-G-

1.2K 193 12
                                    

“Masuklah.”

Namjoon mempersilahkan Seokjin masuk setelah dia membuka pintu apartemennya. Dia lalu mengambilkan sepasang sandal rumah dari dalam lemari sepatu untuk Seokjin pakai. Begitu pintu rumah terkunci dan meninggalkan dua manusia di dalam ruang tamu yang sepi, disitulah kecanggungan mulai memenuhi atmosfir di antara mereka. Namjoon sampai kikuk saat mempersilahkan Seokjin untuk duduk sembari mengambil kantong plastik tteokbokki dari tangannya.

“Duduklah. Biar ini kupindahkan dulu ke dalam mangkuk.”

“Oh, o-oke.”

Bukan hanya Namjoon yang merasa kalau mereka tiba-tiba jadi gugup sampai telapak tangan dan kaki mereka berkeringat. Namjoon tak pernah merasa sepanas ini dalam hidupnya yang tak pernah bisa merasakan suhu apa-apa. Pun dia yakin sudah menyalakan pendingin ruangan sampai serendah mungkin agar Seokjin tidak kepanasan. Tapi, tampaknya percuma. Namjoon tetap bisa lihat beberapa bulir keringat di kedua pelipis Seokjin.

“Aku tak tahu kau tinggal sendiri di sini.”
Seokjin mulai berbasa-basi setelah melemparkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tamu.

“Aku tinggal dengan orang tuaku,” jawab Namjoon sembari menaruh mangkuk besar berisi tteokbokki di atas meja kayu di depan sofa.

Seokjin yang awalnya duduk di atas sofa langsung beringsut turun dan duduk di depan meja dengan kaki menyilang. Sementara itu, Namjoon kembali ke dapur dan mengambil gelas dan juga sekotak susu yang barusan dia beli.

“Pasti mereka sibuk bekerja sampai tak pulang.”

“Darimana kau tahu?” Namjoon terkejut.

Dan Seokjin membalasnya dengan tawa ringan. “Orang tuaku juga begitu. Rumah hanyalah tempat singgah, bukan tempat tinggal bagi mereka. Kau beruntung bisa melihat ibuku saat datang kemarin. Beliau biasanya tidak pulang berhari-hari.”

“Jadi,” Namjoon duduk di depan Seokjin dan melanjutkan ucapannya, “itu artinya kita berdua sama-sama kesepian?”

Seokjin pun mengangguk sembari tersenyum dengan ekspresi sedih. “Begitulah. Tapi, aku sudah terbiasa. Lagipula mereka bekerja agar aku bisa hidup enak seperti sekarang.”

Tak hanya Seokjin, tapi juga Namjoon yang kini menyesal karena sudah mengangkat
topik soal keluarga mereka. Terlebih lagi ketika mereka berdua jadi sama-sama diam,
tenggelam ke pikiran masing-masing sembari menatap kosong makanan di depan mata.

Sadar suasananya lagi-lagi berubah canggung, Seokjin pun menepuk tangannya satu kali, menginterupsi hening yang seharusnya sejak tadi mereka sudahi.

“Ayo, kita makan. Tteokbokki-nya akan lebih pedas kalau sudah dingin.”

“Hah? Oh, oke. Ayo kita makan.”

Namjoon yang mengerjap-ngerjapkan mata kemudian ikut mengambil sumpit kayu lalu
menghentakkannya di atas meja sampai keluar dari dalam plastik pembungkusnya.
Namjoon tak langsung menyumpitkan tteokbokki-nya seperti Seokjin yang langsung menyantap tanpa ada keraguan. Warna merah yang kental membalur setiap potongan tteok sebenarnya membuat Namjoon ragu ingin makan. Dia yakin rasanya pasti sangat pedas sampai bisa membakar seluruh mulut, kerongkongan dan perutnya.

“Bagaimana?” tanya Namjoon yang penasaran akan rasanya, tapi takut juga ingin mencoba.

“Mungkin ada baiknya jangan mengajakku bicara dulu, Joon,” jawab Seokjin terputus-
putus karena kepedasan.

Namjoon tertawa meringis melihat Seokjin yang berjuang melawan pedas sampai
bibirnya membengkak merah. Reaksinya saja sudah bisa membuat Namjoon ikut
merasakan pedasnya.

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang