Part XI

232 16 5
                                    


Bagas terdiam dengan wajah shock mendengar pengakuan Rahma, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Menyesali setiap perbuatannya 25 tahun yang silam.

" Nala, Nura Kalian tidak bisa menikah," Ucapnya kemudian. Nala menatap Bagas dengan raut wajah kebingungan.

" Tapi kenapa pa?" Tanya Nala kemudian. Susah payah Bagas menelan ludahnya.

" Karena kalian adalah saudara,"

Nala, Rina dan Nura seketika terperanjat mendengar pengakuan Bagas.

" Maksud papa apa?" Tanya Nala yang langsung shock dengan ucapan papanya.

" Papa bercanda kan?" Tanya Rina dengan suara bergetar.

Bagas terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tak tahu harus mulai darimana dia bicara.

" Rahma, ibunya Nura adalah istri papa," Ucap Bagas pelan.

" Astagfirullah, papa," Rina tak bisa lagi membendung air matanya. Hatinya terasa sakit, dadanya sesak karena pengakuan suaminya. Nala memeluk Rina mencoba menguatkannya. Tapi tiba tiba Rina tak sadarkan diri.

***

Nura menangis di dalam kamarnya. Dadanya terasa sesak. Rasanya air mata yang tumpah dari semalam belum juga mampu meredakan kesedihannya. Sementara Rahmapun masih diam, membiarkan Nura menuntaskan dukanya. Sampai mereka siap untuk bicara.

" Nur," Suara Rahma terdengar disela sela suara ketukan pintu.

" Makan dulu nak, dari semalam kamu di kamar terus," Ucap Rahma lagi, berharap Nura mau keluar kamar. Nura menyeret langkahnya menuju pintu. Saat wajah Nura muncul dari balik pintu Rahma tampak bernapas lega.

" Ibu dah masakin makanan kesukaan kamu, kita makan sama sama yuk," Ajak Rahma sembari tersenyum lembut.

" Nura nggak lapar," Jawab Nura enggan.

" Kalau hati yang marah, jangan perut yang dihukum, sejak semalam kamu nggak keluar kamar, masak iyah nggak lapar," Rahma kembali membujuk Nura.

" Aku lebih butuh penjelasan ibu daripada makanan," Nura terisak lagi. Rahma mengelus kepala Nura, memandang anak gadisnya itu iba.

" Ibu akan ceritakan semua, setelah kamu makan, ibu gak mau kamu sakit," Nura terisak lagi. Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Dia marah atas kebohongan ibunya selama ini, tapi dia juga tidak tega terus berlama lama mendiamkan perempuan yang sudah susah payah membesarkannya itu.

" Ayo," Rahma menarik tangan Nura agar mengikutinya keruang makan. Nura melangkah pelan, mengikuti ibunya.

" Ayo kita makan sama sama, ibu juga belum makan dari kemarin," Seketika Nura merasa bersalah saat mendengar ucapan Rahma. Akhirnya dia menurut saat Rahma mengambilkannya sepiring nasi beserta lauk pauknya. Jujur saja dia memang sudah sangat lapar.

***

Nala menatap wajah Rina yang sedang tertidur lelap. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu dengan erat.

" Na, kamu istirahat dulu, biar papa yang nungguin mama," Nala menatap Bagas tajam. Ada kemarahan dalam kilatan matanya. Bagas menarik napas panjang.

" Na, papa minta maaf," Nala menggeleng pelan sembari berdecak.

" Aku nggak nyangka papa bisa menghianati mama," Ucapnya ketus.

" Aku nggak nyangka orang yang selama ini aku kagumi ternyata busuk," Tambahnya lagi dengan nada marah.

" Na, dengar dulu penjelasan papa," Ucap Bagas frustasi. Nala menggelengkan kepalanya perlahan.

" Aku nggak mau dengar apapun dari papa, papa lebih baik pergi,"

" Na,"

" Please pa, papa pergi sebelum aku hilang akal," Bagas menarik napas panjang. Kemudian memutuskan untuk keluar ruangan. Setelah Bagas pergi Nala tertunduk dalam diam. Menyesali nasibnya yang hampir saja menikahi adiknya sendiri. Adik? dia bahkan tidak pernah membayangkan akan mempunyai seorang adik. Dia juga tidak berencana mengakui Nura sebagai adiknya.

Tiba tiba pintu kamar terbuka, wajah seorang gadis cantik menyembul dari balik pintu.

" Na, aku langsung kesini saat tahu tante sakit," Tara mengusap punggung Nala. Sungguh hal itu memberikan sensasi yang cukup menenangkan buat Nala saat ini.

" Makasih yah udah mau datang, aku pikir aku butuh kamu saat ini," Nala mengusap wajahnya. Dia tampak sangat lelah.

" Kamu belum istirahata yah? Nih aku bawain makanan, kamu mandi, trus makan dan istirahat dulu, biar aku yang jaga tante," Tara mengulurkan sebuah kotak berisi makanan ke arah Nala.

" Aku nggak lapar," Ucap Nala menolak.

" Yah udah, kalo gitu aku pulang, kayaknya kamu nggak seberapa butuh aku disini," Nala mencekal lengan Tara.

" Oke oke, aku nurut," Nala bangkit dari duduknya menuju kamar mandi, sementara Tara meletakan kotak makan itu di atas meja yang tidak jauh dari ranjang rawat. Setelah itu dia duduk di kursi dekat tempat tidur.

***

Tara duduk didekat Nala, yang mulai menyendokan makanannya.

" Na, om Bagas masih ada di depan, apa gak sebaiknya kamu ngobrol sama dia, mumpung ada aku yang nungguin tante," Nala mengecap makanannya tanpa ekspresi apapun. Makanan yang dikunyahnya kali ini entah kenapa terasa hambar.

" Kita udah dewasa Na, jadi ada baiknya kita juga menyikapi hal hal yang terjadi secara dewasa," Ucap Tara lagi.

Nala masih tetap diam. Ucapan papanya masih terngiang ngiang ditelinganya. Dadanya terasa sesak, apalagi melihat kondisi mamanya sekarang. Tapi dia juga membenarkan ucapan Tara. Mungkin dia dan papanya memang harus bicara.

***

Nala berjalan mendekati papanya yang sedang duduk di kursi lorong dengan kepala tertunduk. Saat menyadari ada orang yang datang, Bagas mendongakan kepalanya.

"Na," Ucapnya penuh harap. Nala menatap Bagas dingin tanpa ekspresi.

" Aku rasa kita perlu bicara," Ucap Nala datar. Bagas menganggukan kepalanya cepat, kemudian meminta Nala duduk di sampingnya.

" Na, sebelumnya papa minta maaf atas apa yang terjadi sama kamu," Bagas mencoba mengelus puncak kepala Nala, hal.yang biasa dia lakukan saat menenangkan putranya itu. Tapi Nala langsung menghindar. Hati Bagas kembali nyeri mendapat penolakan dari Nala.

" Kita nggak usah basa basi deh pa, aku nggak mau lama lama ngobrol sama papa, aku nggak mau mama nyariin aku," Nala berkata dengan nada sedikit ketus, membuat Bagas menarik napas panjang. Mencoba menerima semua perlakuan Nala dengan ikhlas.

" Baiklah Na, papa akan menceritakan semuanya, tapi sebelumnya papa ingin kamu tahu kalau papa sangat menyayangi kamu dan mama," Bagas kembali menarik napas panjang.

" Semua berawal saat usia pernikahan papa dan mama memasuki tahun ke enam, papa dan mama tidak juga dikaruniai seorang anak,"

" Perkenalan papa dengan Rahma terjadi saat Rahma melamar pekerjaan sebagai tenaga administrasi di perusahaan papa, saat itu belum sebesar sekarang, perusahaan papa masih berupa gudang kecil dengan kantor di sudutnya," Bagas menghela napas pelan.

" Rahma adalah gadis yang polos, entah bagaimana awalnya kami menjadi dekat, papa sering menjadikannya tempat bercerita, awalnya tentang kondisi perusahaan, sampai akhirnya menuju ke masalah pribadi papa," Nala berdecih mendengar ucapan papanya, bagaimana mungkin seorang gadis polos bisa mengambil suami orang lain.

" Kedekatan papa dengan Rahma entah kenapa akhirnya membuat papa menyukainya, mulailah timbul benih benih cinta terlarang antara kami berdua,"

Bagas menatap langit langit rumah sakit. Matanya menerawang seolah sedang menatap masa lalunya di atas sana.

***

Assalamualaikum.

Akhirnya aku bisa update lagi. Mau tahu gimana cerita Pak Bagas dan Bu Rahma? aku ceritain dibab selanjutnya yah. jadi stay tune. Btw nih langsung update maaf kalau ada typo typo.

Jangan lupa  vote dan komen yah. Makasih.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang