Kau masih termenung di tepi telaga. Airnya tampak tenang, berkilau tertimpa cahaya matahari sore yang lembut. Bangku tempatmu duduk masih sama, pepohonan di sekitarnya juga masih sama. Yang berubah dari potongan kenangan ini hanya kau. Kau saja.
Pipimu yang dulu ranum dan menggemaskan kini tampak menonjol. Tirus, kurus. Dan lihatlah matamu, selalu sembap, berkaca, lalu tak sampai sekejap sudah berbulir air mata. Kau mengusapnya. Meringis, perih. Perih sekali.
Pinggangmu yang dulu meliuk sempurna kini tak lagi berbentuk, seiring perutmu yang makin mengembang sebesar balon. Balon warna-warni, kau bergumam. Kau selalu menahan lara saat mengingatnya, duduk bersama lelaki itu, di tepi telaga ini. Tanganmu menggenggam es krim dan balon warna-warni, tersenyum riang. Bahagia.
Ah, seandainya ... batinmu berbisik.
Tendangan dari dalam perut mengusik lamunmu. Kau mengelusnya, sepenuh sungguh, setulus hati. Biar bagaimana pun, jabang bayi yang meringkuk di dalam sana adalah darahmu.
"Bapak tidak tahu apa-apa tentang Mas Joni!" hardikmu malam itu.
Kau tak tahu, sungguh sebenarnya kaulah yang tak tahu. Kau begitu memuja lelaki dengan dada bak pualam itu, hingga buta akan semuanya. Kau bahkan berani membentaknya, lelaki yang karena satu percikan spermanya menghadirkanmu di dunia.
Lelaki itu menatap nanar saat kau berlalu bersama Jonimu, memilih wali hakim sebagai wali nikahmu. Kau bahkan bilang apa? Dia sudah tidak ada. Kini, dia benar-benar tidak ada. Memikirkanmu membuat tubuh tuanya kian renta. Malang nian nasibnya, menghabiskan masa-masa terakhirnya seorang diri, sama sepertimu saat ini.
"Marlena! Di sini kau rupanya, hah! Suamimu pulang kau malah kelayapan!" Sebuah suara menyentakmu. Tak hanya suara, tangan kekar itu juga menyentak, menarik rambut kusammu, sekuat tenaga.
Kau meringis, "Sakit, Mas," ucapmu. Bibirmu bergetar.
"Kau ada uang tidak? Kemarikan, mau kupakai judi lagi!" Tangan kekar itu kembali meninggalkan lebam di pipimu.
Kau tersuruk, kepalamu terantuk lengan kursi telaga yang berkarat. Lalu ada darah. Bukan dari kepalamu, tapi dari kemaluanmu. Kau lalu merintih. Perih, sakit ... Bapak ....
"Dasar perempuan bedebah!" ujar suara itu, Jonimu. Tanpa ampun perut balonmu ditendangnya, perut yang berisi bakal anaknya, hingga hampir meledak rasanya. Lalu Jonimu pergi, meninggalkanmu lara sendiri. Sama seperti kau meninggalkan lelaki itu, lelaki yang karena percikan spermanya kauhadir di dunia.
Seandainya, batinmu kembali merintih. Seandainya dulu kaudengar dan menuruti nasihat lelaki itu. Seandainya waktu dapat diputar. Seandainya sesal tak datang belakangan. Seandainya.
Kau lalu tersaruk-saruk melangkah. Biar, katamu. Biar lara dan sesal itu lebur bersama air telaga. Di dalamnya.
-end-
Jangan lupa voment, ya! :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora
Short StoryKumpulan fiksi mini dengan genre campuran, cocok dibaca waktu santai sambil ngeteh plus nyemil gorengan. Nikmat mana lagi yang mau didustakan? Sooo .... Enjoy it!