Menjelang subuh, hujan mengguyur dengan deras. Angin berembus begitu dingin. Agha terbangun dari tidurnya. Jantungnya berdetak kencang tanpa sebab. Tangannya yang gemetar menarik selimut sampai ke leher.
"Dingin ya, Sayang?"
Agha menajamkan penglihatannya. Kenapa ada Zora di atas kasurnya? Bagaimana bisa mamanya yang telah meninggal itu duduk manis di sebelahnya?
"Mau Papa bikinin cokelat panas?"
Lalu di belakang Zora muncul Marlon. Lelaki itu menyunggingkan senyum hangatnya untuk Agha.
"Anak Mama kedinginan, ya?" Zora merapikan rambut Agha. "Sini Mama peluk."
Agha menggeleng. Dia yang semula berbaring jadi bersandar di kepala tempat tidur. Kedua tangannya memukul kepalanya sendiri. Agha mencoba menyadarkan akal sehatnya. Orangtuanya telah tiada. Apa yang dia lihat hanya ilusi semata. Agha berkeringat saat Zora dan Marlon tersenyum lebar padanya. Padahal udara sangat sejuk sampai masuk ke tulang-belulangnya.
Dalam penglihatannya, Marlon dan Zora kini memotong jarak. Dekat, dan semakin dekat. Lalu, secepat kilat menghilang. Ternyata benar-benar hanya ilusi Agha. Tidak mungkin Zora dan Marlon bangkit hidup lagi.
Saat melihat ke arah pintu, tangan Agha mencengkram selimut. Apalagi sekarang? Jika tadi dia melihat mendiang orangtuanya, sekarang dia melihat Vanka dan Kyra bermesraan sambil bersandar di daun pintu. Bibir dua orang itu saling menempel. Agha yang mulanya ketakutan, mendadak jadi emosian. Dia bangun dari kasur menuju tempat dua orang itu.
Agha berlari ke arah Vanka dan hendak menarik sepupunya itu menjauh dari Kyra. Tetapi tak ada yang Agha dapatkan kecuali kekosongan. Tentu saja, Vanka dan Kyra tak benar-benar nyata di sana. Dua figur itu menghilang.
"Bangsat! Sialan anj*ng!" raung Agha.
Napas Agha ngos-ngosan. Mendadak, Vanka dan Kyra muncul lagi dalam pandangan Agha. Dua orang itu tiduran di kasur Agha. Mereka bercumbu di sana. Agha tak terima. Agha menarik selimut dan mengacak-acak tempat tidur sampai dua orang yang sangat dibencinya itu menghilang dari penglihatannya. Agha tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Agha benar-benar tidak baik-baik saja.
Sasaran Agha sekarang adalah dinding. Agha memukul-mukul dinding sampai tangannya kemerahan. Sudut mata Agha mengeluarkan air mata. Agha tidak tahan. Rasa sakit di dadanya lagi-lagi datang. Agha lelah dengan semuanya.
Menyedihkan! Kata yang terus muncul dalam pikiran Agha. Tak bisa disingkirkan. Dia berjalan ke arah nakas. Ada gelas di sana. Agha mengambil benda itu dan melemparnya ke dinding. Gelas pecah berserakan di lantai. Kondisi VIP Room yang dihuni Agha itu sangat memprihatinkan saat ini; berantakan.
Tak lama, pintu terbuka. Gale dan Dokter Lena masuk ke sana. Kamar itu memiliki CCTV. Jadi bisa dipantau. Sehingga perawat dan dokter bisa mengambil tindakan dengan cepat apabila pasien berada dalam kondisi urgent.
"NGAPAIN KALIAN DI SINI?!" murka Agha sambil menatap Gale dan Dokter Lena bengis.
Gale membuat gesture agar Agha tenang. Tetapi tak semudah itu. Agha mencoba memukuli Gale walau tak berhasil. Gale sigap menangkap Agha dibantu oleh Dokter Lena.
"Tenang Agha. Tenang," kata Dokter Lena dengan suara lembut.
Tubuh Agha melemas. Saat itulah kesempatan untuk Dokter Lena memberi obat penenang untuk Agha.
***
"Atha, teh botol satu ya!" kata seorang berseragam perawat.
Reatha mengangguk. Mengambil teh botol dan menyerahkan itu pada perawat tadi. Usai itu, Reatha melirik ke arah jam di dinding kantin. Hari telah sore. Akan tetapi, kenapa Reatha tak kunjung bertemu dengan Agha? Reatha berharap sekali Agha datang ke kantin rumah sakit jiwa itu sekarang juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIP BAD BOY (END)
Roman pour AdolescentsAgha, cowok bad boy yang seharusnya fokus pada akhir masa SMA dan ujian masuk perguruan tinggi malah mendekam di rumah sakit jiwa. Trauma atas kematian orangtuanya menjadi penyebab utama. Lalu pacar yang sangat dicintai Agha hamil anak sepupunya. Di...