-N-

844 150 6
                                    

Sepertinya rumor Namjoon dan Seokjin yang saling benci satu sama lain sudah tersebar sampai ke fakultas sebelah. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada mereka sampai atmosfir yang tercipta di antara mereka hanyalah kesuraman dan saling benci yang tak bisa diredakan. Tapi, beberapa orang yang tak sengaja melihat mereka berdua bicara di luar gedung saat freshman party, membuat mereka yakin dari sanalah mulainya kebencian antara dua mahasiswa paling populer seantero kampus.

Lucunya, mereka berdua ditempatkan di semua tugas kelompok, entah dengan cara diundi atau dibentuk karena nomor absen. Dengan hubungan mereka yang sama sekali tidak akur, bayangkan bagaimana teman-teman sekelompoknya harus bersikap. Tegang, canggung, kaku, dan takut-takut ingin bicara. Terlebih saat mereka sudah mulai berdebat satu sama lain.

Namjoon dan Seokjin itu senang sekali berdebat. Bahkan untuk hal-hal yang tak penting sekalipun. Mereka juga senang saling sinis dan menatap tajam satu sama lain seperti seekor harimau dan singa yang berebut daerah kekuasaan. Tak heran suasana diskusi lebih banyak didominasi oleh ocehan mereka, sementara anggota yang lain hanya mengangguk saja.

Tak hanya itu. Namjoon dan Seokjin juga beberapa kali—entah sengaja atau tidak— duduk bersebelahan di dalam kelas. Yang jelas mereka tak saling sapa, seolah-olah tidak ada orang di sebelah mereka.

“Kau ada masalah apa dengan Seokjin?”

“Apa?”

Namjoon menolehkan kepalanya sedikit ke Hoseok yang duduk di sampingnya, tapi tanpa mengalihkan pandangannya dari buku di bawah tangannya. Dia sedang menyalin catatan Hoseok yang tak sempat dia salin di kelas kemarin.

“Kau ada masalah apa dengan Seokjin, Kim Namjoon?” tanya Hoseok mengulang dengan nada bersabar.

“Tidak.” Namjoon menjawab cepat. “Kami tidak ada masalah apa-apa.”

“Kau yakin?” tanya Hoseok tak percaya. “Tapi, kulihat kalian seperti dua orang yang punya dendam di masa lalu sampai tak sudi menatap satu sama lain.”

“Serius. Aku tidak punya masalah apa-apa dengannya. Hidupku sudah cukup sibuk sekarang. Tidak ada waktu untuk mencari lawan,” jawab Namjoon santai.

Sayangnya, Hoseok itu bukan tipe yang mudah menyerah yang akan langsung mengangguk dan menerima begitu saja.

“Oh ya?” Hoseok menyipit tak percaya. “Tapi, kenapa aura Seokjin terlihat ingin
membunuhmu sekarang?”

Namjoon pun menoleh, menatap Hoseok dengan tatapan bingung, lalu mengikuti arah jari telujuknya yang menunjuk ke belakang punggung Namjoon. Dia sontak terkesiap menemukan Seokjin yang sedang berdiri di tangga penurunan kelas, memeluk laptop dan buku-bukunya, sambil menatap Namjoon dengan tatapan tajam.

“Pastikan saja kalian tak saling meninju satu sama lain, ya,” Hoseok menepuk-nepuk
bahu Namjoon, berusaha memberikan kekuatan yang sama sekali tak menguatkan.

Seokjin membawa Namjoon ke sebuah ruang khusus diskusi yang letaknya tak jauh dari ruang kelas. Namjoon kira dia sudah terlambat dan Seokjin datang untuk menyeretnya. Tapi, ternyata mereka masih punya waktu satu jam lagi sebelum kegiatan diskusi dimulai.

Waktu yang cukup untuk menyelesaikan catatan yang baru setengah ditulis. Pun waktu yang cukup untuk mengisi perut dengan beberapa makanan sebelum bertemu muka dengan Seokjin. Entah kenapa rasanya butuh banyak makanan sebelum berdebat dengannya.

“Masih ada waktu untuk makan. Bisa aku pergi dulu?” Namjoon melirik jam tangannya dan Seokjin yang duduk di depannya secara bergantian.

Tiba-tiba saja Seokjin bangkit dari kursinya dan pergi dari kelas sembari berkata, “Biar
aku yang belikan.”

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang