-V-

801 121 3
                                    

Tiga puluh menit yang mendebarkan, duduk bersama ibu dan ayah Namjoon di satu meja makan, akhirnya berakhir. Selama itu pula Seokjin tak yakin apa perutnya bisa mencerna dengan baik semua nasi yang masuk. Padahal masakan ibu Namjoon semuanya enak, meski beliau mengaku hampir tak pernah memasak dan sudah lupa bagaimana caranya mencampur bumbu dan bahan masakan.

Seokjin pernah membayangkan dirinya yang memperkenalkan diri dan bercengkerama dengan keluarga Namjoon di masa depan. Dia yang datang dengan pakaian terbaik miliknya dan rambut yang ditata rapi, sembari membawa buket bunga besar untuk ibu Namjoon dan makanan kesukaan untuk ayah Namjoon. Kemudian Seokjin akan mencoba mengambil hati mereka berdua dengan keceriaan dan kesiapan hatinya. Itu yang ada direncanakan Seokjin.

Sayangnya, rencana yang dibayangkan lebih banyak dipatahkan oleh rencana Yang Maha Kuasa. Contohnya seperti apa yang terjadi pada Seokjin pagi ini. Dia menghadap ke kedua orang tua Namjoon dengan keadaan baru bangun tidur serta baju dan rambut yang kusut meski sudah beberapa kali disisir. Seokjin yakin dirinya tak tampan sama sekali pagi ini.

“Kau baik-baik saja?” tanya Namjoon berbisik, khawatir melihat sang pacar yang tampak tegang.

“Aku baik-baik saja,” jawab Seokjin cepat, mencoba meyakinkan Namjoon dengan senyum kotaknya.

Seharusnya begitu. Tapi, cara duduk Seokjin yang terlalu tegak, kedua tangan yang mengepal di atas paha yang saling menempel tanpa celah, sama sekali tidak menggambarkan ketenangan yang sedetik lalu diucapkan. Namjoon tersenyum saja melihat tingkahnya yang menggemaskan itu.

Berada di tengah-tengah keluarga kecil Namjoon selama setengah jam merubah Seokjin menjadi seorang pengamat. Keluarga Namjoon sangatlah berbeda dengan keluarga Seokjin di rumah. Keluarga kecil yang tak punya anak tertua maupun termuda ini didominasi oleh ketenangan dari sang kepala keluarga yang serius sekali menatap tablet pintar di tangan. Sementara itu, sang ibu dengan gesit menyiapkan segala jenis makanan ke atas meja dan juga semangkuk nasi ke masing-masing orang yang sedang menunggu di kursinya. Melihat betapa sibuknya beliau membuat Seokjin segan dan ingin membantu, tapi Namjoon menahannya dengan gelengan.

Selama sarapan, tidak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut orang tua Namjoon. Begitu juga dengan Namjoon, dia hanya diam dan menikmati makanannya dengan lahap. Hanya suara dentingan sumpit dan sendok yang beradu dengan mangkuk nasiyang mengisi keheningan di meja makan.

Sungguh. Keadaan pagi keluarga ini sangat berbeda dengan keluarga Seokjin.

“Aku baru pertama kali lihat ada keluarga yang begitu pendiam saat sarapan.”

Namjoon sontak menoleh begitu Seokjin mengeluarkan isi hatinya tentang keluarganya, pun tersenyum mendengus sebelum menjawab. Mereka berdua kini duduk bersebelahan di atas sofa, hanya berdua saja, setelah orang tua Namjoon meninggalkan mereka untuk pergi bekerja.

“Benar-benar berbeda dengan keluargaku,” tambah Seokjin lagi.

“Oh ya? Sejauh apa perbedaannya?”

“Keluargaku punya empat anggota termasuk diriku.” Seokjin meletakkan gelas jusnya ke
atas meja coffee table. “Ayahku sangat senang bicara bahkan saat di meja makan. Beliau senang sekali membicarakan kejadian-kejadian di kantornya dengan jenaka. Padahal kalau dipikir lagi, ceritanya sama sekali tidak selucu yang seharusnya. Ibuku juga tak jauh berbeda. Beliau suka menanggapi seluruh cerita ayah, dari yang seru sampai yang tidak penting sekalipun. Adikku, Soobin, juga tak kalah ributnya. Tapi, dia lebih suka membuatku mengomelinya dan meneriakinya karena keisengannya memindahkan sayuran ke atas nasiku. Dia benci sayuran tapi bisa lebih tinggi dariku. Menyebalkan.”

Seokjin yang terlampau ekspresif berhasil menerbitkan senyum Namjoon. Dia sampai
perlu merubah posisi duduknya menjadi miring dengan sisi tubuh menyender pada
punggung sofa. Sementara lengannya dia letakkan di sisi atas sofa sembari mengepalkan tangan untuk dijadikan tumpuan pelipis.

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang