Sarjana

62 10 0
                                    

Pintu rumah berkeriut pelan saat Ningsih membukanya, menyaingi derik jangkrik yang terdengar di kejauhan. Gurat heran tersirat di wajah gadis itu saat tahu bahwa lampu tengah masih menyala. Ibu belum tidur? Dia membatin.

"Kok sampai malam begini, Ning?" Suara serak ibunya menjawab pertanyaan Ningsih.

Alih-alih menyahuti, Ningsih mengempaskan tubuhnya di kursi penjalin yang teronggok di ruang tamu mereka.  Dia lantas mengurut telapak kakinya yang terasa pegal dan perih. Ningsih tak pernah memakai high heels sampai lima jam lamanya, baru hari ini.

"Tadi kan aku sudah SMS Ibu kalau aku langsung kerja, jadi pulangnya agak malam," ujarnya enggan.

Sang ibu yang sebagian rambutnya telah memutih itu menghampiri Ningsih sambil membawakan segelas teh hangat.

"Jadi gimana? Kerjanya enak? Berapa gajinya? Akhirnya, Ning, Ibu sudah bisa jawab kalau si Turah itu nyinyir lagi. Panas kuping Ibu dengar omongannya tentang kamu. Katanya sarjana kok nganggur, wong anaknya si Rohmah yang baru lulus saja sudah kerja," cerocos ibunya panjang lebar.

"Sudahlah, Bu." Ningsih mendesah sembari mengurut kepalanya. Selalu begini.

"Ningsih ke kamar dulu, Bu, capai mau istirahat," ucapnya sambil lalu.

"Eh, tunggu! Kamu belum jawab pertanyaan Ibu."

Gadis itu menghela napas panjang, memenuhi paru-parunya dengan stok oksigen dan sabar, biar sampai meluap kalau perlu.

"Gaji lima juta, staf administrasi di kantor pengiriman paket  internasional. Ibu bisa bilang begitu sama si Turah-turah itu."

Sang ibu tersenyum lebar, mempersilakan putrinya masuk kamar. Ningsih segera menghambur ke atas kasur kapuknya yang kempes, menelentangkan tubuhnya yang lelah. Matanya menerawang menyapu langit-langit kamar, sempurna mengundang kenangan memenuhi tempurung otaknya.

"Gimana gak susah, wong anak sekarang itu gengsi yang digede-gedekan. Kerja maunya di perusahaan besar, seragaman necis, pakai ijazah tinggi. Kalau yang dicari seperti itu ya susah. Coba lihat saya, mau kerja seadanya, biar gak punya ijazah dan gak pakai seragam ya, saya bisa kerja." Ucapan tukang tambal ban tempo hari terngiang kembali di telinga Ningsih.

Sore itu dia baru saja pulang  interview di sebuah koperasi yang memberinya sejuta harapan sekaligus kekecewaan. Padahal kualifikasi dan semua persyaratan untuk mengisi lowongan staf admin di sana sesuai dengannya. Tes tertulis pun dia mendapat nilai paling tinggi di antara saingannya yang lain.

Tapi sekarang? Maaf, kami belum bisa menerima Anda, tanpa disebutkan satu pun alasan kenapa dia ditolak. Atau mungkin pengumuman  lowongan dan tes itu hanya formalitas? Mungkin koperasi tersebut sebenarnya sudah punya kandidat mereka sendiri? Ningsih lunglai. Harapannya lagi-lagi lebur. Ditambah ban motornya bocor dan ucapan tukang tambal ban yang menohok jantungnya, sempurna!

Sampai di rumah tak jauh beda, ibunya lagi-lagi ceramah panjang lebar. Tentang nyinyiran si Turah, tentang anak Pak Lurah Kasno yang baru lulus langsung kerja padahal kuliahnya sampai semester dua belas, tentang uang pensiunan almarhum bapaknya yang amblas hanya buat bayar mendreng, tentang asuransi pendidikannya dulu yang preminya tidak pernah nunggak, dan tentang-tentang yang lain.

Ningsih tahu semua itu hanyalah konotasi untuk menutupi sesuatu yang sebenarnya ingin dilontarkan sang ibu, "Jadi kapan kamu dapat kerja?"

Kepala Ningsih hampir meledak. Usahanya sudah lebih dari maksimal. Sejak fresh graduate sampai kini hampir satu tahun sejak wisudanya, entah berapa ratus lamaran yang sudah dia kirimkan.

Ningsih Wijayanti, seorang Sarjana Ekonomi lulusan universitas ternama, cum laude pula. Sayang, dia kalah bersaing di dunia kerja karena tidak punya chanel orang dalam dan uang yang cukup untuk sogokan. Negeri ini memang senista itu bila kalian ingin tahu.

Setiap hari dia harus menghadapi tatapan sinis dan bisik-bisik tetangga yang tak mengenakkan. Tambahkan ibunya yang tidak membesarkan hati, tetapi justru membuat Ningsih merasa demikian tertekan. Air mata gadis itu sudah terkuras habis, nyalinya sudah begitu ciut menghadapi dunia. Tuhan tidak adil!

Ponsel di saku celana jeans yang dikenakan Ningsih bergetar, membuat gadis itu tersentak. Lamunannya buyar, berdesakan mencari jalan keluar dari belenggu pikiran Ningsih. Sebuah pesan. Oh, tidak sebuah, banyak.

Say.

Isi pesan pertama dari Mami Inet, orang yang baru dia kenal tiga hari terakhir.

Om Kasno suka banget sama servisanmu, mantap katanya. Aw! Haha!

Dan oh ternyata kamu masih perawan beneran? Dia kasih tip banyak buat kamu karena itu. Besok diambil ya, kamu primadona Mami yang baru.

Ningsih menutup wajahnya dengan bantal. Tuhan ... dia merintih. Kebas. Seluruh tubuhnya terasa mati rasa dan bergetar hebat.

Eh, Sayangku. Mami punya pelanggan yang cucok buat kamu, dia berani bayar mahal.

Satu lagi pesan masuk di ponselnya.

Namanya Tante Syasya, uh dia milyarder, Say, tapi gak suka cowok. Kalau kamu mau kanan-kiri oke, kamu pasti bakal cepet kaya, Sayangku Ningsih.

Rasa muak bergolak di perut Ningsih saat membaca pesan itu. Bergegas dia bangkit dari kasurnya, membuka laci meja rias, dan mengambil sesuatu yang berkilauan dari sana. Sudah. Hidupnya sudah dan akan segera berakhir.

-end-

Siapa pun tidak akan suka dibanding-bandingkan :)

AlohomoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang