-Y-

814 130 11
                                    

Tak ada satupun hal yang keluar dari mulut mereka berdua dan hanya terus bergandengan tangan menuju apartemen. Tak peduli dengan pandangan orang-orang yang sempat berpapasan dengan mereka berdua dan melihat bagaimana dua orang pria dewasa saling menggandeng seperti anak kecil. Mereka sama sekali tak peduli. Yang Namjoon pedulikan sekarang adalah Seokjin dan suasana hatinya yang kacau, sampai di titik Seokjin tak lagi punya kekuatan untuk bicara apa-apa dan hanya mengikuti kemana Namjoon membawanya pergi.

Begitu mereka sampai di apartemen, Seokjin tiba-tiba jatuh terduduk di depan pintu sambil menyenderkan sisi badannya pada dinding. lagi-lagi belum ada kata yang keluar dari mulut Seokjin kecuali suara hembusan napasnya yang mengeluh dan mengerang seperti orang kelelahan.

Namjoon pun berjongkok, membukakan tali sepatu Seokjin dan memasangkan sandal rumah untuknya. Dia juga menggendong Seokjin dengan menyelipkan tangan pada bawah lutut dan lehernya, membawa sang pacar yang setengah sadar untuk masuk ke dalam kamar. Perlahan-lahan membaringkannya di atas ranjang dan membukakan jaket Seokjin agar bisa tidur lebih nyaman.

“Namjoon.”

Kelopak mata Seokjin membuka sayu, menatap Namjoon yang sedang menyelimutinya sampai ke bahu. Bibirnya cemberut dan lagi-lagi meraung.

Namjoon lagi-lagi diam, menunggu Seokjin melanjutkan ucapannya sembari duduk di tepi ranjang dan merapikan helai rambut yang menutupi wajahnya dengan jemari. Sentuhan itu membuat Seokjin terganggu dan mengernyitkan alis sebelum memindahkan tangan Namjoon ke dalam genggamannya. Menjadikan telapak tangan itu sebagai bantalan pipi Seokjin yang dingin.

“Namjoon…” Lagi-lagi Seokjin hanya memanggil namanya. “Namjoon… Kim Namjoon… Astaga… Kau benar-benar…”

Bibir Seokjin kembali cemberut, melepaskan tangan Namjoon dari genggamannya. Membiarkan Namjoon menarik tangannya kembali dan bangun dari kasur. Langkahnya bergerak untuk ikut berbaring di samping Seokjin, masuk ke dalam selimut dan memeluknya hati-hati dari belakang.

Hembusan napas Seokjin terdengar begitu teratur dan tenang. Kelihatannya dia sudah tidur.

Entah kenapa diamnya Seokjin membuat Namjoon tak tenang. Seokjin seperti menahan diri untuk tidak meledak dalam keadaan mabuk yang mana bisa membuatnya takterkontrol sama sekali. Padahal dia berharap Seokjin menumpahkan seluruh kesalnya. Namjoon takkan marah sama sekali kalau pada akhirnya Seokjin memukulnya sampai
babak belur. Dia merasa pantas dimarahi, pantas dipukuli, pun pantas dapat caci maki.

Namjoon sadar kalau dia sudah begitu jahat beberapa minggu ini. Meninggalkan Seokjin
sendiri, tak punya waktu untuk menemani, pun terbit satu penyesalan yang membuat
Namjoon gamang apakah keputusannya ini benar atau tidak. Membuat Namjoon
membenci diri sendiri karena harus memilih di antara keduanya: hubungannya atau kegiatan barunya.

Namjoon sadar tak seharusnya dia gamang karena dua hal ini. Dia bisa menyusun
semuanya dari ulang, bukan menghilangkan salah satunya.

Di tengah kegamangannya itu, Seokjin bangun dan duduk di atas kasur dengan kepala menunduk. Namjoon panik melihat Seokjin yang merintih pelan sambil menekan salah satu pelipisnya.

“Perutmu baik-baik saja? Ingin minum air putih? Aku ambilkan.”

Seokjin mengangkat tangannya, memberhentikan niat Namjoon yang hendak bangkit dari kasur dan mengambilkan minum. Lantas Seokjin menoleh, membenarkan letak duduknya menghadap Namjoon, setelah itu berusaha untuk bisa duduk tegak meski kepala rasanya agak berat dan minta dibaringkan saat itu juga. Tapi, Seokjin tahan. Ada
yang harus dikatakan dan diluruskan malam ini.

“Buat aku yakin, Joon.” Seokjin berucap dengan ekspresinya yang serius.

“Apa?”

“Buat aku yakin untuk tinggal bersamamu, Joon.” Seokjin menghela napas. “Lakukan
apapun.”

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang