-L-

965 148 13
                                    

Badai kecanggungan yang terjadi tadi malam tampaknya telah usai begitu pagi datang. Mereka berdua bangun dan saling menyapa satu sama lain seolah-olah yang tadi malam tidak terjadi. Mereka juga duduk berdampingan di meja makan, kembali memperhatikan satu sama lain seperti biasa, pun masih berdebat satu sama lain, seolaholah yang tadi malam hanya mereka lalui dengan tidur.

Sikap mereka ini tentu sama sekali tak tercium oleh sang nenek dan Miguk. Entah siapa sekarang yang pintar berakting sampai salah satunya ikut-ikutan menganggap biasa saja pernyataan cinta Namjoon tadi malam. Seolah-olah pernyataan itu sama sekali tak merubah keadaan mereka.

“Joon, pilih salah satu. Nomor satu atau dua?”

Namjoon yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah setengah basah, terkesiap mendapati Seokjin yang tiba-tiba di depan pintu dengan kedua tangan dikepalkan di depan wajah.

“Apa ini? Kau menyuruhku memilih tangan mana yang boleh kau pakai untuk memukulku?” tanya Namjoon dengan sebelah alis terangkat heran.

“Untuk apa memilih kalau aku bisa menggunakan dua-duanya?” tanya Seokjin berdecak. “Aku takkan memukulmu. Jadi, pilihlah antara dua ini. Kanan atau kiri?” ulang Seokjin memaksa sembari bergantian menggoyangkan kepalan tangannya.

“Yang pertama.”

“Oke.”

Seokjin langsung membuka kepalan tangannya, memperlihatkan telapak tangannya yang kosong kepada Namjoon yang sontak menatapnya dengan ekspresi bingung.

“Ini kegiatan kita hari ini, Joon,” ucap Seokjin sembari terkekeh senang.

Pilihan yang terucap tanpa tahu apa yang ada di dalamnya, membawa mereka berdua ke pantai berpasir putih di kota Daegu. Tak banyak orang di pantai yang panas ini. Padahal matahari belum terlalu tinggi untuk memamerkan cahayanya. Tapi, musim panas tahun ini mereka akui menjadi yang terpanas daripada tahun-tahun sebelumnya.

Teriknya panas yang menghantam kulit mereka, membuat Namjoon menoleh dengan mata memicing. “Hari yang cerah untuk memulai hari, ya?” tanya Namjoon menyindir dengan senyum.

“Kau yang memilihnya,” jawab Seokjin mencebik dengan nada tak bersalah. Namjoon sampai terdiam dan hanya tersenyum, menahan kesal karena jawaban konyolnya.

Kalau tahu apa yang ada di dalam tanganmu, aku takkan memilih pantai, Seokjin.

“Kita tidak akan lama berada di sini, ‘kan?” tanya Namjoon lagi, sembari menoleh ke
hamparan laut biru yang begitu luas dan menyakitkan mata. Cahaya mataharinya terlalu terang!

“Tentu saja tidak. Kalau cuacanya tidak seterik ini, aku tidak masalah berlama-lama di sini dan hanya duduk di atas pasir,” jawab Seokjin yang kemudian mengoleskan tabir
surya lagi di atas kulitnya yang kena paparan sinar matahari.

Entah sudah yang ke berapa kali mereka mengoleskan tabir surya semenjak
menginjakkan kaki di pantai ini. “Kita harus beli lagi sebelum pulang nanti,” ucap
Seokjin yang dibalas anggukan setuju.

Terlepas dari panasnya pasir yang masuk ke dalam sandal, juga sinar matahari yang
ikut menusuk kulit, setidaknya pemandangan yang terhampar di depan mata sangatlah indah dan menenangkan secara bersamaan. Ombak yang menyapu tepi pantai dan tanpa sengaja mengenai kaki, membuat mereka lupa akan keluhan soal matahari dan cahayanya.

Tawa Namjoon beradu dengan teriakan Seokjin yang panik karena Namjoon terus
mendorongnya ke laut. Kakinya yang basah meninggalkan kesan lengket dan tak
nyaman saat kembali naik ke pantai. Seokjin pun berusaha menarik Namjoon juga, tapi
malah dirinya yang hampir tersungkur jatuh ke atas air.

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang