-K-

1K 161 11
                                    

Nenek Seokjin baru kembali ketika matahari sudah tenggelam. Beliau langsung memanggil nama Seokjin begitu masuk ke dalam rumah dengan suara paling manis. Seperti memanggil kucing kesayangan yang selalu dimanja dan disayang oleh sang pemilik. Seokjin pun segera berlari menghampiri neneknya dan memeluk tubuh beliau dengan erat.

Sementara itu, Namjoon yang melihat mereka dari belakang punggung Seokjin hanya berdiri menatap mereka dengan kedua tangan menumpuk sopan di depan tubuh. Nenek Seokjin yang kegirangan melihat cucunya pulang, malah lebih girang melihat Namjoon yang langsung dia peluk dengan hangat. Meski beliau sudah tak lagi muda, kekuatan dan suaranya masih kuat dan jelas seperti anak muda. Namjoon sampai terkejut merasakan bagaimana eratnya sang nenek memeluknya.

Pertemuan yang mengharukan antara sang nenek dan cucunya membuat mereka melupakan keberadaan Miguk yang sejak tadi berdiri menunggu di depan pintu. Dia dengan sabar menunggu sang nenek menyadari keberadaannya yang terlupakan, sambil menahan beban rantang makanan di kedua tangan yang lama-lama semakin berat.

Nenek Kim membawa pulang banyak lauk dari kedai untuk santapan makan malam cucu-cucunya. Beliau sampai menyuruh Miguk membakar daging untuk Seokjin yang beliau bilang, “Cucu tersayang yang jarang pulang.”

Tak banyak yang mereka bicarakan malam itu. Sang nenek segera pergi tidur setelah menyuruh Miguk membakar daging. Dan Miguk yang langsung pulang setelah selesai melakukan tugasnya. Meninggalkan sang cucu pemilik rumah dan tamunya berdua di meja makan, menghabiskan makan malam yang hampir habis.

Begitu mereka selesai makan, mereka berdua segera bangun dari tempat duduk dan membereskan piring-piring kotor untuk dicuci besok pagi. Namjoon sebenarnya bersikeras ingin mencuci sekarang, tapi Seokjin mencegahnya dengan mengatakan sebuah mitos lama yang dipercaya neneknya soal mencuci malam-malam. Jadi, daripada menciptakan masalah, Namjoon memilih menurut saja.

“Oh ya, Joon. Aku lupa bilang padamu tentang kamar tidur,” ucap Seokjin sontak berbalik, tapi langsung memalingkan mata begitu pandangan mereka saling bertemu.

“Aku juga lupa bertanya. Jadi, malam ini aku tidur di mana?” tanya Namjoon tanpa sadar bicara dengan cepat.

“Sepertinya… rumah ini sudah lama tidak menerima tamu, jadi seluruh kamar tamu sangat kotor dan berdebu. Pun karena waktu sudah terlalu malam, kupikir kau sebaiknya tidur di kamarku dulu hari ini.”

Namjoon mengangguk-angguk saja, tapi sedetik kemudian alisnya mengerut. “Kalau aku tidur di kamarmu, kau tidur di mana?”

“Di kamarku. Kau tidur bersamaku malam ini.”

Jujur, memeluk Seokjin dan tidur bersamanya bukanlah yang pertama kalinya mereka lakukan. Namjoon sudah dua kali memeluknya yang mana keduanya terjadi atas keusilannya. Satu di rumahnya, dan satunya lagi di perpustakaan. Kemudian untuk pengalaman tidur bersama, pernah juga mereka lakukan di apartemen Namjoon. Semua imajinasi yang diekspetasikan itu benar-benar sudah dilakukan oleh mereka berdua.

Kalau sudah begitu, bukankah seharusnya tak ada lagi rasa canggung yang terasa di
antara mereka?

Nyatanya, setelah Seokjin mengiyakan permintaan Namjoon tadi siang, suasana di
antara mereka berubah samgat canggung. Sampai menatap mata satu sama lain saja
rasanya aneh dan mendebarkan secara bersamaan.

Masih terbayang saat-saat sepuluh menit yang mendebarkan di ruang tamu tadi. Seokjin yang mengiyakan permintaannya, Namjoon yang memeluk dan menenggelamkan wajahnya di perut Seokjin, dan mereka yang bertahan di posisi yang sama selama sepuluh menit lamanya tanpa bicara sama sekali. Hanya suara degup jantung yang menggantikan peran mulut mereka.

Namjoon yang berpikir malam ini akan menjadi jalan pelariannya dari kenyataan di
siang hari, ternyata harus menerima kenyataan lain kalau dia masih akan bersama Seokjin hingga pagi menjelang.

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang