= = =
Ellise menghela napas ketika dirinya membuka pintu kamarnya. Dia melirik sejenak pada Haechan yang berlalu tanpa bicara menuju kamar, menutup serta menguncinya. Seakan tidak mempersilahkan siapapun untuk masuk atau bahkan sekedar menyapa.
Beberapa saat memasuki rumah, keadaan rumah jelas saja sunyi. Prita sudah mengatakan bahwa dia pergi keluar kota dan akan pulang malam ini. Doni pun saat sampai tidak bersinggah, karena tidak bisa lama-lama beliau pamit pergi.
Tanpa mencoba untuk berbicara pada Haechan. Bahkan selama perjalanan, hanya ada keheningan. Selama 2 jam perjalanan, bukannya santai malah tegang karena situasi yang mencengkam. Haechan tidak berbicara dan hanya main ponsel, lalu tidur. Begitupun Doni. Kedua laki-laki itu sama sekali tampak tidak ingin mengalah.
Bahkan singgah sejenak hanya untuk membeli jajanan di Derimart. Mereka berdua tidak ada berbicara, selain Ellise bertanya mengenai apa yang mau mereka beli. Itupun disahuti cuek tanpa minat. Selama itu, Ellise merasa sangat lelah. Padahal dia tidak banyak bergerak apalagi mengeluarkan tenaga selain menangis semalam.
Ellise menutup pintu kamarnya, berjalan sambil menenteng tas nya dan melemparkan pada samping ranjang. Dia pun menghempaskan diri di atas ranjang. Menghela napas berat seraya menatap langit-langit kamar.
Pundaknya kembali memberat lagi. Kali ini melebihi beban yang pernah Ellise tampung.
Ellise mencoba untuk berpikir secara alami, netral tanpa paksaan. Tidak ingin menekan batinnya hingga menyesakkan. Dari yang sudah ia pelajari, Ellise hanya perlu menerima. Menerima apa yang sudah terjadi, tidak perlu menyangkal ataupun mencari-cari sesuatu untuk membuat celah yang masuk akal. Dia tidak ingin hal itu membuatnya stress dan berakhir seperti dahulu.
Namun, kenapa hidupnya drama sekali ya? Seakan masalah tiada habisnya. Ketika dia sudah merasa bahagia, ada saja hal yang mengusiknya.
Kalau begini terus, Ellise justru tidak bisa menerima, dan akan menyangkal karena terlalu lemah untuk menghadapinya. Walau dia punya support system sekalipun.
"Support system ...."
Omong-omong, mengingat penuturan Haechan. Ellise betuntung masih ada orang yang menjadi support system untuknya survive. Namun Haechan tidak?
Apakah memang selama ini tidak ada yang berada di sisi Haechan bahkan teman sekalipun?
Memikirkannya, membuat Ellise merasa bersalah. Selama ini, dia berfokus pada masalahnya sendiri, dia tidak melihat bagaimana orang-orang tersayang di sekitarnya. Apakah mereka baik atau tidak?
Sudah cukup Ellise merasa bersalah akibat kejadian masa lalu yang cukup berdampak pada orang-orang di sekitarnya. Namun ternyata ada yang lebih tidak disadari oleh siapapun. Bahkan hanya terpendam.
Ellise merasa sedih. Dia mulai merasa tidak berdaya. Yang dia tahu, Haechan itu walau sengak, sembrono dan seenaknya, dia bukan tipikal anak yang kuat-kuat banget. Karena umur mereka hanya terpaut 4 tahun. Ellise sempat menghabiskan waktu bermain dengan Haechan waktu kecil. Dia tahu Haechan itu pintar bersembunyi, tetapi tidak pintar menahan. Hatinya sangat lembut, mudah tergores yang membuatnya jadi anak cengeng.
Tapi karena itu, Haechan jadi tumbuh dewasa. Dia jadi pintar menyembunyikan perasaannya. Lebih tepatnya, Haechan di dewasakan oleh keadaan.
Hal ini benar-benar menyayat hati Ellise. Dia pun sama, harus menjadi dewasa karena keadaan. Namun dia pikir, hanya dia saja yang mengalaminya, tetapi Haechan juga. Jelas saja, Ellise tidak ingin Haechan merasakan hal yang pernah dia rasa. Tertapi, ternyata, Haechan sudah merasakannya. Namun hebatnya, dia bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Dos! || Doyoung
Fanfiction[END] Katanya sih, dia galak. Dosen ganas yang kalau papasan aja, udah bikin sesek napas. Tetapi sebenernya, dia cuman manusia biasa yang sedang bucin sama salah satu mahasiswa. ~~~ started: 150421 ends: 040322 ©deeriyum [!!!] - Hanya kisah manis...