"Aku akan pergi dari sini."
"Kau yakin? Meninggalkan pulau kelapa dengan seribu keindahannya?"
"Iya. Biar ia tetap kekal hanya dalam ingatan sebagai tempatku merajut impian. Yang tak pernah mampu kuwujudkan."
"Kenapa? Karena kau bukan pegawai negeri seperti yang mereka harapkan di pundakmu?"
"Mungkin. Karena penyair picisan sepertiku tak punya tempat di negeri raja diraja yang subur makmur ini."
"Kau yakin tak akan merindukan belai lembut anginnya, hujannya yang selalu bisa membuatmu tersenyum, senjanya yang selalu kaunantikan, dan aroma tropis dengan hangat mentarinya yang pas itu?"
"Aku akan, tapi aku bosan. Aku ingin melihat salju, aku ingin merasakan debu-debu peperangan, aku ingin menyentuh Colosseum, Eifel, Piramid, dan Ka'bah. Menyematkan sakura di telinga, mencium bau musim gugur dan semi. Lalu aku akan menguburkan diri di tanah mana pun yang kuingin."
"Bukankah rayuan seribu pulau di negara ini sudah mewakili seluruh keindahan dunia? Jasadmu sudah pasti akan terurai dengan baik di tanah ini."
"Ya, itu benar. Tapi, pulau kelapa ini sekarang hanya punya cerita sedih. Mulut-mulut jujur dibungkam, sedang tikus-tikus got berkeliaran dan makan enak di istana."
"Kupikir kau hanya tidak mampu berdamai dengan dirimu sendiri."
"Kupikir kau belum pernah untuk sekadar merasa apalagi mencoba bagaimana beratnya berdamai dengan dirimu. Semua orang bisa bicara, itu hal yang sangatlah mudah."
"Maafkan dirimu sendiri."
"Sudah."
"Lalu?"
"Caranya aku harus pergi. Kau ikut?"
"Selalu. Aku membersamaimu, tempatmu menanyakan segala bimbang. Akhirnya, aku hanya bisa menasihati, keputusan tetaplah di tanganmu. Pergi jika kau ingin, cari apa yang kau cari, sembuhkan lukamu, tapi jangan kau lupakan lambaian nyiur itu. Dia akan selalu memanggilmu untuk pulang."
"Ya, aku akan. Jika diberi umur panjang."
-end-
Jangan lupa voment, ya!

KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora
Short StoryKumpulan fiksi mini dengan genre campuran, cocok dibaca waktu santai sambil ngeteh plus nyemil gorengan. Nikmat mana lagi yang mau didustakan? Sooo .... Enjoy it!