38 Dramatis

2.3K 508 72
                                    

= = =

Haechan menggeleng-geleng sebal. Beberapa kali mendengus melihat kakak satu-satunya yang merengek di dalam kamar. Masih perkara cincin yang hilang.

Haechan sendiri, sedari tadi juga berpikir keras mengenai kemana kah perginya cincin yang tersemat di jari manisnya Ellise. Dia sudah mencerna bahkan menganalisis kisahnya Ellise.

Mulai dari apa saja yang dilakukan Ellise di kafe tersebut, baik itu setiap detik atau menitnya. Apakah saat makan dia tidak sengaja melepaskan cincin? Atau saat ke toilet dan membuat cincinnya masuk ke lubang kloset?

Rasanya dramatis sekali. Tapi yang lebih drama adalah, Ellise yang baper perkara cincin itu. Padahal Haechan pikir, Doyoung akan dengan mudah membelikan yang baru. Jangankan cincin, rumahpun bisa dibeli.

Tapi kenapa?

Haechan mencoba memaklumi setelah mendengar kisah Ellise kalau cincin itu tanda bukti dari Doyoung. Haechan mencoba untuk tabah, sabar dan menahan diri ketika Ellise merengek-rengek karena khawatir, gelisah atau kesal sekalipun.

Tapi, ini sudah jam 10 malam. Dan Ellise tidak kunjung berhenti bergerak gelisah kesana kemari mengelilingi ruang tengah. Sambil beberapa kali menghubungi teman yang katanya pemilik kafe tadi.

Si pemilik kafe berusaha untuk mencari lagi, tetapi malam ini kafe terlalu ramai dan para karyawan sibuk. Mau tidak mau menunda pencarian besok.

Udah macam Team SAR aja.

"Mbak, mending tidur deh." Haechan duduk santai di sofa dengan tangan yang menumpu dagu. Dia memandang malas pada Ellise yang terus mondar-mandir menghalangi pandangannya terhadap film yang mau dia tonton.

"Nggak bisaaa! Mbak nggak bisa tidur! Kalo kebawa mimpi gimana??? Cincinnya nggak pernah ketemu dan Mas marah banget sama Mbak terus ninggalin Mbak??? Gimanaaaa?!!!"

Haechan mendengus malas. "Mbak kebanyakan nonton drama genre angsat. Makanya nethink mulu. Kan udah Adek bilang, Mas nggak mungkin marah cuman perkara cincin doang. Palingan nanti dibeliin yang baru."

Ellise mendecak. Dia berhenti dan menghadap penuh pada Haechan dengan wajah garangnya.

"Mbak udah jelasin 'kan? Itu hadiah berharga yang dikasih Mas ke Mbak. Lebih dari uang yang dia keluarin tiap hari ke Mbak. Itu berarti banget buat Mbak, Mbak nggak bisa khawatir kalo Mas bisa kecewa karena cincinnya hilang!" Ellise menghela napas, dadanya kembang-kempis akibat terlalu membuang tenaga untuk sekedar bertutur.

"Iya tau iya, sampe udah diluar kepala ini cerita Mbak tentang tuh cincin," ujar Haechan malas, membuat Ellise semakin menatap garang Haechan. "Tapi itu cuman prasangka Mbak aja. Mbak sendiri yang paling tau Mas gimana. Mana mungkin kecewa marah atau sebagainya. Emang Mbak sendiri pernah liat Mas marah atau kecewa sama Mbak? Bahkan yang Adek denger dari Mas Jaehyun dan Mbak Rose, Mbak itu suka tarik ulur Mas Doy, ngegantung, terus suka bikin cemburu. Tapi apa? Masih baik aja kan??? Ini cuman Mbak nya aja yang baperan. Mending istirahat deh, stop telpon temen Mbak terus rebahan di kamar aja. Siap-siap besok Ayah jemput kita balik."

Ellise diam. Wajah garangnya perlahan menghilang, dan dia menunjukan ketenangan. Perlahan pula, dia merunduk, diam sesaat sebelum akhirnya berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu dengan keras dan menguncinya.

Melihat itu, Haechan keheranan. Atensinya benar-benar teralih pada pintu kamar Ellise yang baru saja terdengar pintu terkunci. Dia mengerjap-ngerjap, memiringkan kepala, yang kemudian menghela napas kecil.

Jujur, sebenarnya dia juga khawatir. Sempat muncul pikiran negatif seperti apa yang dipikirkan Ellise. Namun keyakinannya bahwa itu tidak akan terjadi lebih mendominasi dalam benak. Toh dia juga percaya dengan Doyoung. Terlebih, selama Doyoung tidak ada Doyoung rutin menghubungi Ellise atau dirinya.

Hi, Dos! || DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang