-P-

909 138 15
                                    

Cerita Hoseok yang menyatakan cinta saat mabuk memang mirip dengan kisah perjuangan Namjoon mendapatkan cintanya Seokjin. Tapi, ceritanya itu tidak pernah terdengar mudah dan menyenangkan seperti yang Hoseok alami. Ada rasa malu yang harus Namjoon buang, pun ada harga diri yang harus Namjoon lupakan sejenak.

Jika seseorang akan langsung menyerah setelah ditolak, sayangnya teori itu sama sekali tidak berlaku untuk Namjoon. Tidak pernah ada kata ‘menyerah’ dalam kamus Namjoon.

Setelah kata maaf terucap bersamaan dengan alasannya yang hanya ingin terus berstatus teman, Namjoon tak lagi bisa berdiam di zona aman. Namjoon memilih keluar dari dirinya yang biasa dan mulai bertindak sesuka hati. Apa yang sejak dulu dia tahan, semuanya akan dikeluarkan tanpa terkecuali.

Seokjin mungkin merasa aneh melihat Namjoon yang tiba-tiba diam seribu bahasa setelah mereka keluar dari restoran. Bahkan saat di rumah dan makan bersama sang nenek, Namjoon jelas sekali menghindar tatap dari Seokjin. Dia juga tak bicara apapun ketika lampu kamar dimatikan. Meninggalkan perasaan bersalah di hati Seokjin yang cemas memikirkan apakah kalimatnya di restoran siang terlalu kejam sampai membuat Namjoon mengabaikannya seperti ini.

Tapi, Seokjin punya alasan kenapa ingin terus berada di balik garis pertemanan bersama Namjoon. Katakanlah dia terlalu nyaman sampai takut membayangkan akan datangnya hari mereka harus berpisah karena bertengkar dan berakhir putus. Katakanlah dia egois karena ingin terus bersama Namjoon, namun tak ingin mengekang hubungan ini ke status yang lebih serius. Karena kembali lagi ke kecemasan Seokjin di awal; dia tak ingin sampai putus dengan Namjoon dan berakhir berpisah dengannya.

Seokjin sudah berniat ingin minta maaf dan membicarakan hubungan mereka lagi ketika pagi datang. Seokjin pun sudah siap di dalam kamarnya dengan kedua kaki menyilang di atas kasur yang belum terlipat. Sengaja membiarkannya karena jika pembicaraan mereka tak lagi mendapatkan jawaban, Seokjin akan kembali tidur dan mengajak Namjoon bicara lagi setelah dia bangun nanti.

Seokjin benar-benar sudah siap bicara dengan Namjoon ketika pria itu akhirnya keluar dari kamar mandi dengan handuk di sekitar leher. Rambutnya setengah basah, wajahnya segar, dan terlihat sangat tampan meski baju tidurnya belum diganti. Ketika mata mereka berdua sama-sama bertemu, Namjoon tiba-tiba menyambar duduk dengan mata membulat khawatir.

“Hei, kau baik-baik saja? Wajahmu merah. Kau demam?”

Namjoon sekonyong-konyong menempelkan telapak tangannya ke dahi Seokjin yang
membatu dengan wajah total merah seluruhnya. Ternyata Seokjin tak sadar wajahnya sudah tersipu ketika memperhatikan ketampanan Namjoon sehabis bangun tidur.

“Aku tidak demam. Jadi, jangan khawatir dan menjauh dariku.”

Seokjin jadi sinis dan bicara tidak jelas pada Namjoon hanya karena pria itu tiba-tiba
menghapus jarak mereka terlalu dekat. Dia bahkan memukul tangan Namjoon. Sedetik
kemudian Seokjin menyesal sudah bicara seperti itu padanya dan takut pria itu akan
semakin membencinya. Tapi, ternyata Namjoon malah terlihat tak peduli dan tiba-tiba menangkup kedua pipi Seokjin dengan kedua telapaknya yang lebar.

“Kau sakit, Seokjin. Wajahmu terus memerah dan terasa hangat. Kau yakin kepalamu tidak pusing? Berbaring saja hari ini. Biar kuambilkan obat untukmu.”

Seokjin yakin perubahan Namjoon yang jadi banyak bicara sebenarnya tidak terjadi
secara tiba-tiba. Dia sudah lama melakukannya, namun Seokjin baru menyadarinya hari ini. Namjoon yang anehnya tiba-tiba jadi cerewet. Namjoon yang anehnya tiba-tiba jadi terlalu khawatir dan panik akan hal-hal kecil. Dan Namjoon yang anehnya jadi berkali-kali lipat lebih keras kepala.

Seokjin sebenarnya telah berkali-kali mengatakan kalau dia baik-baik saja. Tapi,
Namjoon sama sekali tidak percaya.

“Pokoknya hari ini kita di rumah saja. Pun langitnya mendung. Aku yakin sebentar lagi
akan hujan deras. Daripada kita keluar dan kehujanan, lebih baik kita bersantai di
rumah. Apalagi kau sekarang sedang demam, Jin. Lihat kalau kau tidak percaya.”

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang