intip-mengintip mereka. Seolah-olah mereka baru melakukan kejahatan besar saja.

Kelima remaja lainnya akhirnya menyadari apa yang salah. Benar! Kenapa mereka mengintip Xafier dan Val dari sini, ya? Bukannya lebih nyaman kalau mereka langsung mendatangi dua orang yang sedang menunggu giliran mereka untuk naik ke arena?

Dipimpin oleh Helen, dua kelompok itu akhirnya mendatangi Auris dan Valent. Sayangnya, saat mereka baru sampai, nama Auris dan Valent langsung di panggil oleh seorang guru.

"Sayang sekali. Semangat!" ucap Shia memberi semangat.

"Thanks," jawab Auris singkat.

Valent tersenyum tipis lalu berbalik dan naik ke arena bersama Auris. Lawan mereka adalah Leno dan Sally. Valent melirik kedua orang itu sekilas dan langsung memutuskan seberapa cepat ia akan menyelesaikan pertarungan. Tentu, ia harus meminta pendapat Auris dulu.

"Ingin menyelesaikannya dengan cepat?" tanya Valent.

"Ya," jawab Auris.

Auris saat ini benar-benar ingin sekali menyelesaikan pertarungan secepatnya lalu pergi ke kamarnya dan tidur. Jujur saja, dia saat ini sangat mengantuk. Kalau bisa, Auris bahkan ingin langsung mendorong lawannya turun dari arena. Tapi ia tida bisa melakukannya. Kalau tidak, kekuatan aslinya akan terbongkar.

Valent melirik Auris di sampingnya yang tampak dalam suasana hati yang buruk.

"Serahkan padaku saja?" tanya Valent memberi saran.

"Tidak mau," jawab Auris menolak tanpa berpikir dua kali.

Ah, baiklah. Valent yang tahu kalau Auris saat ini tengah mengantuk hanya bisa membantu dari belakang. Ia tersenyum simpul, memperhatikan Auris bersiap sementara mengukur waktu dalam hati.

Harusnya, tidak akan lama.






.


.


.


.


.







Setuju Ama Grace. Shia kayaknya beneran cocok jadi penulis.

See you next week ~~❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Another World : RebirthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang