Saya Encum, ibu rumah tangga. Saya itu ndak pernah bersyukur. Lah mau bersyukur gimana coba, suami saya cuma buruh pabrik, gajian baru satu minggu saja sudah megap-megap.
Sayanya di rumah saja, ndak bisa kerja karena ndak punya ijazah dan orang dalam. Anak saya lima, tiga sudah remaja duanya masih bau kencur.
Sekarang saya lagi hamil anak keenam, maklum suami suka langganan jamu kuat jadinya saya suka ndak kuat. Hihi, malu saya. Saya tinggal di rumah mertua, sambil ngurus ibu mertua yang sakit stroke sampai mencong bibirnya.
Jangan tanya bodi saya seperti apa. Saya juga ndak tahu kok bisa meletat-melotot ke sana kemari lemak-lemak ini. Padahal kendil di dapur lebih sering njomplang daripada ngebulnya. Wes mbohlah, mungkin takdir saya memang pahit begini.
Hari ini ada yang beda, sesuatu yang membuat saya jadi mikir. Ini tumben, alhamdulillah ternyata saya masih bisa mikir.
Jadi, beberapa bulan lalu kampung saya kedatangan orang baru. Mereka pasangan suami istri yang ngontrak rumah dekat rumah saya.
Gusti Allah, suami istri itu seperti pasangan artis-artis di TV. Lakinya ganteng bininya ayu tenan. Sudah begitu, mereka juga kaya. Kelihatan wes pokoknya. Biar bodoh begini saya tahu mana orang kaya beneran sama yang bohongan.
Buktinya, si bini yang namanya Mbak Laras ini ndak kampungan. Kalau ke rapat PKK ibu-ibu dia ndak pakai gelang selengan. Kalau ibu-ibu kampung saya kan pada begitu, biar kelihatan kaya sampai kalungnya dipakai di luar kerudung. Niat opo tho, jane?
Tapi, tetap si Mbak Laras ini kelihatan kaya, anggun begitu pokoknya. Wajahnya kinclong khas orang kaya. Terus tasnya itu sama seperti yang dipakai artis-artis. Emes. Eh, apa itu? Pokoknya begitu Mbak Laras bilangnya.
Waktu itu lagi arisan PKK, terus Mbak Laras nyusul karena baru bepergian dan masih bawa tas itu. Eh, Yu Inah nyeletuk begini, "Mbak Laras, tasnya sama kaya punya saya yang beli di Pasar Kliwon. Persis. Harganya enem puluh rebu ya, Mbak?"
Mbak Laras senyum sedikit lalu jawab sambil malu-malu, "Oh, iya mungkin, Yu, yang sama kaya tas ini memang banyak. Tapi saya dibelikan suami pas dia tugas ke Perancis."
Mingkem klakep tho, Yu Inahnya. Saya pengin ketawa sebenarnya, tapi kok ya takut dosa. Oh iya, suami Mbak Laras ini namanya Pak Dude. Ganteng pokoknya seperti Dude Herlino. Iku lho, bintang sinetron Putri yang Tertukar. Pak Dude ini pengusaha, sering tugas ke luar kota. Dia pulang ke kontrakan paling cuma seminggu sekali.
Pasti pada tanya ya, kok saya bisa tahu sekali? Ya iyalah, wong saya ini tukang cuci di rumahnya Mbak Laras. Alhamdulillah, ndak cuma cantik, tapi si Mbak ini juga baik.
Kehadirannya di kampung bikin saya punya kerjaan yang ndak butuh orang dalam biar bisa keterima. Sudah begitu, Mbak Laras juga sering ngutangin saya. Kendil saya jadi ngebul terus.
Tapi saya masih heran, orang kaya begitu kok ngontrak rumah. Apa Mbak Laras ini juga OKB karena kena gusuran tol? Ah, tapi ndak mungkin, tho?Yo wes, saya cerita lagi. Pak Dude sama Mbak Laras ini juga mesra sekali. Aduh, lengket seperti perangko kalau sudah ketemu. Bikin saya iri setengah mati pokoknya. Keluarga bahagia wes! Perpek apa ya, bahasa Inggrisnya?
Coba kalau suami saya seperti Pak Dude ini. Sudah ganteng, kaya, sayang istri lagi. Walah, saya pasti jadi wanita paling bahagia sedunia. Bukan gantengnya kelewat sampai kaya pantat kendil seperti suami saya itu. Ora ono nggone oleh.
Nah, saya baru nemu jawabannya hari ini, yang bikin saya mikir sampai sekarang. Tadi pagi itu, saya sama anak-anak jalan-jalan ke alun-alun kota. Eh, di sana saya lihat mobil Pak Dude.
Yang bikin saya kaget, Pak Dude keluar mobil bareng cewek cantik. Bukan, bukan Mbak Laras. Beda. Mereka kelihatannya mesra sekali. Gusti Allah, bumi tempat saya berdiri seperti mubeng. Saya langsung pulang dan ke rumah Mbak Laras. Laporan.
"Mbak, saya mau bilang sesuatu, tapi Mbak Laras jangan marah, ya?"
Mbak Laras senyum, "Ada apa, Yu Encum?"
"Eengg ... nganu, Mbak, nga-nganu ... saya tadi lihat Pak Dude sama-"
Duh! Gusti, saya bingung mau ngomongnya. Ndak tega sama Mbak Laras.
"Ngomong aja, Yu," jawab Mbak Laras.
"Pak Dude tadi sama cewek cantik, Mbak, keluar dari mobil."
Saya nunduk, ndak berani nengok wajah Mbak Laras sebelum tangannya nyentuh bahu saya.
"Rambutnya sebahu? Tinggi? Putih? Mancung, Yu?" lanjut Mbak Laras.
Walah, saya kok jadi bingung kenapa Mbak Laras sudah tahu. Persis begitu, kebalikan dari saya semua.
"Itu madu saya, Yu," katanya lagi sambil senyum.
Gusti Allah! Mak lap hati saya rasanya. Benar yang baru Mbak Laras bilang?
"Saya nggak bisa punya anak, Yu. Saya suruh Mas Dude nikah lagi sama teman saya sendiri. Itu kenapa saya ngontrak di sini. Ternyata nggak mudah tinggal serumah sama madu suami meskipun dia teman sendiri."
Wes. Saya mingkem, ndak bisa ngomong apa-apa lagi dan tak pikir sampai saat ini. Gusti, wanita sempurna seperti Mbak Laras kok dikasih cobaan begitu. Sedang saya dan keluarga yang kondisinya sulit ekonomi begini malah brojal-brojol terus.
Ah, sekarang saya jadi ngerti. Urip pancen namung sawang-sinawang. Setiap keluarga pasti punya masalah sendiri-sendiri. Yo wes, alhamdulillah, saya jadi bersyukur. Setidaknya masalah saya ndak seberat Mbak Laras. Saya ndak bisa bayangin kalau suami saya yang uelek itu kawin lagi. Mending kendil saya njomplang daripada lihat suami sama perempuan lain.
Alhamdulillah, saya mikir lagi. Kita itu ndak boleh iri sama kehidupan keluarga lain. Ndak usah bilang rumputnya sana lebih hijau, karena kita ndak tahu yang sebenarnya seperti apa. Bisa jadi, dari jauh kelihatan hijau tapi pas didekati ada tembelek ayamnya? Iyo, tho?
-end-
Ada yang butuh translator? Voment, ya! :D

KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora
Storie breviKumpulan fiksi mini dengan genre campuran, cocok dibaca waktu santai sambil ngeteh plus nyemil gorengan. Nikmat mana lagi yang mau didustakan? Sooo .... Enjoy it!