-R-

849 127 1
                                    

Satu hal yang aneh dari Namjoon ketika dia akhirnya berpacaran dengan Seokjin, adalah sifatnya yang ternyata haus afeksi.

Bukan Namjoon yang meminta Seokjin untuk memeluknya, menciumnya, atau bermainmain dengan lesung pipinya yang menggemaskan. Tapi, Namjoon yang terus-terusan memberikan afeksi untuk Seokjin dengan berbagai macam sentuhan. Terlebih kalau mereka sudah berdua saja, tanpa ada siapapun di sekitar. Namjoon akan melakukan banyak cara untuk mengalihkan perhatian Seokjin yang selalu berusaha menganggap hubungan mereka tidak jauh berbeda seperti saat berteman.

Contohnya ketika Seokjin belajar di apartemen Namjoon. Berdua saja. Tanpa ada anggota keluarga lainnya yang berlalu lalang di rumahnya.

Seokjin sedang fokus menuliskan laporan penelitian kecilnya yang mana juga jadi bagian tugas kelompoknya dengan Namjoon. Seokjin yakin Namjoon juga sedang fokus mengerjakan laporan ulasannya soal film terbaru yang dia tonton untuk tugas kuliah lainnya. Untuk beberapa jam ke depan, Seokjin yakin Namjoon tidak akan berpikir untuk mengganggunya seperti biasa.

Tapi, ternyata keyakinan itu salah.

Namjoon tiba-tiba memeluk perut Seokjin dan berbaring di belakang punggungnya. Lengannya yang erat memeluk Seokjin membuat gerakan jemarinya yang bergerak cepat di atas papan ketik terhenti begitu saja. Seokjin tahu kalau Namjoon sudah seperti ini berarti antara tugasnya sudah selesai atau niatnya yang untuk menyelesaikan tugas.

“Capek.”

Paham. Kalau Namjoon sudah mengeluh capek berarti tugasnya belum selesai dan niatnya sudah hilang. Tapi, kalau dia mengeluh lapar berarti tugasnya sudah selesai dan dia butuh energi baru untuk mengerjakan kegiatan lainnya.

Dua-duanya tidak ada beda. Mau capek atau lapar, Namjoon akan tetap menggelayutkan badannya dengan manja pada Seokjin bak anak koala yang butuh perhatian induknya. Seokjin sampai tak bisa membedakan Namjoon dengan anak koala saking miripnya kelakuan dua makhluk ini. Sama-sama suka bermanja ria.

“Capek.”

“Tidur.”

“Denganmu?”

“Mimpi!”

Namjoon langsung mengaduh sakit akibat kepalan tangan Seokjin yang reflek memukul kepalanya.

“Jangan ganggu aku. Tugasku masih banyak. Kau tidak ingat tugas siapa yang sedang
aku kerjakan sekarang? Tugas kelompok kita. Tugas kita berdua. Jadi, kalau kau
menggangguku, sama saja meminta namamu dikeluarkan dari grup.”

Namjoon sontak mengernyit sambil mengangkat kepala. “Kenapa kau jadi marah?”

Benar juga. “Maaf.”

Seokjin jadi malu sendiri.

Mereka berdua kembali diam dengan kegiatan masing-masing. Seokjin yang kembali menuliskan isi laporannya, dan Namjoon yang menyamankan tangan dan kepalanya di belakang punggung sang pacar. Seokjin mengira Namjoon sudah tidur. Tapi, sebenarnya dia masih bangun, tampak sedang berpikir dan membayangkan sesuatu yang entah apa itu.

“Seokjin.”

“Hmm.”

Suara papan ketik memenuhi ruangan yang hening. Hingga beberapa menit berlalu
akhirnya yang sedang berbaring pun membalas dengan satu pertanyaan.

“Kau pernah khawatir akan masa depan?”

Lagi-lagi jemari Seokjin berhenti mengetik, lantas menurunkan tangan dan menoleh ke
bawah. Melihat wajah Namjoon yang menatap kosong ke arah depan dengan ekspresi agak sendu.

“Tiba-tiba?”

“Kepikiran saja. Apa rencana masa depanmu, Jin?”

“Hmm.” Seokjin lumayan berpikir panjang memikirkan pertanyaan yang terlalu tiba-
tiba ini. “Tidak tahu. Aku hanya ingin dapat pekerjaan begitu wisuda. Setelah itu, aku
akan memikirkannya nanti. Kalau kau?”

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang