Rumpi Pagi

34 4 1
                                    

"Sayuuurrr!"

Lengkingan khas Mbak Fitri menggema sampai ke sudut-sudut Komplek Gejayan. Perempuan itu mendorong gerobak sayurnya dengan semringah. Di masa pandemi yang membuat banyak UMKM gulung tikar, usaha sayur kelilingnya masih berjalan lancar. Itulah alasan sederhana kenapa senyumnya selalu merekah.

Ibu-ibu komplek yang mendengar seruan tersebut buru-buru pergi ke tempat Mbak Fitri biasa mangkal. Kegiatan saban pagi ini diam-diam jadi favorit mereka. Selain belanja untuk memenuhi gizi keluarga, di sana juga merupakan tempat yang paling pas untuk ngerumpi.

"Wah, pagi-pagi sudah cantik sekali, Bu Rahmat, pakai kebaya segala. Mau ke mana, Bu?" Mbak Fitri menyapa pelanggan favoritnya yang tidak pernah ngutang.

Bu Rahmat yang sudah membuka mulut untuk menjawab, urung karena disela oleh teriakan kencang dari seberang. "Eh, Fitri! Udang pesananku dibawain, kan?"

"Bu Tejo, Bu Tejo. Suaramu itu enak banget sampai bikin kuping sakit!" dengus Bu Rahmat kesal.

Bu Tejo cengengesan. Matanya jeli memperhatikan tetangganya yang sepagi ini sudah berdandan rapi. Biasanya juga dasteran lusuh kaya pembantu, batinnya.

"Kondangan ke mana, Bu?" Mulut Bu Tejo mulai gatal.

Orang yang ditanya masih sibuk memilih terong ungu, tapi toh menjawab juga. "Bukan, ini mau foto keluarga. Kemarin pas wisudanya si Amar formasinya belum lengkap."

"Walah, Amar sudah jadi dokter beneran sekarang. Hebat ya, Bu! Eh, mahal nggak, Bu, nguliahin kedokteran begitu?" cecar Bu Tejo.

"Ya, buat orang kaya saya ini, cukup berat biayanya. Semesterannya saja bisa sampai puluhan juta."

"Waduh, Bu Rahmat ini kok sok kaya orang susah, wong kontrakannya saja renteng-rentengan kaya gerbong kereta." Kali ini Mbak Fitri yang menyahut, membuat Bu Rahmat terkekeh senang.

Tak lama, seorang perempuan muda bergabung dengan mereka. Dia langsung menyibukkan diri memilih ikan segar alih-alih ikut ngerumpi.

"Lho, ada manten baru tho, ini? Sudah siang begini rambutnya masih basah. Berapa ronde, Ning?"

Pipi Nuning memanas mendengar ocehan Bu Tejo yang dikenal tidak punya filter. Dia cuma tersenyum simpul. Bagi Nuning, kegiatan belanja sayur adalah bencana. Dia tidak suka kumpul-kumpul begini. Kalau saja suaminya tidak ngomel terus, menyuruhnya berbaur dengan ibu-ibu komplek, Nuning ogah ke sini tiap pagi.

Dia menghela napas berat saat Santi dan ibu-ibu yang lain tiba. Santi menggendong bayi tiga bulannya yang meraung-raung. Nuning tahu, setelah ini Bu Tejo pasti akan melahap habis ibu satu anak itu. Dia selalu tidak tega melihatnya.

"Ya Allah, San, anakmu lapar itu. Asimu nggak keluar, tho? Kasihan bayimu, jadi kurus kaya lidi begitu."

Tuh, kan, batin Nuning.

"Kamu ini baru punya anak satu sudah kucel begitu. Aku lho, dulu ngurus tiga anak kecil-kecil, tetep seger. Dirawat itu tubuhmu, San, biar suamimu nggak nyeleweng. Ya, tho, ibu-ibu?"

Bu Rahmat semangat mengiyakan ucapan rekannya. "Iya, lho, San. Jangan sampai kamu kaya Kinan di sinetron Layangan Putus," sahutnya. "Anak zaman sekarang memang beda sama kita dulu, Bu Tejo, pada manja. Saya lho, walaupun bapaknya anak-anak sudah berpulang, tetap strong, tuh. Nggak nelangsa begitu."

Santi memaksakan senyum sambil menimang bayinya yang masih menangis. Kepedihan terpancar di matanya yang dihiasi cekungan hitam. Sebenarnya, pagi ini Nuning mau mampir ke rumah Santi sebentar. Dia punya berita untuk tetangganya itu. Kemarin sore Nuning melihat suami Santi berboncengan mesra dengan perempuan lain. Namun, kini dia tak sampai hati memberitahu Santi.

"Mbak Fitri, maaf ya, saya ngebon dulu." Bisikan Santi yang tidak sengaja Nuning dengar ikut membuatnya tercekat.

Akhirnya, dia hanya bisa menatap punggung Santi dengan iba saat perempuan itu berlalu dari medan penghakiman.

Selesai.

Keterangan

- Gulung tikar : majas metafora
- Suaramu enak banget sampai bikin kuping sakit : majas ironi
- Pembantu : majas peyorasi
- Buat orang kaya saya, cukup berat biayanya : majas litotes
- Ada manten baru, tho? : majas retorika
- Kurus kaya lidi : majas hiperbola
- Sudah berpulang : majas eufemisme

Cerpen ini dibuat untuk memenuhi tugas Indonesian Writers Zone.
Jumlah 550 kata.

AlohomoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang