Penjelasan materi fisika dari guru di depan kelas sedikitpun tak masuk ke kepala Reatha. Atensinya juga tak tertuju ke sana. Atensinya tersita oleh pemilik kursi kosong di sebelah Rezvan.
Hari ini Agha tak hadir ke sekolah, dan tak ada kabar apa pun darinya. Reatha cemas. Apa karena kejadian semalam? Apa jangan-jangan Agha sakit gara-gara kehujanan?
Semua tentang Agha, membuat Reatha tak bersemangat apa-apa. Sebab munculnya pembatas tinggi nan kukuh. Energi Reatha bak tersita. Bahkan hanya untuk bersuara satu patah kata saja berat. Hari ini Rezvan dan Sekar terus-terusan mengajaknya berbicara, namun tak ada tanggapan darinya kecuali mengedikkan bahu, gelengan, dan anggukan kepala.
Hari terus berlanjut. Pada hari kedua, ketiga, keempat, dan kelima sejak malam di mana Gale menghardik Agha, Reatha masih sama saja. Dia mencampakkan orang-orang di sekelilingnya, tak terkecuali Rona. Reatha juga sering melamun. Meski dia dan Agha kini berjarak, setidaknya Reatha ingin melihat mantannya itu di sekolah. Dan memastikan kalau Agha baik-baik saja. Akan tetapi, sampai hari ini batang hidung Agha tak kelihatan. Agha ke mana, sih?
Sore ini, seorang perawat di Rumah Sakit Jiwa Mentari perlu membuyarkan lamunan Reatha dengan melambaikan tangan di depan wajah gadis itu.
"Ah, maaf," katanya kemudian mulai membuatkan pesanan jus jeruk untuk si perawat.
"Atha, jangan ngelamun!" Mungkin, sampai puluhan kali teguran ini keluar dari mulut Rona untuk putrinya.
Anggukan kecil Reatha lagi-lagi menjadi tanggapan atas teguran itu. Anggukan yang menyiratkan kata, "Baik, Bu."
Sikap Reatha selama lima hari ini ternyata membuat Gale tak nyaman. Di sela waktu kerjanya, Gale datang dan mengutarakan keinginannya.
"Gak semua orang harus sesuaiin mood kamu, Atha. Jangan bersikap kayak gini!" ungkap Gale sembari berkacak pinggang. "Kekanak-kanakan banget kamu!"
"Maaf, Atha kan beda. Atha gak sesempurna dan sesuci Bang Gale. Atha banyak salah, enggak kayak Bang Gale yang gak pernah buat salah," sindir Reatha bersama tatapan sinis.
"Atha! Apa maksud kamu?" Suara Gale naik beberapa oktaf.
"Abang jahat! Abang tega! Abang biarin Agha pulang dalam hujan. Kalo dia sakit gimana? Sampai hari ini dia gak ada kabar. Semuanya gara-gara Abang! Atha benci Abang!" teriak Reatha.
"Agha lagi Agha lagi! Muak Abang dengerin nama bocah bangsat itu!" Gale ikut mengeraskan suaranya. "Kamu masih mikirin dia? Berapa kali Abang harus kasih kamu peringatan biar ngerti?!"
"Yang harus dibikin ngerti itu Abang, bukan Atha!" Reatha menunjuk-nunjuk Gale. "Kalo Atha pisahin Abang sama Kak Sera gimana? Gimana kalo Abang dan Kak Sera yang ada di posisi Atha sama Agha?"
"Jangan bawa-bawa nama Sera!"
Pertengkaran mereka menarik perhatian banyak orang.
"Gale! Atha! Udah, gak enak dilihat orang lain," lerai Rona sembari menyentuh tangan kanan Reatha untuk menenangkan.
"Semuanya gara-gara Abang!" Reatha belum cukup menyalahkan Gale. Karena baginya keputusan Gale yang membuatnya dan Agha berjarak sama sekali tak adil.
"Abang lakuin ini semua demi kamu! Abang mau lindungi kamu!" balas Gale.
Tampaknya dua kakak-beradik ini tak mengindahkan permintaan ibu mereka agar tidak bertengkar.
"Atha benci sama Abang!" Reatha sudah lelah adu mulut dengan Gale. Apalagi ketika Savero datang dan menyaksikan itu. Reatha memilih berlalu dan menjauh dari kantin.
Tujuannya tidak jelas. Hanya mengikuti ke mana langkah membawanya pergi. Sampai tibalah kakinya memijak tepi jalan raya, baru berhenti. Tidak ada rencana menyeberang. Lalu-lalang kendaraan di jalan raya menarik perhatiannya. Matanya memang memandangi kendaraan, namun pikirannya berkelana entah ke mana-mana. Yang pasti, Agha menjadi pusat pikiran bercabangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIP BAD BOY (END)
Fiksi RemajaAgha, cowok bad boy yang seharusnya fokus pada akhir masa SMA dan ujian masuk perguruan tinggi malah mendekam di rumah sakit jiwa. Trauma atas kematian orangtuanya menjadi penyebab utama. Lalu pacar yang sangat dicintai Agha hamil anak sepupunya. Di...