Henzofran Edwin

11 2 0
                                    

Edwin melangkahkan kakinya pelan menuju kamar nya setelah membereskan rumahnya. Lalu ia pergi ke dapur untuk makan siang, oh larat maksudnya makan sore karena sekarang sudah lewat jam makan siang.

Ya, memang begini lah kesehariannya. Sebelum sekolah dan sesudah pulang sekolah ia menyempatkan diri untuk membersihkan rumah nya. Setelah semuanya beres, baru ia akan melaksanakan kewajiban nya yaitu belajar.

Namun saat langkah nya sudah sampai di depan kamar nya untuk belajar, tak sengaja pandangannya beralih pada dua orang yang usia nya lebih tua dari nya. Tanpa ragu ia langsung menghampiri kedua insan itu.

"Mama, papa, mau kemana? Kenapa bawa koper?" tanya nya ketika melihat beberapa koper besar dan sedang di samping mereka.

"Mau jalan-jalan ya? Kenapa ga kasih tau Edwin? Edwin kan bisa siap siap dulu" lanjutnya tersenyum cerah dengan mata berbinar.

"Ge'er banget kamu! Siapa yang mau ngajak kamu? Ga sudi saya ngajak anak gembel kayak kamu!"

Senyuman lebar yang terpancar perlahan memudar saat mendengar ucapan seseorang yang ia panggil mama. Edwin perlahan menundukkan kepalanya. Ia takut kalau mama nya sudah berbicara seperti itu.

"Memangnya mama mau kemana?" tanya nya mendongakkan kepalanya ragu ragu.

"Kami mau keluar kota, kami butuh hiburan, kami lelah mengurus kamu yang membuat kami tertekan batin!" kali ini bukanlah mama nya yang mengucapkannya, melainkan seorang pria berumur sekitar 40 tahunan yang Edwin sebut sebagai papa nya.

"Edwin boleh ikut?" tanya nya lagi. Sejujurnya ia sangat takut sekarang. Kakinya sudah bergetar hebat. Ia mencoba untuk menahannya agar tidak begitu mencolok.

Kini tatapan Edwin mengarah pada seorang wanita yang menundukkan bahunya. Mensejajarkan tinggi nya dengan anak semata wayangnya.

"Kamu mau ikut? Syarat nya kamu harus dapat rank 1! Kamu harus bisa ngalahin anak baru itu! Siapa namanya? Nami? Nomi? Ntahlah, pokoknya kamu harus nyingkirin dia!" ucapnya penuh penekanan.

"Tapi ma, Edwin udah berusaha untuk rebut rank 1 lagi, Edwin udah belajar semaksimal mungkin, tapi Naomi benar-benar pintar"

"Kalau gitu kamu harus lebih pintar dari dia! Dasar ga guna!" sarkas pria itu sedikit menaikan nada bicara nya.

"Maaf pa"

"Maaf maaf, kamu kira dengan kata maaf bisa merubah semuanya?! Belajar sana! Pokoknya kamu harus dapat rank 1 baru kamu boleh ikut kami. Kami ga mau orang orang ngeliat kami ngajak anak ga tau di untung kayak kamu! Taunya menghabis habiskan uang kami saja!" ujar mamanya sedikit memekik. Setelah mengucapkan kata-kata menyakitkan itu, ia mulai beranjak dari sana. Namun dengan cepat Edwin menahan langkahnya dengan memeluk kakinya.

"Edwin janji ma, Edwin akan dapat rank 1 lagi tapi mama sama papa jangan tinggalin Edwin ya?" ucapnya bergetar. Matanya sudah memerah menahan air mata yang dengan sekuat mungkin ia tahan agar tidak jatuh.

"Halah janji mulu, kapan di tepatin? Udah 2 tahun kamu sekelas mulu sama dia. Pokoknya kali ini di kelas 9 kamu harus rank 1 di semester 1 dan 2!"

"Iya ma iya, Edwin akan juara 1 tapi jangan tinggalin Edwin. Edwin mohon" ucapnya tersengguk. Ia sudah tak bisa menahan tangis nya. Tangis nya pecah begitu saja saat mamanya bergerak ingin melangkah pergi.

"Kami akan kembali untuk ngajak kamu jalan jalan saat kami dapat kabar kalau kamu dapat rank 1. Sekarang kami mau pergi. Kamu belajar yang giat sana!" ucap mama nya mencoba melepaskan pelukan Edwin yang memeluk kaki nya. Sedangkan sang ayah sudah berlalu sejak tadi. Ia menunggu di dalam mobil setelah memasukkan semua koper ke dalam bagasi mobil.

"Lalu Edwin di sini sama siapa ma?"

"Sama om kamu, dia yang akan menguras kamu selama kami pergi"

"Engga ma, Edwin ga mau. Edwin ga mau tinggal sama om" gumam Edwin menangis sesenggukan. Ia tak peduli dengan beberapa pasang mata yang menatap ke arah nya.

Beberapa tetangga keluar dari rumah ketika mendengar suara isakan tangis dan suara ribut yang mengarah ke rumah Edwin. Dan benar saja dugaan mereka. Sudah biasa mereka menyaksikan penyiksaan yang diberikan dari kedua orang tuanya untuk Edwin. Mereka ingin menolong tetapi mereka juga tidak mau ikut campur.

"Diam! Semua orang ngeliatin ke sini gara-gara kamu! Diam ga!!" ancam mama nya yang langsung menolak tubuh Edwin tanpa rasa belas kasihan sedikitpun.

Edwin terjatuh ke atas tanah yang kotor akibat tolakan kuat yang diberikan. Tubuh nya sedikit sakit karena tolakan itu tetapi ia tak peduli dengan rasa sakitnya, yang ia pikirkan sekarang hanyalah mama dan papa nya. Dengan cepat ia langsung bangkit dan mengejar mama nya. Na'as nya mamanya sudah duduk tenang di dalam mobil. Pintu nya sudah tertutup rapat dan menguncinya agar Edwin tidak bisa membukanya.

"Mama, papa, jangan tinggalin Edwin! Edwin mohon!" teriak Edwin memukul mukul kaca mobil itu seraya sesekali mencoba membuka gagang pintu nya.

Tak berselang kemudian, dengan satu pergerakan Edwin langsung terjatuh di aspal kasar yang membuat celana dibagian lututnya robek dan menembus ke permukaan kulit mulus Edwin. Ia terjatuh ketika mobil yang di naiki mamanya dan papa nya jalan. Karena kaget dan tak bisa menyeimbang langkah nya yang mengejar mobil itu,
membuat Edwin tersungkur jatuh.

Melihat kejadian itu, seseorang berlari menghampiri Edwin yang terduduk lemas. Setelah sampai ia langsung memeluk tubuh Edwin yang bergetar sesenggukan.

"Gue di sini" ucap Molina mengelus punggung Edwin yang bergetar. Edwin yang sadar dengan kedatangan Molina pun langsung membalas pelukan itu. Menyalurkan semua rasa sakit yang ia pendam selama bertahun-tahun.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Edwin kembali merasakan pelukan hangat dari sahabatnya itu. Ia merindukan sosok Molina yang beberapa saat yang lalu menghilang dari pandangan nya yang seakan-akan pergi begitu saja setanpa izin. Akhirnya, sekarang sosok sahabat kecilnya kembali untuk nya. Memeluk tubuh kurusnya yang tampak tak terurus.

Tetesan airmata meluncur lolos dari mata bulat milik Molina. Ia bisa merasakan apa yang Edwin rasakan. Niatnya tadi ingin mengajak Edwin belajar bersama dan meminta maaf karena sudah meningalkan Edwin tanpa alasan yang jelas. Namun niatnya tertahan saat ia melihat pemandangan keributan antara Edwin dan kedua orang tuanya.

Benar benar tega, menurutnya. Bisa bisa nya mereka meninggalkan Edwin yang membutuhkan mereka. Bahkan tanpa belas kasihan mereka menghina dan menelantarkan anak semata wayang mereka. Entah di mana letak hati nurani mereka. Molina benar-benar tak habis pikir.

Namun di sisi lain, ia sadar akan hal yang sudah ia lakukan. Ia juga sama kejamnya dengan orang tua Edwin yang meninggalkan nya. Meninggalkan Edwin yang membutuhkan sosok orang lain sebagai sandaran nya. Sekarang, Molina menyesal.

"Sabar ya Win, gue di sini buat lo" gumam Molina mengeratkan pelukannya.

🫂🫂🫂

To be continued..

Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang