“Namjoon.”
“Hmm?”
“Diluar cerah.”
“Aku tahu.”
“Hari ini kita tak bisa pakai alasan hujan.”
“Oke.”
“Kau mengerti maksudku atau tidak, sih?”
Namjoon sampai berjengit karena Seokjin yang berteriak tepat di sebelah telinganya. Dia bahkan mendelik sebal pada Namjoon yang memilih berpura-pura polos dan kembali menyamankan kepalanya di atas bahu Seokjin. Dia bahkan mengalungkan lengannya di lengan sang pacar dan menjadikannya sebagai guling.
“Di luar dingin, Seokjin,” kilah Namjoon beralasan.
“Siapa yang kedinginan saat musim panas? Lucu sekali mendengarmu menggunakan cuaca sebagai alasan saat kau tak bisa merasakan suhu, Kim Namjoon,” protes Seokjin lebih galak dari teriakannya tadi.
Namjoon pun mengerang dengan alisnya yang mengernyit dalam. “Aku malas keluar, Seokjin sayang. Kita di sini sebentar lagi saja. Oke?”
“Kau sudah mengatakan itu sejak setengah jam yang lalu, Namjoon.” Seokjin sampai menghela napas berat. “Kenapa kau tiba-tiba pemalas seperti ini? Jika karena kelelahan akibat panas, seharusnya aku yang merasakannya sekarang.”
“Nah, maka dari itu kita di sini saja. Di ruang klub yang dingin dan nyaman, tanpa ada siapapun selain kita.”
Namjoon lagi-lagi menyamankan kepalanya di atas bahu sembari mengeratkan lengannya di lengan Seokjin. Pacarnya sukses berubah menjadi bantal berjalan yang katanya lebih nyaman dan lebih empuk dari bantal di rumah. Seokjin hampir membekap mulut Namjoon yang penuh omong kosong itu dengan kedua tangannya agar berhenti bicara yang tidak-tidak.
“Sungguh. Bukan ini rencana yang kita sepakati tadi,” keluh Seokjin pasrah sembari menyandarkan kepala di bahu sofa.
Belum ada satu hari mereka berjanji untuk pergi ke sebuah toko ramen yang baru
dibuka di depan kampus, tapi Namjoon sudah mangkir tak mau kemana-mana begitu kelas mereka usai.Awalnya Seokjin kira Namjoon mengajaknya memeriksa ruang klub apakah ada orang
atau tidak di dalam sana. Seokjin sama sekali tidak menaruh curiga dan ikut saja
kemana Namjoon membawanya. Seokjin juga masih tak curiga apa-apa sampai Namjoon melilitkan tangan dan menjadikan bahunya sebagai bantalan kepalanya ketika mereka sudah duduk di atas sofa.“Lima menit saja,” kata Namjoon setengah jam yang lalu sembari menutup kedua mata.
Seokjin menurut saja dan membiarkannya. Mungkin Namjoon kelelahan setelah
mengerjakan tugas tadi malam, pikir Seokjin. Lagipula lima menit tidaklah lama, pikir Seokjin lagi.Tapi, sepuluh menit berlalu sampai akhirnya tiga puluh menit dengan lima kali upaya Seokjin menjauhkan dan melepaskan tangan Namjoon dari lengannya. Anehnya
Namjoon sama sekali tak bergeser sedikit pun. Malah semakin mengukuhkan pantat dan pahanya di atas sofa, sengaja memberatkan badannya yang sudah berat. Seokjin sampai heran sebenarnya dia sedang mendorong manusia atau patung batu.“Joon, aku lapar.”
“Pesan saja.”
“Aku mau makan di tempat.”
“Di sini saja. Makan di sana dan di sini tidak ada bedanya.”
“Ada.”
“Apa?”
“Kenangannya.”
Namjoon mendongakkan kepalanya sampai bertemu tatap dengan Seokjin. “Apa?”
“Kenangannya, Namjoon. Aku ingin kita makan di suatu tempat, berdua, dan
menciptakan kenangan baru yang bisa kita bicarakan di masa depan. Makanya aku tidak
mau kita makan di sini,” jelas Seokjin.Namjoon tak menjawab dan hanya menatap Seokjin selama beberapa detik. Kemudian
dia menurunkan kepalanya kembali dan menjauhkan kepalanya dari bahu Seokjin. Pun menyandarkan kepalanya pada punggung sofa dengan badan setengah merosot.“Kalau begitu namanya kencan, Seokjin.”
Kecilnya suara Namjoon yang bergumam sama sekali tak terdengar di telinga Seokjin.“Apa kau bilang?” Seokjin mencondongkan kepalanya, mendekat untuk mendengar
lebih jelas.Namjoon pun menoleh, tak tersentak sedikitpun melihat jarak matanya dengan milik Seokjin yang begitu dekat. Kemudian dia mendengus satu kali dengan senyum tipisnya yang mengembang.
“Itu artinya kita akan pergi kencan, Seokjin. Kau tak masalah? Kupikir kau lebih suka ke
tempat yang lebih tertutup jika ingin berdua saja denganku.”Kalimat Namjoon sukses mengembalikan ingatan Seokjin saat mereka masih berada di
Daegu. Seokjin mati-matian meminta Namjoon untuk terus berada di rumah saja
daripada pergi keluar. Entah kenapa Seokjin merasa malu membayangkan dirinya
berjalan beriringan di jalanan Daegu, bersikap seolah tidak ada yang pernah terjadi padahal mereka sedang kencan. Bersikap seolah hubungan mereka masih sama padahal jantung Seokjin mati-matian menahan diri tidak berbuat hal-hal memalukan di depan Namjoon. Dan alasan bodoh lainnya yang membuat Seokjin lebih tenang berada di ruangan tertutup bersama Namjoon.“Aku tak paham kenapa setelah kita kembali, rasanya banyak hal yang ingin kulakukan
bersamamu selain hanya berada di rumah. Aku ingin kita berkencan seperti orang-
orang. Menikmati waktu bersama mengelilingi kota. Atau bahkan pergi menginap di suatu hotel selama tiga hari dua malam. Sungguh. Aku sama sekali tak mengerti kenapa aku ingin sekali melakukan itu setelah kita kembali dari Daegu.”Namjoon hampir menyembur tawa jika saja tak melipat bibirnya rapat-rapat ke dalam.
Sungguh. Seokjin seharusnya tahu apapun yang keluar dari mulutnya juga ekspresi yang menyertainya selalu berhasil membuat hati nurani Namjoon mati kegemasan. Dia
sampai harus meyakinkan dirinya agar tidak kelepasan meremas pipi bulat itu,
memeluk pinggang ramping itu, dan menghujani wajahnya yang menggemaskan itu dengan kecupan kecil-kecil sampai Seokjin menggeliat kegelian minta dilepaskan.Tidak, Namjoon. Tahan dirimu.
Namjoon pun menghembuskan napas panjang sebelum merespon kejujuran Seokjin yang tadi dia ucapkan dengan ekspresi gelisah dan putus asa. Namjoon gemas sekali melihat kepolosan Seokjin ini.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti maksudmu. Tapi, ini murni karena keinginanmu, ‘kan?
Bukan karena harus melaksanakan ‘tugas’ sebagai pacar, ‘kan?”“Bukan. Aku memang ingin pergi ke sana bersamamu. Lagipula kau yang bilang untuk
terus bersikap seperti biasa meski sekarang kita berpacaran,” jawab Seokjin
mendelikkan matanya.Namjoon malah usil tertawa dan menjawab. “Iya, iya. Maaf, ya. Pacarmu ini kurang peka. Jadi, haruskah kita pergi sekarang?”
“Iya. Sekarang.”
“Oke.”
Mereka berdua pun bangkit dari sofa dan menyampirkan tas pada bahu masing-masing. Tapi, tiba-tiba Namjoon bertepuk tangan dengan wajah terkejut seolah-olah baru ingat sesuatu.
“Aku lupa sesuatu!”
“Apa?” tanya Seokjin ikut terkejut.
“Ini.”
Namjoon tiba-tiba mengecup pipi Seokjin dengan kecupan kilat, sebelum pergi terburuburu meninggalkan pacarnya yang mematung beberapa detik di tempat. Sensasi bibir Namjoon yang menyentuh pipinya, juga jantung yang dengan cepat berdegup tak karuan, membuat wajah Seokjin merah total sampai ke telinga. Begitu Seokjin sadar Namjoon sudah menghilang dan meninggalkan pintu klub terbuka, barulah dia berteriak dan keluar mengejar Namjoon.
“SIALAN!! KIM NAMJOON!!”
Namjoon itu aneh. Saking anehnya, dia masih bisa tertawa saat dimaki-maki Seokjin yang berusaha mengejarnya di sepanjang koridor kampus.
[To Be Continued]just another day namjin bickering and lovey doveying with each other :')
![](https://img.wattpad.com/cover/298593457-288-k396224.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alphabet
FanfictionSeokjin punya teman sekelas yang aneh namanya Kim Namjoon. Mereka sama sekali tak punya kesamaan kecuali jenis kelamin. Seokjin akan sebutkan perbedaannya dari A sampai Z tentang Namjoon. alpakakoala, 2022