Malam ini, Mentari baru saja pulang ke rumah setelah mengerjakan tugas kelompok dengan teman-temannya. Teman? Ralat, hanya teman untuk masalah kerja kelompok.
Gadis itu berjalan memasuki rumah. Rasanya begitu lelah setelah seharian ini berpikir untuk pelajaran dan tugas kelompok. Terlebih, hanya Mentari yang mengerjakan tugas itu. Teman-temannya yang lain? Mereka hanya numpang nama saja.
"Habis darimana lo? Ngejalang?" Tanya Rein dengan nada meremehkan. Pemuda itu bersandar pada tembok sembari bersedekap dada.
Mentari menghentikan langkah, gadis itu lalu menatap Rein lelah.
"Kak, aku capek banget jadi tolong ya jangan nyari masalah?" Tutur Mentari.
"Ya jelas capek lah, orang abis ngejalang. Berapa ronde nih tadi? Atau ..., Berapa orang yang udah lo layanin?" Kalimat Rein yang memang pada dasarnya tak pernah difilter seolah merendahkan Mentari.
Mentari mengepalkan kedua tangannya. Gadis itu masih mencoba sabar meski rasa muak dan amarahnya telah memuncak.
Menarik napas panjang, Mentari lalu memilih melangkahkan kakinya lagi namun suara Rein kembali membuatnya menghentikan langkah.
"Nyokap sama anak sama aja, ya? Sama-sama jalang!"
Mentari sudah tak bisa membendung amarahnya lagi. Ia lalu membalikkan badan dan menatap Rein.
"Mau Kak Rein sebenarnya apa sih? Apa dengan menghina dan merendahkan aku dan Bunda, itu bisa membuat Kak Rein bahagia? Dan aku tahu alasan kenapa di sekolah ngga ada yang mau temenan sama aku itu sebenarnya karena Kak Rein, kan?!"
Mendengar pertanyaan Mentari, Rein lalu menyunggingkan senyumannya.
"Ternyata lo pinter juga ya sampe tahu apa yang gue pikirin," jawab Rein.
Jawaban dari Rein yang terdengar begitu santai dan tak merasa bersalah sama sekali membuat Mentari semakin diliputi emosi.
"Kenapa? Kenapa Kak Rein benci aku, kenapa?!" Tanya Mentari dengan suara meninggi. Napas gadis itu tak beraturan.
"Because i hate you. Karena gue benci lo dan diri lo! Karena gue benci sama Nyokap lo! Dan karena gue benci segala hal tentang lo! Lo dan Nyokap lo itu ..., Parasit dan sampah!" Balas Rein ikut meninggikan suara.
Mendengar balasan dari Rein, perasaan Mentari semakin tak karuan. Muak, benci, kesal, sedih dan marah. Semua perasaan itu membaur jadi satu.
"Gara-gara lo dan Nyokap lo, keluarga gue hancur! Gara-gara Nyokap lo ..., Nyokap gue jadi gila! Anak pelacur kayak lo ngga bakal tahu gimana rasanya waktu ngeliat Nyokap lo bahkan ngga mau ketemu sama lo!" Teriak Rein.
Mengingat semua yang terjadi pada hidupnya, membuat Rein merasa marah. Pemuda itu akan sangat sulit untuk mengontrol emosi. Dan ketika marah, seperti ada diri lain dalam tubuhnya.
Meski Rein sebenarnya tahu jika semua yang terjadi pada hidupnya bukanlah kesalahan Mentari dan Ibunya melainkan kesalahan dari Bayu. Rein ..., Pemuda itu hanya berusaha untuk melampiaskan emosinya pada orang yang tak bersalah. Bukankah sungguh egois?
"Gue benci sama lo! Gue benci Nyokap lo! Gue benci bokap gue dan ..., Gue benci diri gue sendiri," lanjut Rein dengan suara yang memelan di kalimat akhir.
Menundukkan kepalanya sebentar, Rein lalu kembali menatap Mentari dengan kilatan amarah.
"Lo! Lo cuma anak pelacur sekaligus pelakor! Anak pelakor kayak lo ngga pantas buat bahagia! Bukan hanya lo tapi nyokap lo juga ngga pantes buat bahagia! Kalian-"
Belum sempat Rein melanjutkan ucapannya, suara tamparan sudah lebih dulu menggema di ruangan itu.
Rein langsung bungkam, wajahnya tertoleh kesamping. Ini bukan kali pertama Mentari menamparnya, namun tamparan kali ini benar-benar sangat keras dan terasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another World (End)
Novela JuvenilMasuk ke dunia novel, apa benar-benar ada? Fyneen Adisty Raveena Putri, Penulis remaja yang namanya sudah banyak dikenal oleh para kaum milenial pecinta novel. Suatu ketika, ketika Fyneen dan kembarannya tengah berdebat di depan komputer milik Fynee...