20. Pertemuan

337 88 0
                                    

Mr. Nell, Sean, Rael, Louis, dan beberapa murid senior serta siswa lain hanya bisa tercengang menatap pemuda berambut hitam yang melompat tiba-tiba itu. Dalam satu langkah, ia berhasil menyelamatkan Auris walau Auris masih mendapatkan luka.

Untuk beberapa saat, mereka berdua melayang di udara dengan pemuda berambut hitam itu memegang Auris sambil menyerang monster tumbuhan tadi. Di saat genting seperti itu, ia masih sempat membisikkan beberapa kata yang tidak bisa mereka dengar pada Auris. Yang mengejutkan, Auris yang tadinya terlihat cemas tiba-tiba tertegun dan akhirnya tenang.

Semua orang bisa melihat dengan jelas bagaimana pemuda berambut hitam itu menyerang monster tumbuhan dengan kekuatan penuh sebelum mendarat di tepi area bersama Auris. Mereka baru saja menghela napas lega namun kembali cemas saat melihat Auris jatuh tak sadarkan diri.

"Xafier!"

Beberapa orang berteriak kaget dan berlari mendekat namun berhenti di tempat mereka saat tatapan pemuda berambut hitam itu menyapu mereka. Untuk sesaat, orang-orang yang melihat matanya menjadi linglung dan baru sadar setelah menggelengkan kepala mereka. Hawa dingin menjalar di tubuh mereka membuat mereka merasakan rasa krisis dan ketakutan.

'Bagaimana mungkin irisnya berwarna merah? Pasti halusinasi!' pikir orang-orang itu.

Walau mereka berhenti, masih ada beberapa orang yang tetap berjalan mendekat. Siapa lagi kalau bukan Mr. Nell yang merasa bertanggung jawab dan Rael, Louis, dan Sean yang merasa khawatir?

"Siapa kau? Ada apa dengan Xafier?" tanya Louis cemas.

"Aku murid baru di sini," pemuda itu akhirnya menjawab setelah diam untuk beberapa saat. "Mengenai temanmu, sebaiknya bawa dia ke tim medis secepatnya," lanjutnya.

Louis mengangguk. Mr. Nell juga tidak membuang waktu. Begitu Ms. Soya datang, Auris langsung di bawa ke ruang kesehatan bersama beberapa orang sementara yang lain tinggal untuk membereskan kekacauan.

Murid baru berambut hitam itu tinggal untuk sementara waktu. Ia menyipitkan matanya, menatap tajam pada monster di tengah area dari sudut ruangan secara diam-diam. Ia mendengus dingin lalu berbalik dan keluar dari ruang latihan dengan seringai dingin di bibirnya, mengabaikan pekikan kaget orang-orang di detik berikutnya saat melihat monster tumbuhan tadi hancur hingga tidak bisa dikenali secara tiba-tiba.

*

"Ukh...."

Auris mengerang tertahan saat ia berhasil mendapatkan kembali kesadarannya. Ia berkeringat dingin tanpa sadar mengingat seberapa dekatnya ia dengan 'kecelakaan besar' beberapa waktu yang lalu.

Auris bangun dan melihat sekelilingnya sebelum menghela napas kecewa. Kilau harapan di matanya memudar saat tidak melihat apa yang dicarinya. Sepertinya, orang yang ia lihat sebelumnya hanya ilusi. Kalau tidak, kenapa dia tidak ada di sini sekarang?

"Bagaimana keadaanmu?"

Auris tersentak saat mendengar pintu terbuka dan suara yang akrab di telinganya. Ia mendongak dan tidak bisa menghentikan matanya memerah. Orang di ambang pintu jelas tidak mengharapkan hal ini. Ia membeku sejenak sebelum menutup pintu dan berjalan menghampiri Auris dengan cepat.

"Kak Val...," guman Auris dengan suara serak. Ia mati-matian menahan isak tangisnya namun tidak berhasil.

Alhasil, Auris berakhir di pelukan Valent. Ia tidak bisa menahan air matanya dan membiarkan semua emosinya tumpah detik itu juga. Valent tidak menghentikannya. Sebaliknya, ia membuat pelindung sihir di sekitar ruangan itu dan membiarkan Auris menangis di pelukannya.

Setelah menangis untuk sementara waktu, Auris akhirnya berhasil tenang setelah Valent membujuknya. Bagaimanapun juga, Auris hanya seorang gadis kecil yang juga membutuhkan rasa aman. Dan rasa amannya entah bagaimana datang dari orang di depannya ini.

Valent ingin tertawa saat melihat muka merah Auris yang terlihat lucu. Walau begitu, ia menahan tawanya dan mengambil sapu tangan untuk mengusap air mata Auris.

"Merindukanku?" tanya Valent bercanda.

"Mhm," angguk Auris serius.

Valent yang tidak menyangka akan mendapat respon serius-tersenyum tanpa sadar. Setelah menyingkirkan sapu tangan tadi, ia menyembuhkan sebagian besar luka Auris lalu duduk di samping Auris sambil memegang tangannya.

"Apa yang terjadi hari itu, Auris?" tanya Valent. Ia sudah tahu apa yang terjadi sejak ia melakukan penyelidikan. Namun, Valent masih ingin mendengar cerita dari sudut pandang Auris.

Auris mengerutkan keningnya, terlihat ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Valent. Bagaimanapun juga, dalam masa depan yang Auris lihat, hanya Valent satu-satunya yang tetap berada di sisinya bahkan setelah rahasianya terbongkar.

Valent tertegun mendengar Auris yang berterus terang padanya. Sampai Auris selesai memberitahu Valent semuanya, Valent terdiam. Tentu saja Auris menyembunyikan soal fakta bahwa ia sudah melihat apa yang terjadi di masa depan secara tidak sengaja. Ia takut Valent tidak menganggap serius hal itu.

"Maaf, aku tidak datang tepat waktu saat itu," ucap Valent merasa bersalah.

"Bagaimanapun juga, itu bukan salah Kak Val," balas Auris menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana dengan Snowy?" tanya Valent kemudian.

"Snowy hilang. Aku tidak tahu di mana dia sekarang," jawab Auris murung.

Valent menepuk pelan kepala Auris sebagai tanda penghiburan. Auris hanya bisa memaksakan senyum lalu menatap keluar jendela. Ia tidak memperhatikan dengan benar tadi, jadi Auris terkejut saat melihat langit sudah gelap.

"Kamu pingsan hampir sepuluh jam. Sekarang sudah jam makan malam," ucap Valent memberitahu.

"Kak Val, monster tadi bagaimana?" tanya Auris.

"Sudah hancur. Itu monster peringkat 7 level A," jawab Valent.

"Sudah kuduga," gumam Auris.

"Lalu, bagaimana dengan para guru? Mereka pasti menyelidikinya, bukan?" tanya Auris sedikit cemas.

"Tenang saja, aku sudah mengurusnya."

Mendengar Valent sudah mengurusnya, Auris merasa lega. Ia berterima kasih pada Valent dengan pipinya yang terasa terbakar. Bagaimana juga, Auris merasa ia sudah sering menyusahkan Valent.

"Ngomong-ngomong, seberapa kekuatanmu saat ini?" tanya Valent menukar topik.

"Aku sorcerer tingkat lanjut, level 43 bintang emerald," jawab Auris jujur, tidak berniat menyembunyikannya.

"Sangat bagus," ucap Valent memuji Auris dengan tulus.

Auris sontak menundukkan kepalanya, menyembunyikan pipinya yang memerah karena malu. Tapi, menyenangkan rasanya dipuji seperti itu.

"Sudah mendengar kabar tentang temanmu?" tanya Valent membuat Auris terdiam, namun ia menggelengkan kepala sebagai jawabannya.

"Leon menemukan Helen lima belas bulan yang lalu. Dia mencarimu dan tidak pernah berhasil menemukanmu. Saat ini, ia menyamar sebagai Kana di Akademi Rouge," ucap Valent.

"Temanmu hanya menghilang sekitar tiga bulan, tapi kamu menghilang satu setengah tahun, tidak heran kalau pencarian kami tidak berhasil," lanjutnya.

Auris terdiam. Dia menundukkan kepalanya. Dia tahu. Dia sudah tahu kalau Kana adalah Helen. Tapi dia tetap mengabaikannya. Auris tidak ingin apa yang ia lihat benar-benar menjadi nyata.

Melihat Auris diam, Valent juga diam. Dia tahu seberat apa kejadian yang Auris lewati. Valent memejamkan matanya dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Tidak ada yang bisa menebak pikirannya selama satu setengah tahun ini. Tapi sekarang, orang di sekitarnya tahu kalau Valent sudah lebih tenang.

"Xafier!"

Keheningan ruangan itu terpecah oleh seruan beberapa orang. Auris mau tak mau menoleh ke arah pintu, melihat tiga sosok akrab yang dikenalnya. Ketiganya senang melihat Auris yang sudah sadar dan terkejut saat melihat Valent di dalam ruangan.


Another World : RebirthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang