Aku terbangun dalam kungkungan kesunyian. Benar-benar sunyi. Ke mana suamiku? Biasanya jika dia yang bangun lebih dulu, suara TV sudah menyala. Atau ada bunyi kemerisik lembaran koran yang dibalik, atau paling tidak aroma kopi. Ini? Persis seperti buku yang kubaca semalam, yang sampai pagi ini masih ada di genggamanku.
Buku karya David Copperfield –si pesulap yang menghilangkan patung liberti itu— bercerita tentang ilusi. Jiwa-jiwa tertukar, di mana saat bangun tidur si tokoh seolah ada di tempat yang berbeda, meski secara ujudnya sama.
Semua orang jadi berbeda meski rupanya sama, tulisan-tulisan berbeda. Bahkan orangtua si tokoh berubah –baik wujud dan namanya— nama si tokoh sendiri pun juga berubah, orang-orang memanggilnya dengan sebutan lain.
Suasana dalam buku itu digambarkan seram sekali. Bayangkan saja jika kau hanya sendiri di dunia ini, dengan semua orang mengenalimu lain dari dirimu yang seharusnya. Ending-nya mencengangkan, orangtua asli si tokoh justru menjebaknya.
Mereka berpura-pura jadi orangtuanya –yang dianggap memang demikian oleh si tokoh—untuk menyerahkan si tokoh pada orangtuanya yang sekarang, di dunia berbeda itu. Si tokoh adalah orang lain bagi orangtua aslinya di dunia yang sekarang. Menyedihkan? Tentu saja.
Lalu, kenapa si tokoh tidak tertukar jiwanya? Karena ia punya kemampuan untuk menyembunyikan pikiran. Hanya dua orang yang tidak tertukar di cerita itu, si tokoh dan salah satu guru perempuannya yang minum obat tidur.
Ah, tapi itu hanya cerita, bukan?
Aku lalu turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan terpana dengan segera. Apa yang terjadi? Semua isi rumah berantakan, lukisan dinding jatuh, hancur berkeping-keping. Semuanya tidak pada tempatnya. Lagi-lagi, sama seperti cerita di buku sialan itu. Berani bersumpah, ketakutan mulai menjalari tubuhku.
Bergegas aku keluar dari rumah berantakan ini, dan semakin terpana karena menemui hal yang sama di luar. Mobil-mobil saling bertabrakan, tiang-tiang roboh. Tidak ada satu pun manusia yang melintas di jalan, bahkan hewan juga tak ada. Kota ini seperti kota mati, dan kabar buruknya adalah tinggal aku seorang diri.
Tak ingin berpikiran yang tidak-tidak, aku segera berlari ke kamar lagi, mengambil kunci mobil dan buku si pesulap itu. Kukendarai mobil sepanjang jalan sampai setidaknya aku menemukan orang lain. Ah, bukan orang lain, itu suamiku. Sekarang aku yakin bahwa aku hanya belum sepenuhnya bangun dari tidur.
"Sayang!" Aku berhenti di sampingnya yang sedang berjalan di atas trotoar, lalu menurunkan jendela mobil.
Suamiku menoleh, tapi hanya diam. Tiba-tiba seorang wanita datang dari arah berlawanan. Aku kenal dia, Miss Josepha. Tak kuduga perempuan itu menghampiri suamiku, lalu dengan sengaja menciumnya. Tepat di depan mataku! Suamiku tampak menikmati, mereka kelihatan mesra sekali. Kegilaan macam apa ini?
Aku turun dari mobil dan tanpa sepatah kata langsung memisahkan keduanya. Kutampar pipi merona perempuan itu, dan wow! Aku mendapat tamparan balik dari suamiku.
"Kau, apa-apaan!" gertak suamiku kasar.
"Kau yang apa-apaan!" Aku menjawab tak kalah sengit.
Miss Josepha lalu mendekatiku, mengelus pundakku dengan ramah.
"Ah, Patricia, kau pasti belum minum obatmu," ujarnya kepadaku, "Sayang, dia Patricia, pasienku yang pernah kuceritakan padamu. Dia kehilangan suaminya dengan tragis," lanjutnya berbicara pada suamiku.
Patricia? Siapa Patricia? Aku Lisa!
"Ayo Patricia, kembali ke mobilmu dan pulanglah. Aku akan segera ke rumah dan memeriksamu. Lelaki ini suamiku, Harold," ucap Josepha lagi.
Harold? Dia Bruce, suamiku! Dan aku Lisa Bruce! Dan yang punya tugas memeriksa itu adalah aku karena aku seorang psikolog, dan kau yang pasienku! Ada apa ini?
Seluruh percakapan itu terjadi di kepalaku, karena aku benar-benar ketakutan untuk mengatakannya. Buku itu, ini persis seperti yang tertulis di buku itu! Jiwa-jiwa tertukar.
Aku segera masuk ke dalam mobil, tak menghiraukan mereka berdua lagi. Ada yang salah di sini! Aku lantas meraih buku yang tergeletak di jok, dan membuka halamannya satu per satu. Kubaca ulang, apa mungkin ada yang kulewatkan. Sampai di halaman tengah aku kembali terpana. Ada kalimat yang ditulis dengan huruf lebih kecil dan terbalik di pojok bawahnya.
Aku dilanda ketakutan luar biasa saat selesai membaca kalimat itu. Tuhan, apa semua ini benar? Kugigit bibirku sendiri. Terasa sakit, bahkan sampai berdarah. Benar, ini bukan mimpi. Astaga, obat tidur yang kuminum semalam benar-benar bekerja.
Kini tinggal aku sendiri di dunia ini, dunia yang berbeda. Hanya ada jiwaku satu-satunya yang masih waras di sini. Atau justru ... tidak? Sampai kapan aku bisa bertahan dalam kewarasan yang demikian menyiksa?
"Siapa pun yang membaca kisah ini sampai akhir tak akan pernah punya kesempatan untuk menceritakan pada yang lain. Karena, setelah ia terbangun esok hari, diri dan dunianya telah hilang."
Itulah isi tulisan yang terbalik tadi. Jadi, jika kau membaca ceritaku ini sampai selesai, maka bersiaplah. Saranku, jangan minum obat tidur malam ini.
-end-
Hmm, jangan minum obat tidur nanti malam :D
Jangan lupa voment, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora
Short StoryKumpulan fiksi mini dengan genre campuran, cocok dibaca waktu santai sambil ngeteh plus nyemil gorengan. Nikmat mana lagi yang mau didustakan? Sooo .... Enjoy it!