"Kenapa mukanya kegores gitu? Habis berantem sama siapa? Sama Vanka lagi? Karena apa?" Reatha menginterogasi Agha sejak sang pacar mendaratkan pantatnya di kursi seberangnya.
Agha menatap sekilas ke arah Rona yang mengantar sepiring nasi goreng ke laki-laki berseragam perawat tak jauh dari meja yang dia tempati bersama Reatha. Lalu baru Agha menjawab, "Bukan sama Vanka."
Tangan Agha menaruh buku cetak dan catatannya ke atas meja. Juga satu pulpennya yang berharga jutaan rupiah. Maklum, pulpen orang kaya. Bukan pulpen rakyat jelata yang harganya dua ribuan. Reatha sih pakainya yang opsi rakyat jelata. Maklum ya, bukan anak konglomerat. Keberadaan ayahnya saja tidak tahu di mana.
"Terus sama siapa? Gak mungkin kan kamu goresin muka pakek tangan sendiri kecuali kalo lagi enggak sadar pas tidur?" Reatha bertanya lagi. Pertanyaannya tak akan berakhir sebelum mendapatkan jawaban.
"Jadi gini ceritanya." Agha melipat kedua tangannya di atas meja. Pandangannya lurus ke wajah Reatha. "Sebelum ke sini aku kan berhenti depan Alfamart mau beli cemilan buat kita belajar. Baru aja aku turun dari motor terus datang seorang bapak-bapak mirip dukun tanya alamat toko barang antik. Nah bapak-bapak itu ngomongnya deket banget sama muka aku."
"Terus, terus gimana lagi?" Reatha tak sabaran.
"Denger dulu! Jangan potong," pinta Agha.
"Iya, sorry, Gha."
"Sumpah ya, mulut bapak itu bau banget. Aku udah gak tahan. Terus aku bilang gini, ‘‘Mulut Bapak bau tai. Habis makan tai, ya?” Tiba-tiba bapak mirip dukun itu mukul wajah ganteng ini. Mana di jari tangannya ada cincin giok ijo lagi," lanjut Agha sambil mengingat kejadian sepuluh menit lalu.
"Ngakak woi! Hahahaha..." Reatha meledakkan tawanya. Dia bengek sendiri apalagi melihat wajah serius Agha kala bercerita. "Hahaha. Habis itu kamu minta maaf, gak?"
Agha menggeleng dengan ekspresi polos macam bayi. "Gak, lah. Langsung kabur aku. Takut dikirim santet. Terus mood aku buat beli cemilan ilang."
"Dosa banget kamu, Gha. Besok-besok tegurnya pakek bahasa halus. Kan takutnya sakit hati orang kalo kamu ngomong gitu." Reatha menasihati.
"Tapi kan aku jujur, Atha. Luar biasa bau mulutnya. Kalo udah gak tahan mana bisa mikir."
"Dihalusin lagi bahasanya, Agha."
"Contohnya gimana? Apa gini, “Mulut Bapak bau kentut. Habis makan kentut ya, Pak?” Gitu maksudnya? Kan kentut lebih halus daripada tai."
"Agha." Reatha memberikan ekspresi datar di wajahnya. "Gak gitu konsepnya, Gha! Bikin emosi jiwa aja nih bocah. Maksudnya bahasa yang sopan!"
"Kan jujur lebih baik."
"Udah, Gha. Kita buka buku aja. Gak usah bahas itu lagi. Besok ujian Matematika sama Fisika. Mampus kalo gak bisa jawab." Reatha membuka buku cetaknya.
Agha akhirnya terdiam. Dia pun membuka buku cetaknya. Kali ini Agha serius belajar. Agha mengajari Reatha pada materi yang tidak bisa ceweknya itu pahami. Antara keduanya, Agha lebih pintar ketimbang Reatha. Secara Agha kan bersekolah di International School sejak SD sampai SMA. Ini tahun pertama sekaligus terakhir Agha mengenyam bangku sekolah negeri biasa. Selama pembelajaran di kelas Agha juga sering kali menjawab pertanyaan dari guru hingga maju menyelesaikan soal perhitungan di papan tulis. Dia siswa yang aktif dan pintar.
Sudah pintar, cakep, kaya raya lagi. Kalau kata Reatha, kekurangan Agha cuma nakal, suka mikir dan ngomong kotor.
Melihat dua remaja itu fokus belajar, Rona tersenyum tipis di ujung kantin. Beberapa saat kemudian Rona membuatkan jus jeruk untuk keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIP BAD BOY (END)
Teen FictionAgha, cowok bad boy yang seharusnya fokus pada akhir masa SMA dan ujian masuk perguruan tinggi malah mendekam di rumah sakit jiwa. Trauma atas kematian orangtuanya menjadi penyebab utama. Lalu pacar yang sangat dicintai Agha hamil anak sepupunya. Di...