Tahlilan

53 10 0
                                    

Mbok Darmi, begitu warga sekitar memanggilnya. Dia seorang renta, buruh cuci, dan kini resmi jadi janda. Baru kemarin suaminya, Mbah Japri, meninggalkan dunia dan gubuk reotnya itu untuk selamanya. Mata Mbok Darmi masih sembap, membuat keriput wajahnya makin kentara.

Tubuh ringkihnya sesekali berguncang karena batuk berdahak yang tak kunjung sembuh. Tak sembuh karena memang tak diobati. Tak diobati karena tak ada uang. Saat makam suaminya masih basah, Mbok Darmi sudah begitu pusing memikirkan hal lain. Tahlilan. Akhirnya dia putuskan untuk menyambangi rumah Bu Welas, Bu RT di kampungnya.

"Ada apa, Mbok?" tanya Bu RT berbadan tambun itu, berbanding terbalik dengan tubuh kurus kering si Mbok.

"A-anu, Bu RT. Saya ke sini mau bilang, anu ...." Mbok Darmi menghela napas sejenak, mencoba menemukan kalimat yang pas untuk pembicaraan ini.

"Bilang saja, Mbok," timpal Bu RT.

"Begini, Bu. Apa boleh kalau saya ndak usah ngadakan tahlilan buat Mbah Japri. Anu, Bu, saya ndak punya uang buat beli jajan tahlilan."

Mbok Darmi menunduk. Dia tahu mungkin hal ini akan ditentang warga. Sudah menjadi tradisi atau mungkin adat, atau mungkin juga syariat, bahwa orang yang baru saja meninggal harus ditahlilkan oleh tetangga sekitarnya selama tujuh hari berturut-turut. Setiap tahlil itu nantinya harus ada jajan atau snack yang dibawa pulang. Bahkan di hari ketiga dan ketujuh, keluarga berduka juga harus memberi lebih dari sekadar snack, yaitu sembako seperti beras, gula, dan mie instan.

Mbok Darmi yang bahkan membaca saja tidak bisa, tidak mengerti sama sekali tentang hal-hal seperti itu. Yang dia tahu tahlilan adalah tradisi yang harus dijalankan, yang mungkin dapat meringankan dosa si mayit. Namun sayangnya dia benar-benar tidak punya uang untuk menggelar acara tersebut. Dia sangat ingin, tapi miskin.

Pernah suatu ketika saat juragan Erwin meninggal, kediaman juragan jadi ramai sekali. Tujuh hari berturut-turut teratak terpasang di pelataran rumah juragan yang luas. Setiap malam selama tujuh hari itu Mbah Japri membawa makanan enak-enak dari tahlilannya sang juragan.

"Ada yang mati kok malah seperti ada kenduri." Begitu ujar si Mbah.

"Nanti kalau saya mati, kamu mau bagaimana, Mi? Ndak usah gelar tahlilan ndak apa-apa, yang penting kamu nahlili saya terus," lanjutnya, membuat Mbok Darmi mengernyit.

Bu RT diam sejenak.

"Lho, jangan begitu, Mbok. Gelar tahlilan ndak apa-apa, kan nanti warga bantu ngasih jajan. Ada jadwalnya seperti biasa itu, lho, Mbok," jawabnya kemudian.

Mbok Darmi masih menunduk. Dia juga tahu warga di sini akan membantu sumbang jajan untuk setiap malamnya, dijadwal bergiliran. Tapi untuk wedang, teh, gula, dan sembakonya dia tetap harus keluar uang sendiri.

Dia menggeleng pelan, tidak ada uang. Uang belasungkawa yang didapat kemarin sudah habis untuk membayar hutang yang Mbah Japri tanggung selama hidupnya.

"Oh, begini saja, Mbok." Tiba-tiba Bu RT berkata riang, "Saya baru ingat, ada program Bupati yang baru, yaitu santunan kematian. Pas sekali program itu baru mulai bulan ini. Jadi, bagi warga yang meninggal dan kurang mampu, nanti akan dikasih santunan berupa uang. Jumlahnya berapa ya, saya masih kurang tahu," jelasnya panjang lebar.

Mbok Darmi mengangkat wajahnya. Ada secercah harapan di sana yang semoga tidak mengecewakan seperti kasus raskin selama ini. Dia yang jelas-jelas termasuk warga miskin tidak mendapatkan jatah raskin tersebut. Alasannya? Karena dia masih punya Mbah Japri yang mencari nafkah. Sekarang Mbah Japri bahkan sudah tiada, tentu sudah tidak ada alasan lain yang bisa menutupi garis takdir kemiskinannya.

"Bagaimana caranya biar dapat santunan itu, Bu RT?" ujar si Mbok semringah.

Bayangan acara tahlilan akan tergelar di gubuk reotnya membuat Mbok Darmi bahagia. Pasti dosa-dosa Mbah Japri akan diampuni Allah karena banyak tetangga yang mendoakannya. Tempo hari dia ikut pengajian Ustad Farid yang membahas tentang itu. Katanya, orang yang sudah meninggal terputus semua amalannya kecuali tiga; ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan doa anak saleh.

Mbah Japri dan Mbok Darmi tidak punya ilmu, beramal juga jarang sekali karena mereka sendiri juga kekurangan. Anaknya tidak saleh, tidak bisa berdoa. Karena itulah dia ingin sekali menggelar tahlil, siapa tahu doa para tetangga bisa mengganti doa anaknya. Tujuan sebenarnya si Mbok ke rumah Bu RT adalah untuk meminjam uang, untuk beli perlengkapan dan jajan tahlilan. Tapi entah kenapa, lidahnya tidak sampai untuk nembung mau pinjam uang.

"Sudah, si Mbok di rumah saja, biar saya yang uruskan itu, sudah tanggung jawab saya sebagai Bu RT." Bu RT menutup pertemuan mereka dengan kalimat yang begitu indah, setidaknya bagi Mbok Darmi.

Esoknya, saat matahari masih sepenggalah naiknya, Bu RT tergopoh bertandang ke gubuk reot si Mbok.

"Mbok, sudah saya uruskan. Alhamdulillah, Pak Lurah langsung kasih dan setuju, gampang saja. Rezeki si Mbok ini," ujarnya sembari menyerahkan amplop putih berisi lima lembar uang seratus ribuan pada Mbok Darmi.

Si Mbok menerima amplop itu dengan tangan gemetar saking senangnya. Tahlilan nanti malam akan terselenggara. Terima kasih Gusti, dia membatin. Semoga dosa-dosa Mbah Japri akan diampuni melalui doa-doa tetangga yang diupah jajan dan sembako itu.

Bu RT lantas pamit langsung, seperti enggan berlama-lama di gubuk reot yang lantainya saja masih tanah. Sepanjang perjalanan pulang dia tampak begitu riang, sambil sesekali merogoh saku dasternya. Ada lima lembar ratus ribuan yang lain di sana. Ah, rezeki dari orang mati, gumamnya.

-end-

AlohomoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang