Bab 8.2 Pengkhianat

85 26 29
                                    

Arion mengikuti Freya yang baru saja keluar dari ruang pertemuan. Gadis itu sedang tidak baik-baik saja, terlihat jelas dari rautnya.Tidak jauh berbeda dengan Arlan dan Grey. Arion yang hendak menanyakan tentang kebenaran perkataan Lucya, jadi urung.

"Beberapa dari petinggi memilih untuk menyerahkan Freya ketimbang berperang," geram Arlan ketika mereka sudah berada di ruangan Freya. "Para tua bangka pengecut itu terlalu lama hidup dalam damai hingga tidak punya nyali untuk melawan."

"Lalu, apa keputusan raja?"

"Tentu menolaknya. Tapi tetap saja, aku tidak habis pikir kalau ada yang memilih kalah sebelum berperang."

"Bagi mereka, kelahiran 'sang pewaris' hanya sebuah lelucon." Freya bersuara. Ia menghidupkan dupa yang diberikan Lucya untuk sedikit menenangkan pikiran. "Lucu sekali negeri ini. Setelah mengeluh akibat menanti seratus tahun untuk kehadiran 'sang pewaris', kini ketika sudah ada, mereka malah ingin membuangnya. Apa-apaan!" Bukannya lebih tenang, Freya malah semakin emosi sebab mengingat perdebatan itu.

Arion mendekat dan mengusap pipinya yang sudah memerah karena amarah.
"Jika mereka berani menyerahkanmu pada 'para pendosa', akan kuhancurkan mereka semua. Kau akan menjadi ratu. Selama aku hidup, akan aku pastikan semua itu terwujud. Jadi, tenanglah!"

"Aku juga tidak akan membiarkan mereka melakukan tindakan bodoh itu. Menyerahkanmu sama saja dengan mengaku kalah." Arlan ikut berdiri di sampingnya.

Grey tersenyum dan mengusap lembut rambut hazelnut bergelombang milik sang gadis. "Sebaiknya kita ikut bersiap untuk penyerangan yang bisa terjadi kapan saja."

Freya memijit pelipisnya dan menghela napas. Rasanya ia sangat kacau. "Aku butuh istirahat."

Ketiga kesatrianya mengangguk mengerti. Setelah Freya berbaring nyaman di ranjang, mereka segera keluar dan membiarkannya beristirahat. Sementara itu pengawal berbondong datang untuk menjaga di luar ruangan. Bukan hanya di sana, tapi di setiap penjuru istana.

"Kupikir, ada yang aneh dengan Freya," ucap Grey ketika mereka sudah meninggalkan area kediaman putri mahkota.

"Menurutku juga begitu. Apa karena dia sedang banyak pikiran?" tanggap Arlan.

"Bisa saja. Tapi-"

Ucapan Grey terhenti saat suara ledakan terdengar. Semua orang berlarian keluar, mencari sumber suara. Asap hitam tebal terlihat membumbung ke langit dari arah perbatasan, Desa Dargav telah diserang.

Pembatas sihir diaktifkan, pasukan segera menuju Dargav, tetapi terhenti ketika sebuah portal terbuka di atas menara tertinggi istana. Seorang pria bertopeng yang tidak asing muncul dan berdiri pongah menatap mereka.

"Serahkan 'sang pewaris' atau ini akan menjadi akhir bagi Destrion!" ucapnya dengan suara bariton yang terdengar mengerikan.

Bertepatan dengan itu, Dolhaf dan pasukannya telah kembali dan langsung menyerang pria tersebut. Para pemanah mengambil posisi, bersiap untuk serangan balasan.

Pria bertopeng itu menghindar gesit. Kutukan dari Dolhaf tidak ada yang mengenainya. "Orang tua, diamlah di dalam kamar!" sindir lelaki itu.

"Dan anak muda, berhentilah berulah agar orang tua ini bisa menikmati masa tenangnya!" balasnya. Pria berusia 58 tahun itu berhenti menyerang kala raja muncul bersama para petinggi lain. Ia mundur dan memberi hormat.

"Maaf, saya baru kembali yang mulia."

"Sepertinya kau sangat kerepotan."

"Benar sekali, mereka seperti belut—begitu licin."

Arion dan kedua sahabatnya bergegas menuju ruangan Freya, gadis itu harus diamankan. Mereka membuka pintu dan hal pertama yang terlihat adalah Freya yang sedang terduduk di lantai tidak jauh dari ranjang dengan penuh keringat.

Story of EvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang