Menertawakan Dunia

55 9 0
                                    

Aku menyeruput es teh dengan enggan. Sudah kutahu pasti sebabnya kenapa es teh manis ini jadi terasa pahit sekali. Mas Rifan selingkuh! Haha, sungguh aku ingin menertawakan dunia. Apa-apaan dia, menikahiku dengan modal dengkul dan selingkuh setelah aku dapat jatah warisan. Benar-benar tidak tahu malu!

Kupikir semua lelaki seperti itu, ya, kan? Mana ada lelaki di zaman edan ini yang menundukkan pandangan pada perempuan lain yang bukan haknya? Itu cuma ada di film-film dan novel picisan. Yang ada mata mereka melotot sampai mau keluar setiap ada perempuan seksi yang lewat. Jangankan yang seksi, yang pakai jilbab panjang saja kadang masih digoda dengan sapaan khas mereka, assalamualaikum ukhti. Ukhti-ukhti gundulmu!

Gerakan geligiku mengunyah es batu perlahan bertambah pelan saat melihat pasangan suami-istri yang begitu mesra ini. Tercenung. Berpikir ulang, lalu kembali menertawakan dunia. Haha, mungkin lelaki ini satu di antara seribu yang tersisa. Kedua anak mereka yang kira-kira berumur tujuh hingga delapan tahunan itu sama sekali tidak mengurangi keromantisannya.

Bayangkan saja, sang suami mengelap mulut istrinya dengan tisu, begitu lembut dan penuh perhatian seperti remaja yang baru pacaran. Rumah makan ini seperti milik berdua saja. Sial, aku merutuk sembari mengelus perutku yang buncit. Nasib kita tidak sehebat itu, Nak, aku membatin nelangsa.

"Ibu, Kakak nakal! Es krimku diminta!" Anak perempuan mereka merengek.

Kakak laki-lakinya memang jahil sekali. Es krim yang sedang asik dijilati adiknya direbut begitu saja.

"Gak, Bu! Syifa saja yang makannya pelan-pelan. Es krimnya jadi meleleh, kan? Daripada meleleh mending buat aku," sahut si Kakak mencari pembelaan.

Ibu mereka hanya tertawa melihat tingkah kedua anaknya lalu kembali bermesraan, membuatku tersenyum-senyum sekaligus merasa pilu. Tak lama kemudian, mereka beranjak menuju parkiran. Sang istri menyerahkan lembaran dua ribu pada tukang parkir, sementara suaminya mengeluarkan motor.

Kedua bocah tadi lantas berebut posisi, siapa yang lebih berhak duduk di depan. Si adik merengek lagi, kali ini kakaknya mengalah setelah sang ibu sedikit memelototinya. Motor itu kemudian melaju pelan menuju jalan raya, meninggalkanku yang terpekur sendiri. Ekor mataku terus mengikuti ke mana keluarga harmonis itu pergi, hingga entah dari mana datangnya, begitu tiba-tiba, sebuah truk melintas tepat di hadapan mereka dengan kecepatan tinggi.

Sebelum sang suami sadar apa yang ada di hadapannya, truk bermuatan entah apa itu sudah merenggut tawa mereka. Sedetik saja, secepat kedipan mata. Kulihat motor mereka terlempar jauh, pasangan suami-istri itu terpisah dengan cara yang begitu lara. Sementara si adik menggelepar sebentar, kejang, lalu diam. Anak lelaki mereka tidak kelihatan, mungkin sedang berpilin meregang nyawa di kolong truk yang belum juga berhenti.

Aku segera berlari mendekat bersama seluruh orang yang ada di sekitar jalan raya itu. Astaga, Tuhan, kejam sekali Kau berbuat begini pada keluarga sebahagia mereka, ujarku dalam hati. Di dekat sang suami yang kini tak sadarkan diri, aku melihat ponselnya yang tergeletak, retak pada layarnya. Ponsel itu menyala, bergetar, menunjukkan ada panggilan masuk.

Aku mendekat dan kulihat sebuah kontak bernama Minah di sana, meneleponnya. Sejenak aku ragu untuk menerima, tapi aku berpikir lagi bahwa mungkin saja itu adalah salah satu keluarga dari sang suami. Tak apa, lebih baik keluarganya tahu lebih cepat, kan? Akhirnya kuputuskan untuk mengambil ponsel tersebut, lantas mengangkat panggilannya.

"Halo, Mas. Uangnya sudah kukirim ya, Mas, coba dicek di ATM!" ujar seorang wanita di seberang sana tanpa basa-basi.

"Ha-halo, maaf, ini siapa, ya?" jawabku.

Ah, sial, aku jadi bingung sendiri untuk menjawabnya, karena aku bahkan tidak tahu siapa nama lelaki ini.

"Lho, kamu yang siapa? Kok angkat handphone suami saya? Mana suami saya?" katanya dengan nada yang mulai meninggi.

Suami?

"Ma-maaf, Bu. Ini saya lagi ada di lokasi kecelakaan. Saya lihat HP ini tergeletak di dekat salah satu korbannya terus ada yang telepon. Makanya saya angkat, saya pikir mungkin ini dari keluarganya. Tapi kayanya ibu salah sambung, ya?" kataku.

"A-apa? Kecelakaan? Ini nomor telepon suami saya, Mbak! Mbak jangan main-main, ya, Mbak mau nipu saya, kan?" Suara di seberang mulai terdengar marah.

Aku semakin bingung saja.

"Mbak, halo! Kalau Mbak gak bohong, gimana ciri-ciri orang yang kecelakaan itu, Mbak?" lanjutnya kemudian, dapat kutangkap sedikit nada khawatir dari suaranya.

Aku lalu menyebutkan ciri-ciri lelaki yang masih diam tak berdaya ini. Suara sirine ambulan mulai meraung-raung semakin dekat. Syukurlah, pertolongan datang dengan cepat.

"Benar, Mbak. Itu suami saya."

Aku menelan ludah, membatin, siapa wanita dan dua anak yang bersamanya sekarang?

"Ka-kalau begitu, ibu bisa segera ke sini? Di Jalan Kapiten Patimura dekat rumah makan Pondok Dahar," ucapku.

"Astaghfirullah," sahut perempuan itu. Aku tahu dia mulai tergugu. "Gak bisa, Mbak, saya di Arab Saudi ..."

Aku tercengang mendengar kalimat terakhirnya, lalu mengalihkan pandangan pada tubuh lelaki yang kini sedang diangkat petugas medis. Aku kembali menertawakan dunia, dan sekarang sungguh berharap agar lelaki ini mati saja. Sudah kubilang, lelaki itu semuanya sama, kan?

-end-

Jangan lupa voment, ya! :)

AlohomoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang