Matahari bersinar begitu teriknya. Jernihnya air laut memberikan ketenangan. Akan tetapi, tak disangka petaka datang. Perahu yang ditumpangi Agha dan kedua orangtuanya mendadak terombang-ambing di tengah lautan luas. Agha panik. Orangtuanya jatuh ke dalam lautan dan lenyap begitu saja.
Belum sempat Agha berteriak, suasana berganti. Agha berada di dalam kabin pesawat bagian first class. Kedua orangtuanya berada di dekatnya. Yang membuat aneh adalah suasana terasa senyap sekali. Agha pun tak menemukan guratan senyum di wajah orangtuanya. Jantungnya menggila kala pesawat bergetar hebat, seperti akan meledak. Dan benar saja, pesawat meledak. Badan pesawat hancur di udara. Agha melihat dirinya bertahan di udara, seperti ada sesuatu yang mencegatnya jatuh. Sementara orangtuanya, telah jatuh ke daratan dengan tubuh terpisah-pisah.
Untuk kedua kalinya, suasana berubah. Apa yang Agha alami beberapa detik yang lalu seolah-olah terlupakan dengan cepat. Kini dia berada dalam mobil bersama kedua orangtuanya. Marlon sang pengemudi, Zora di sebelah suaminya, dan Agha di belakang. Jantung Agha tidak tenang. Ini seperti deja vu. Agha pernah mengalami ini. Bukankah ini detik-detik sebelum mereka mengalami kecelakaan dan orangtuanya benar-benar pergi untuk selamanya? Apakah ini mimpi?
Zora menoleh ke arah putranya sambil tersenyum. "Gak lama lagi kamu ulang tahun. Kamu mau hadiah apa, Sayang?"
"Gak tau sih, Ma. Soalnya Agha udah punya banyak hal," jawab Agha sambil berpikir.
"Mau mobil lagi? Yang paling mahal?" tawar Marlon.
"Udah kebanyakan mobilnya. Agha ma-"
Belum sempat Agha menjawab, sebuah truk menabrak mobil mereka. Dan Agha terbangun dari tidurnya. Dari tiga kejadian menyakitkan dalam mimpinya, yang terakhir persis sama dengan kejadian nyata.
Agha mengacak-acak rambutnya frustrasi. Usai itu, tangannya meremas bagian dadanya yang terasa sangat perih. Padahal sebulan telah berlalu semenjak Zora dan Marlon meninggalkan Agha untuk selamanya.
Lantai tiga, ruangan biru langit, bertuliskan VIP Room, menjadi tempat Agha bernaung sekarang. Agha didiagnosis menderita Bipolar dan Post Traumatic Stress Disorder atau lebih dikenal dengan PTSD. Jadi, Mahadhi langsung menjebloskan Agha ke Rumah Sakit Jiwa Mentari. Si kakek tua itu amat jengah dengan kelakuan Agha akhir-akhir ini. Ini pagi pertama Agha menjadi pasien di rumah sakit jiwa tersebut.
Agha tak tahan berada di kamar ini. Rasanya seperti burung yang terkurung dalam sangkar. Agha suka kebebasan. Maka dari itu, Agha bangkit dari duduknya untuk keluar dari sana. Namun, sial, pintu terkunci.
Agha berjalan ke jendela. Benar-benar menyebalkan, ada besi pengaman. Padahal Agha mau melompat.Bermenit-menit Agha mondar-mandir di sana sampai pintu terbuka memperlihatkan asisten mendiang mamanya yang kurus itu. Liam tengah membawa nampan berisi sarapan untuk Agha.
"Keluarin gue dari sini!" pinta Agha dan hendak menerobos keluar. Akan tetapi tidak berhasil karena ada dua pengawal bersetelan jas hitam menjaga kamarnya.
"Si Tua Bangka sialan!" umpatnya. Agha tahu ini semua ulah si Mahadhi itu. Rencana Agha kabur dari rumah sakit jiwa berakhir gagal sejak semalam. "Gue gak gila!" erangnya.
"Duduk dulu, Agha. Dari semalam kamu gak mau makan," kata Liam yang sudah menempati kursi dekat nakas.
Agha menarik napas dalam. Tangan kirinya memijit pelipisnya. "Gak lapar."
"Nanti sakit," balas Liam cepat.
Agha menatap Liam dengan tatapan sarkastik. "Udah hampir lima belas tahun lo jadi asisten Mama. Setia juga lo, kayak anjing. Sekarang Mama udah gak ada. Lo mau jadi anjing gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
VIP BAD BOY (END)
Teen FictionAgha, cowok bad boy yang seharusnya fokus pada akhir masa SMA dan ujian masuk perguruan tinggi malah mendekam di rumah sakit jiwa. Trauma atas kematian orangtuanya menjadi penyebab utama. Lalu pacar yang sangat dicintai Agha hamil anak sepupunya. Di...